In Memoriam : 50 Tahun Ben M Pasaribu

www.kinamariz.com
(Ben M Pasaribu Ilustrasi) Image Source : Twitter @PasaribuBen
#SakinahMenulis-Senin, 10 Januari 2011 menjadi peringatan hari lahir yang ke-50 untuk seorang komponis mendunia yang cemerlang asal Sumatera Utara, Ben M Pasaribu. Kepergiannya pada Senin, 6 Desember 2010 kemarin, meninggalkan kesedihan yang mendalam dan kehampaan bagi keluarga, kaum kerabat, sahabat-sahabat, dan para seniman seperjuangan. Namun, semangat dan karyanya ternyata selalu hidup, terbukti hingga saat ini para sahabat dan keluarga terus bekerja keras untuk mengumpulkan koleksi musik Ben yang tercecer dan terserak di seluruh penjuru dunia. Karya maupun ide-ide cerdasnya yang belum sempat direalisasikan, tumbuh menjadi Ben-Ben baru yang senantiasa hidup dan mengambil peran dalam perkembangan musik, khususnya musik batak di dunia.

Dalam acara In Memoriam Ben M Pasaribu, yang disiarkan langsung dari studio TVRI Sumut pada Senin (10/01/2011), pukul 19.00 WIB- 21.20 WIB dipandu Pembawa acara, Hinca Panjaitan. Hadir pula narasumber yang berasal dari keluarga, kerabat, sahabat sesama seniman dari dalam dan luar negeri, petinggi pemerintahan, dan birokrasi kampus.

Narasumber di sesi yang pertama, Rektor Universitas Negeri Medan menjabat, Prof. Dr. Syawal Gultom. Dalam kenangannya, Ben M Pasaribu dikenal sebagai Dosen yang aktif dalam memberikan ide-ide segar dalam mempercepat kemajuan Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) Unimed. Turut mendampingi Sang Rektor, birokrasi Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) Unimed, yaitu Dekan FBS Dr. Isda Pramuniati, M.Pd, PD I Dr. Azhar Umar, M.Pd, dan PD III Kemahasiswaan Dr. Daulat Saragi, M.Hum.

Ungkapan senada juga disampaikan oleh Mantan Rektor Universitas Nommensen, Ir. Patar Pasaribu. Dalam kenangannya, Ben adalah sosok pekerja keras yang selalu menularkan pikiran-pikiran positif demi kemajuan bangsa. Misalnya saja, Ben pernah mengusulkan bahwa dalam UUD 1945 yang berbahasa Indonesia, sebaiknya juga diterjemahkan dalam bahasa daerah, sebab dalam kenyataannya Indonesia ini adalah negara heterogenik yang terdiri atas bermacam ragam suku, bahasa daerah, adat-istiadat dan kebudayaan. Apabila UUD 1945 diterjemahkan ulang ke dalam bahasa daerah tentu akan mempermudah masyarakat daerah dalam memahami dan melaksanakannya dengan baik. Saat usulan itu diterima oleh Mahkamah Konstitusi, maka Ben dipanggil untuk membantu MK menerjemahkannya ke dalam beberapa jenis bahasa Batak.

Idris Pasaribu selaku sahabat sekaligus sepupu Ben, juga membagikan sedikit kenangannya. Ben adalah 'Dosen Terbang' yang jadwal mengajarnya padat di dalam dan luar negeri. Beberapa Universitas yang memiliki Fakultas Seni seperti Malaysia, Amerika, Jepang, Filipina, Australia, Jerman, dan Belanda sudah membuktikan kreativitas Ben.

Salah satu pengalaman Idris adalah ketika melakukan 'Kampanye Hijau' melalui pembacaan puisi di 34 Negara bersama Green Peace. "Di Istana Keratuan Belanda, saya bertemu dengan seorang Komponis istana. Mereka saling menyapa, kemudian musikus tersebut bertanya darimana saya berasal. Saya pun mengatakan dari Indonesia, di Sumatera Utara. Saat itu juga musikus tersebut terkejut dan bertanya 'Apakah anda mengenal Ben M Pasaribu?'. Demikianlah, keseriusan Ben dalam berkarya, tidak hanya mengharumkan namanya tetapi juga Sumatera Utara dan Indonesia. Wilayah lain yang sangat memanfaatkan keahlian Ben, yakni Yogyakarta, Jakarta, dan Provinsi Riau," papar Idris.

Sementara itu, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Drs. Naruddin Dalimunthe, M.SP mewakili Wakil Gubernur Sumut, Gatot Pudjo Nugroho yang sedang berada di luar Provinsi turut memberikan testimoni. Naruddin mengatakan bahwa kegiatan-kegiatan kesenian yang menjadi cita-cita Ben yang luhur harus dibantu pemerintah dalam merealisasikannya.

Sahabat Ben, Juanita Br Tobing, ibu rumah tangga yang akhirnya melanjutkan kuliah Magisternya sebab dimotivasi Ben. Juanita mengatakan bahwa sebenarnya banyak sekali aspirasi Ben dan dirinya yang belum sempat dikerjakan. Salah satunya adalah, Ben bercita-cita untuk membuat kompetisi permainan musik yang keseluruhan alat-alatnya berasal dari bambu di Pulau Samosir. Sebagai income bagi penduduk sekitar, Ben berencana akan membuka jalur pembibitan segala jenis bambu berkualitas tinggi dari di seluruh dunia, bagi petani Samosir dan bekerjasama para seniman untuk menciptakan berbagai alat musik. Lagi-lagi sayang, ide itu belum juga direalisasikan hingga saat ini.

Selanjutnya komentar dari Hendri Parangin-angin dan Fon Prawira, (cucu dari tokoh yang akrab dengan sejarah Medan, Tjong A Fie). Mereka semua merasa sangat kehilangan atas kepergian Ben, apalagi pada mereka Ben juga “menitipkan” banyak ide-ide briliannya yang belum sempat dilaksanakan bersama. Salah satu ide Ben mendirikan pusat kebudayaan bagi Tjong A Fie  sebagai lembaga pusat dokumentasi sejarah, khusunya kota Medan.

Suara dan alunan sulim yang khas dari Zubaidah Harahap, membawa kesedihan dan kehilangan yang mengharu-biru. Andung-andung mate sari matua yang telah dibawakannya keliling dunia pada usia 14 tahun terdengar syahdu dan menyayat hati. Kolaborasi musik antara Van Nees sang pemain biola, dengan musik Batak yang dibawakan oleh Hendri Parangin-angin, Winarto Kartupat, Hardoni Sitohang, Saridin, Suharyanto, dan kawan-kawan, mewarnai suasana.

Ilustrator wajah Ben dalam spanduk acara -yang juga seorang pelukis senior-, Bambang Soekarno, menunjukkan kehilangan dan empatinya pada kepergian Ben. Begitu juga dengan Irwansyah Harahap yang menyumbangkan do’anya melalui permainan musiknya. Dr. Ir. Wan Hidayati selaku sahabat Ben sedari kecil, yang saat ini menjabat sebagai Kepala Badan Lingkungan Hidup juga berkomentar. “Ben adalah blueman menurut saya. Rata-rata baju yang dipakainya selalu berwarna biru. Baik itu baju kaus, kemeja. Dia penggemar berat warna biru dan itu saya tahu sejak kami berteman sedari kecil.” tuturnya setengah tersenyum, mengenang Ben.

Viktor Pasaribu dari pihak keluarga besar, mengomentari prestasi Ben yang selama ini tidak banyak yang diketahui keluarga. Setelah kedatangan Ambassador dari Universitas asing yang meliput berita obituari Ben melalui siaran CNN dan Voice Of America, barulah keluarga sadar, betapa besar perjuangan Ben selama ini. Anak pertama Ben, Mulan Pasaribu juga dihadirkan sebagai narasumber. Kiriman sms dan e-mail dari dalam dan luar kota, hingga luar negeri dibacakan juga beberapa buah oleh Hinca, untuk berikutnya akan diserahkan kepada keluarga sebagai dokumentasi. Teleconference berbasis 3G dihubungkan secara live dari TVRI kepada sahabat Ben, Jody Diamond, musikus Amerika yang sedang mengembangkan Gamelan Institute di negaranya. Jody, seorang Indonesianis yang juga sangat peduli terhadap perkembangan musik menyayangkan dirinya yang terlambat memberikan bingkisan permintaan Ben ketika beliau masih dirawat di RS Penang.

Mantan Istri Ben, Ernita Panjaitan pada saat itu berhalangan hadir, sebab sedang menempuh ujian Magisternya di Australia. Dia menyatakan terima kasihnya atas kesediaan sahabat-sahabat untuk membuat acara ini. Ikut pula hadir anggota Komunitas Sastra Indonesia-Medan, Sakinah Annisa Mariz, Juhendri Chaniago, Embar T Nugroho, Shidrata Emha, Maulana Satrya Sinaga, Omadi Pamouz, Poloria Sitorus, Arief Vitho, Dwi, Rena, dan Amel. Adapun, sahabat karib Ben, Selw Kumar tampak lebih pendiam dan mengasingkan diri meskipun tetap mengikuti semua rangkaian acara. Kepergian Ben telah menciptakan keheningan tersendiri bagi orang-orang sekitarnya.

Acara ditutup dengan sesi foto bersama dan bersalaman. Kaum kerabat, seniman-seniman senior dan sahabat-sahabat Ben berharap, terbentuknya Ben M Pasaribu Institute sebagai lembaga yang akan mewadahi satu demi satu ide-ide Ben yang belum tersalurkan. Mereka juga berharap, hadirnya Ben M Pasaribu Institute memberi peluang bagi lahirnya Ben-Ben baru yang mampu melanjutkan perjuangan Ben. Tanpa regenerasi yang baik, sebuah Mahakarya sekalipun tidak akan bisa terjaga.

Meminjam perkataan Ir.Seokarno sebagai bapak pelopor kemerdekaan Indonesia, “JAS MERAH” , “Jangan Sekali-Kali Melupakan Sejarah” agaknya mengingatkan  kita untuk selalu berusaha dan berbuat yang terbaik demi bangsa ini. Menatap sejarah mengajarkan kita menjadi bijak, menyongsong masa depan membantu kita meraih impian.
Selamat ulang tahun, Pak Ben. Do’a kami bersamamu.

(Penulis mahasiswi semester III, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Medan)

Ditulis oleh : Sakinah Annisa Mariz

No comments

Mohon tidak meninggalkan link hidup di kolom komentar. Terima kasih.

Literasi Digital