Esai : Menyuarakan Damai Aceh Bersama Puisi-puisi Din Saja

www.kinamariz.com (Foto : Din Saja)

#SakinahMenulis-Damai pada kenyataannya adalah fenomena yang tentram, aman dan sepakat. Damai adalah suasana dimana masing-masing orang sudah tidak lagi saling berdebat, sudah tidak lagi saling beradu pendapat. Makna damai dalam kehidupan sehari-hari pun cukup luas penafsirannya, baik damai antara manusia dengan manusia yang lain, manusia dan lingkungannya hingga damai bersama Tuhannya.

Tidak diragukan lagi, damai senantiasa menjadi situasi yang indah dan berkesan bagi setiap pecinta dan penikmat seni. Hal ini pulalah disadari oleh salah seorang seniman dari Aceh yang bernama asli Fachruddin Basyar atau lebih dikenal dengan sebutan Din Saja. Sebagai seorang penggiat sastra, Din cukup kritis menyikapi lingkungannya. Terbukti dalam kegiatan “Baca Puisi dan Diskusi Sastra Bersama Din Saja” yang diselenggarakan bersama Komunitas Sastra Indonesia (KSI)-Medan, Selasa 27 Juli 2010 yang berlokasi di bawah pohon Asam, Taman Budaya Medan.

Dalam puisi-puisi yang dibawakannya, dapat ditangkap sebuah tema besar yakni Din Saja menyuarakan damai dari Aceh. Melalui puisi-puisi yang dibacakan sekaligus ditampilkan secara teaterikal bersama partnernya Erwina Gusti, Din mencoba menyuarakan bahwa kedamaian telah terjadi di bumi Aceh. Menurut Din, bukan pada masa sulit saja Aceh harus dikabarkan, namun pada saat masa senang, orang-orang juga perlu tahu.

Baca Puisi Bersama Din Saja, dibuka dengan kata sambutan dari Idris Pasaribu, selaku Sastrawan dan Budayawan Sumut, sekaligus Ketua dari Komunitas Sastra Indonesia Cabang Medan. Pembukaan disusul oleh pembacaan puisi dari Bahar Adexinal, Seniman Sumut, juga pemimpin dari Senyum Productions. Pembacaan puisi disambung pula oleh Hafiz Ta’adi dari Teater Siklus, Darwis Rifa’i Harahap, Antilan Purba, Rius Kensington dan beberapa anggota dari KSI-Medan.

“Din Saja berhasil menampilkan puisi di tempat yang langka ditemukan oleh kebanyakan orang.” ujar Darwis Rifa’i Harahap, seorang pekerja seni maupun sutradara teater dan film senior dari Sumatera Utara. Komentar darinya sungguh beralasan, melihat tempat berlangsungnya kegiatan baca puisi yang memang tidak lazim dilakukan, yakni bertempat di bawah pohon asam, pelataran Taman Budaya Medan.

Acara pun dilaksanakan dengan properti yang sangat minimalis dan sangat naturalis, yakni memanfaatkan benda-benda alam sebagai simbolisasi makna Aceh. Pada hari itu, tak ketinggalan hadir Dosen Seni Musik dari Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Medan sekaligus pemusik senior dari Sumatera Utara, Ben M Pasaribu. Dalam testimoni dan apresiasinya, Ben menyatakan kepeduliannya terhadap seniman yang masih mau mengalirkan denyut seni dalam kehidupan masyarakatnya.

Begitu pula dengan Antilan Purba selaku Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Negeri Medan. Hadir pula Bang Miduk dari Komunitas Taman, yang turut berpartisipasi dalam acara ini. Sucipto, Ojak Manalu, dan penggiat sastra lainnya yang ikut menyaksikan penampilan Din Saja terlihat antusias. Puisi, memanglah sarana yang tepat dan relevan untuk mencurahkan perasaan. Tak salah jika Aristoteles membagi 3 asas ilmu pengetahuan yaitu, theory, praxis, dan poesis. Puisi yang berasal dari bahasa yunani (poesis), sesuatu yang terlahir dari olah daya, cipta, rasa dan karsa manusia. Bahasa puisi adalah bahasa bathin yang penuh dengan metafor-metafor bermakna ambigu dan dapat ditafsir sesuai dengan penalaran penikmatnya. Semakin banyak makna yang dapat ditafsir dari puisi tersebut, maka semakin tinggilah kualitasnya.

Din Saja, lelaki kelahiran Banda Aceh, 31 Januari 1959 ini sudah tentu paham tentang hal ini. Dengan puisi dan atraksi teaterikalnya, dia mencoba menjelaskan kepada penontonnya tentang Aceh. Aceh, tanah kelahiran dan tempat hidupnya. Aceh, tempatnya memintal kata dan mengurainya menjadi syair-syair penuh makna. Aceh dan seniman yang lahir dan berkembang di buminya.

Damai yang terjadi di Aceh, tepatnya di Helsinki 15 Agustus 2005 lalu, menjadi ikon dalam penampilannya kali ini. Pada bait-bait puisinya, Din tak hanya menyinggung soal lingkungannya, namun terlebih pada dirinya dan pengalaman bathinnya. Din memulai merefleksikan pengalaman bathin melalui puisi. Karya-karyanya adalah sebuah catatan kejadian atas kehidupan yang pernah dijalani, oleh sebab itu dia juga menganggap catatan-catatan itu sebagai cermin yang memantulkan bayangan hari ini, masa lalu dan masa esoknya. Puisi-puisi yang diciptakannya, tak jarang disebutkannya sebagai tumpahan perasaannya tentang kejadian-kejadian hidupnya di bumi Aceh.

Kini, kesemua pengalaman itu dianggapnya sebagai lahan untuk proses pendewasaan diri, proses pencerahan. Pengalaman berharga yang diceritakan Din dalam puisi-puisinya bukan sebatas perlambangan atas diri Din, namun dikontemplasikannya pula pada keagungan Tuhan dan gejala-gejala alam. Puisi Din, bagian dari simbolisasi mengenai pergolakan-pergolakan dan bencana mengerikan yang pernah terjadi di Aceh.

Berikut salah satu petikan puisi yang dibacakannya:

Renung Termenung
Oleh : Din Saja

Malam ini mae termenung
kenapa mae harus termenung
karena hanya termenung pekerjaan masih tersisa
dan mae bukan sarjana
dan bagaimana mae memberi makan dan menyekolahkan anak
itukan jadi urusan pemerintah
tapi kapan giliran itu akan tiba
tanyakan pada janji yang terlupa
karena hanya termenung pekerjaan masih tersisa
kerena termenung juga disebut kerja
karena termenung terbebas dari dusta
karena banyak yang termenung adanya penguasa
hanya saja termenung belum memiliki qanun
dan mae sampai mati masih termenung
ah, negeri yang termenung

Banda Aceh, 30 Nopember 2009

***
Puisi di atas menjadi sarana Din Saja menyiratkan kegelisahan, kegundahan dan pikiran-pikiran si pengarang. Tidak sedikit orang yang lebih nyaman menggunakan bahasa tulis daripada bahasa lisan. Ekspressi tulis yang dituangkan seseorang kepada orang lain melalui puisi akan memberikan pencerahan baru bagi pembacanya, hal ini seiring dengan istilah 'karya menunjukkan zamannya. Menyukai sastra berarti juga mencintai masyarakat, apabila kita memahami makna 'seni untuk masyarakat'. Kira-kira semboyan inilah yang selalu terdengar dari pembacaan puisi-puisi Din Saja. Membuat puisi selain tujuannya sebagai luapan emosi diri yang senang, susah, sedih, marah, terkejut, dan sebagainya, juga bertujuan menyampaikan pesan-pesan moral kepada orang lain. Karya seni haruslah bermanfaat bagi masyarakat luas, bukan hanya bagi kehidupan senimannya.

Dengan adanya kegiatan pembacaan puisi bersama penyair-penyair dari berbagai daerah yang masih mempertahankan warna dan makna lokalitasnya, diharapkan wawasan masyarakat akan semakin terbuka dan bertambah. Oleh sebab itu, kita dapat menyimpulkan bahwa teori eksistensialis Descrates, dirasa cukup mewakili kondisi penyair-penyair saat ini, yaitu Cogito ergo sum “Saya berfikir maka saya ada”. Maka, sudah sepantasnya kita untuk memikirkan segala sesuatunya sehingga keberadaan kita dan sastra dapat menjadi pencerahan di masa kini dan masa yang akan datang. Semoga!

(Penulis adalah mahasiswi semester III, Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, FBS, Universitas Negeri Medan)
(Ditulis oleh : Sakinah Annisa Mariz)



1 comment

  1. Silahkan untuk berkomentar, namun ingat ya link hidup tidak diperkenankan diletak sembarangan di sini. Insya Allah saya siap kok blog walking tanpa harus nempel-nempel backlink. Ok. Thanks

    ReplyDelete

Mohon tidak meninggalkan link hidup di kolom komentar. Terima kasih.

Literasi Digital