Esai : Mengenal Sastra di Sekolah dan Universitas

www.kinamariz.com -Pemateri Kelas Menulis, Sanlat MI 2011-
#SakinahMenulis-Apa sebenarnya sastra itu? Pertanyaan ini, hanya salah satu dari banyaknya pertanyaan siswa tentang sastra. Pengalaman di masa lalu (dengan berbagai tingkat kualitas dan kuantitas pengajaran sastra di bangku sekolah), menyebabkan siswa pada umumnya tidak mampu memaknai apa itu sastra. Banyak siswa beropini, belajar sastra hanyalah sebatas belajar berpuisi, menulis cerpen atau berteater. Kondisi ini terus berlanjut, hingga mereka terjun ke masyarakat. Dari pengalaman yang minim dan sederhana itu, berkembang keraguan bahwa sastra bukan lagi bagian dari bidang keilmuan dan tidak terlalu penting untuk dipelajari. Orangtua lebih bangga apabila anaknya menjuarai Olimpiade Matematika daripada memenangkan Sayembara Menulis Cerpen, padahal keduanya merupakan pelajaran yang memiliki nilai dan karakteristik, yang seimbang bobot kesulitannya.

Paradigma berfikir “simpel dan praktis” kerap muncul dan terjadi di masyarakat. Kebanggaan untuk mempelajari dan memahami sastra, sudah langka dijumpai pada golongan masyarakat awam. Hal ini bukan hanya dipicu oleh kualitas dan kuantitas pendidikan sastra di sekolah-sekolah dan universitas, melainkan juga distimulus oleh suasana dan pandangan orang pada umumnya.  Sungguh, kondisi sangat memprihatinkan sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Kita berani mengaku cinta Indonesia, tetapi tidak mampu mengenali dan menghargai sastra Indonesia.

Teringat pengalaman seorang teman ketika dia duduk di bangku SMA, dirasakannya memanglah minim sekali guru Bahasa dan Sastra Indonesia mau membahas lebih dalam tentang sastra. Perkenalan dengan sastra yang dia dapatkan di SMA, ternyata hanya bersumber dari membaca puisi dan menuliskannya. Padahal, luas sekali contoh-contoh  karya sastra yang seharusnya bisa digali dan dikembangkan sebagai bahan ajar. Begitupun, hal aneh dan unik yang dia temukan, ternyata guru Bahasa dan Sastra Indonesianya pun tidak bisa menulis puisi, apalagi membacanya. Fakta yang sangat fenomenal, ketika seorang guru berani menyandang gelar guru Bahasa dan Sastra Indonesia, namun kenyataannya tidak bisa membaca puisi. Akibatnya, siswa cenderung bersikap apatis dan tak acuh apabila diajak berdiskusi tentang sastra. Jangankan memahami, menikmatinya saja tidak mampu!
www.kinamariz.com -Writing Class Campus IBMI 2011 (As Speaker)-

Kesadaran pendidik maupun peserta didik memanglah faktor yang paling menentukan dalam pengajaran sastra di sekolah-sekolah, terutama di bangku SMA. Kalaulah selama ini, pembelajaran hanya difokuskan pada kemampuan dasar siswa menganalisis, menyusun struktur bahasa, dan merangkai kalimat, lantas kapan mempraktikkannya? Sekalipun pada kurikulum pembelajaran diatur sedemikian rupa, materi dan standar kompetensi yang harus dicapai, pada akhirnya, guru jugalah yang mengukur berhasil atau tidaknya pelajaran itu dipahami oleh siswa.

Guru sebagai media pembelajaran, seharusnya mampu mengarahkan dan mengolah  bahan ajar dengan kreatif dan inovatif. Terus-terusan menceramahi siswa dengan memberikan statement “Puisi adalah..” , “Cerpen adalah..” sebenarnya mematikan kreativitas dan membunuh kebebasan berekspressi siswa. Implementasi pendekatan kontekstual dalam meningkatkan gairah siswa mempelajari sastra, dapat menjadi salah satu alternatif dari permasalahan ini. Mendekatkan siswa dengan alam belajarnya, sehingga siswa bisa belajar melalui pengalaman langsung, sekaligus mempraktikkan apa yang dipahaminya dari teori yang diajarkan.

Menyikapi kredibilitas guru yang rendah ini, Antilan Purba, M.Pd, seorang Dosen Sastra di FBS Unimed pernah berkomentar “Tahun udah 2010, tapi guru Bahasa dan Sastra Indonesia dari dulu, buat contoh puisi, cuma sebatas, “Aku” karya Chairil Anwar..itu-itu  aja pun! Tak berkembang!”

Sastra sebagai mata pelajaran wajib yang dipelajari oleh mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia seyogyanya cukup untuk membuat mahasiswa menjadi calon sarjanawan/sarjawati yang berkapabilitas. Kita akui, memang tidak semua ilmu sastra yang kita butuhkan, tersaji di kurikulum pelajaran. (Baik di sekolah maupun perguruan tinggi). Oleh sebab itu, dibutuhkan energy lima kali lebih besar untuk berusaha mencari tahu dan menemukannya, baik dengan jalan berdiskusi, membaca, ataupun melakukan eksperimen-ekperimen yang berkontribusi positif bagi pengembangan diri dan pengetahuan.

Pendidikan sastra, benarlah sepenuhnya  berada di tangan para pendidik sastra. Sebaiknya, pendidikan sastra dimulai dari jenjang sekolah yang paling dasar, karena banyak “kebutuhan-kebutuhan rohani” yang tidak didapatkan siswa kecuali pada pelajaran Bahasa dan Sastra. Pengajaran sastra pada akhirnya akan memberikan pencerahan bagi perkembangan moral dan kepribadian siswa. Seorang siswa akan menjadi lebih kreatif apabila diberikan kebebasan berfikir dan berekspressi. Dia akan menjadi lebih kritis, peduli, dan jeli menangkap keanehan yang terjadi di lingkungannya. Hal positif inilah yang kita harapkan berkembang dari pengajaran sastra.

Penggunaan rasa bahasa, kekhasan bahasa sastra dan makna keilmiahan ilmu sastra yang bersifat implisit, dan menggunakan logika internal malah menjadikan sastra sebagai objek study yang menarik untuk dipelajari.

Sastra merupakan sebuah karya yang terlahir daya cipta, rasa dan karsa manusia, oleh karena itu karya sastra banyak bercerita tentang peradaban dan kebudayaan manusia. Dikarenakan sastra sebagai pembangun peradaban melalui pencerahan pardigma berfikir inilah, sastra dikatakan berperan dalam membentuk kepribadian dan moral bangsa. Mungkin akan banyak lahir perdebatan mengenai konsep sastra dan keilmiahannya dalam bidang pendidikan. Begitupun, semakin sering sastra itu diperdebatkan, maka secara tidak langsung, seseorang itu sudah berkarya untuk melestarikan sastra, karena esensi dari sebuah karya sastra itu pada hakikatnya adalah kehidupan dan kontemplasi antara manusia dengan alamnya, hingga kepada Tuhannya.

Pengalaman buruk tentang pengajaran sastra, tidak boleh terulang pada generasi-generasi selanjutnya. Melalui pendidikan sastra yang ditempuh oleh sarjanawan/sarjanawati jurusan Bahasa dan Sastra sekarang, harus lenyaplah belenggu membatasi ruang gerak dan pemikiran siswa tentang makna dan esensi sastra. Semoga!

Penulis merupakan mahasiswi semester II, Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni - Universitas Negeri Medan. Saat ini bergiat di Teater Anak Negeri dan Komunitas Sastra Indonesia.

(Tulisan Ini Telah Dimuat di Rubrik Rebana, Koran Analisa Minggu)

(Ditulis oleh : Sakinah Annisa Mariz)

1 comment

  1. Silahkan untuk berkomentar, namun ingat ya link hidup tidak diperkenankan diletak sembarangan di sini. Insya Allah saya siap kok blog walking tanpa harus nempel-nempel backlink. Ok. Thanks

    ReplyDelete

Mohon tidak meninggalkan link hidup di kolom komentar. Terima kasih.

Literasi Digital