Cerita Soal Kawan Lama (Chapter 2)

#SakinahMenulis-Jadi, seperti janjiku. disini aku akan membocorkan diskusi-diskusiku dalam bentuk surel kepadanya. (Eits, kalau akunya agak alay jangan diprotes ya, hahaha. Itukan dulu, masih rada bego) 😁
www.kinamariz.com
Linguistik -Image Source : Google.com-
---------------------------MY MAIL---------------------------------

Medan,  Februari 2011
Salam Super, Bang Ginting!
Ah, akhirnya aku kembali merasakan nyala semangat belajar yang menggila setelah membaca Esai abang yang mengkaji konsep 'Bahasa Manusia yang Telah Teraleniasi' atau 'Alineasi Manusia karena Bahasa?' Hehe. Ups, tapi memang begitulah kira-kira.
SEBUAH PENGAKUAN
Jujur, aku sendiri juga baru mendengar konsep ini. -(Jadi judge dari Si Pemimpi itu bahwa pembahasan ini merupakan 'produk lama yang di-recycle berulang-ulang', aku sangat kecewa. Bukankah dalam taraf mengenal, mengetahui dan memahami, masing-masing orang punya keterbatasan. Tugas praktisi dan akademisi bahasa seperti Abangda-Kakanda inilah yang menurutku dituntut berperan serta. Sebenarnya aku kesal juga sih dengan diriku sendiri, setelah membaca Esai bang Ginting. Habisnya aku jadi merasa kalau kuliahku selama ini dan terus berkutat dengan diktat, sia-sia amat!
NUMPANG TANYA
Nah, melalui surel ini, aku ingin tanyakan beberapa hal seputar alineasi bahasa yang Abangda maksudkan. Mungkin ini pertanyaan konyol ya, tapi dari pada aku bingung-bingung sendiri lebih bagus kutanya ahlinya saja, bukan? (semoga abang gak jawab BUKAN) Hehe
Ketika aku masuk mata kuliah Linguistik Umum Semester 1, aku dihadapkan pada hakikat dan fungsi bahasa. Di buku-buku linguistik diungkapkan bahwa bahasa sebagai sistem lambang bunyi yang arbitrer dan digunakan manusia dengan paham konvensional yang diakui secara universal. Mulanya untuk memahami konsep bahasa dari pengertian ini lumayan mudah bagiku, tapi aku jadi penasaran. Bukankah bahasa itu diciptakan untuk mempermudah manusia untuk saling berinteraksi dan menyampaikan/mewujudkan ide-ide dari dalam alam pikirnya untuk disampaikannya pada orang lain. Lantas, mengapa pula dikatakan kalau sebenarnya bahasa itu bisa mengekang kebebasan ide manusia itu sendiri? (Apa pula itu disebut ALINEASI, bang?) Konsep bahasa yang teralineasi itu apakah dalam bentuk tuturan atau tulisan, kah?
Karena macam yang abang bilang, Ferdinand de Saussure kan udah membaginya tiga konsep : Langue, Language,*(red-waktu itu aku pake text prediktif di laptopku, jadi terpencet begini tulisannya) dan Parole. Pendapat itukah yang abang maksudkan? Kalau bahasa itu ada dalam tempurung kepala manusia masing-masing? Lantas apa hubungannya kalau bahasa telah ter-Alineasi? (Please jelasin dikit lagi dong!)
Pendapatku Sementara (MOHON KOREKSINYA)
Keterbatasan manusia dalam berbahasa aku pikir tidak hanya efek dari keterbatasan yang diciptakan dari bahasa, tetapi juga dari faktor kebiasaan dan kenyamanan. Pemakaian lambang latin oleh Invani aku rasa juga bagian dari kecendrungan dan kebiasaan umum itu. Dengan begitu, salahkah kalau aku bilang jika hakikatnya bahasa itu terlahir dan dibutuhkan selama keberadaan manusia.
Teori Hegel yang abang kemukakan sangat rasional, menurutku. Akan tetapi, setelah Hegel lahir juga pendapat Karl Marx yang mengatakan jika materi dan kebenaran sifatnya tak pernah tetap, alias selalu tersebut bergerak dan berpindah. Seperti halnya bahasa, dari diksi 'pertengkaran diskusi' Abang dan Si Pemimpi itu, kalian sendiri sebenarnya telah memperiodisasikan bahasa. Aku temukan banyak istilah-istilah yang terus berkembang di zamannya. Semisal, istilah Bini’ jadi Istri, atau semisal istilah anak gaul 'Please deh!' 'Capek deh', begitukah? Mohon diperjelas. Pada akhirnya, bahasa pun berubah-ubah sesuai karakter manusia yang menginginkannya. Artinya, alam pikir kitalah yang membentuk bahasa, oleh sebab itu tak mungkin kita terjajah karenanya. (Barangkali)
Hm, segini dulu ya bang. Aku masih berputar-putar dengan teori di kepalaku. Mohon berkenan menjelaskannya lebih rinci. Anggaplah ini layanan private berbasis teknologi canggih. Xoxoxo. I’m waiting for your answer. (Kiy)
----------------------------END----------------------------------

Dan Tadaaa, tak lama kemudian Si Abang W.A.P Ginting pun membalas emailku. (Jangan tertawa ya membayangkan betapa sabarnya dia membahas celoteh racauanku soal teori bahasa yang masih belepotan itu. Ah, aku malu!)
www.kinamariz.com
Discussion -Image Source : 123RF.com-
---------------------------EMAIL BALASAN--------------------------------

Yogyakarta, 1 Maret 2011
Kinah kawanku,
Aku coba jawab pertanyaan-pertanyaanmu. Tapi, sebelumnya, aku tegaskan dulu bahwa tulisanku yang kau baca itu aku buat di pertengahan tahun 2008 (maka mungkin ada beberapa pendapatku sendiri yang kini tidak aku setujui lagi), dan aku garap sebagai ajakan bagi Invani untuk menulis tentang Relasi Bahasa dan Kekuasaan, ilhamnya aku dapat dari membaca novel 1984 karya George Orwell.
Begini, saat mengajukan konsep alineasi manusia oleh bahasa ditulisanku itu, aku menganggap kata bahasa di situ adalah sebuah metafora. Bukan sebuah leksem yang maknanya bisa dicari di kamus umum bahasa Indonesia. Kata bahasa di situ menyimpan sesuatu, dan sesuatu itu bernama manusia (juga). Bila kau perhatikan contoh yang kuberikan untuk argumentasi alienasi manusia oleh bahasa, yaitu cerita yang dikisahkan Orwell dalam 1984, maka kau akan melihat bahwa penguasa Inggris dalam novel itu berkepentingan untuk merekayasa bahasa Inggris demi kelangsungan dan pemeliharaan status kekuasaannya. Penguasa Inggris di novel itu ‘percaya’ bahwa bahasa dapat menjinakkan keliaran pikiran manusia (baca: rakyat). Caranya? Dengan menjinakkan ‘keliaran’ bahasa Inggris itu sendiri. Apa yang dimaksud dengan ‘keliaran bahasa Inggris’ di sini?
Orwell mencontohkan penghilangan kata kerja tak-beraturan (irregular verbs) dari kamus bahasa Inggris. Ini satu contoh penjinakan sintaksis. Lalu ada juga contoh tentang pematilemasan kata-kata metaforis (kau tak bisa bilang That senator is a dog, sebab senator haruslah berfitur semantik [+manusia] dan dog haruslah berfitur semantik [+hewan] – jadi kalimat tersebut dianggap kafir karena menyalahi logika tatabahasa).
Nah, untuk lebih jelasnya. Aku sajikan lagi satu tulisanku yang berjudul Membentuk dan Dibentuk Bahasa. Jika kau sedang terhubung dengan internet saat membaca ini, kau bisa langsung membacanya dengan mengklik di sini. (Linknya ada, tapi udah lama deactive)
Jadi, aku tadi bilang bahwa kata bahasa yang aku acu dalam argumentasiku tentang alienasi manusia oleh bahasa merupakan sebuah metafora. Dan dalam metafora tersebut ada sesuatu yang bernama manusia.
Jadi, sebetulnya, frasa harfiah yang menjadi makna dari argumentasiku itu adalah alienasi manusia oleh manusia lewat bahasa. Dalam relasi bahasa dan kekuasaan, terang-jelas di situ bahwa manusia jadi dikelompokkan ke dalam sebuah hierarki: yang-dikuasai dan yang-menguasai. Boleh juga dibilang: rakyat dan penguasa. Ini jelas sangat politis. Dan di medan yang politis inilah konsep bahasa-dan-kuasa bermain. Contoh: di Jawa, konon hanya ada bahasa ngoko – bahasa inilah yang dipakai pada masa Mataram Hindu. Namun, saat peradaban Mataram Hindu berubah menjadi Mataram Islam, kita mendapati bahasa Jawa menjadi sangat rumit-berbelit tingkat-tingkatannya. Ada bahasa Jawa ngoko ada kromo. Nah, yang kromo ini dibagi lagi menjadi kromo madya dan kromo inggil. Kromo Inggil adalah apa yang biasa kita kenal sebagai bahasa Jawa Halus, ada juga yang bahkan menyebutnya Jawa Kraton.
Kita boleh bertanya, “Siapa insinyur bahasa yang berhasil membagi-bagi bahasa Jawa menjadi beberapa tingkat ini?” Siapa lagi kalau bukan manusia. Siapa manusia itu? Siapa lagi kalau bukan penguasa (lha, namanya saja sudah Jawa Kraton!). Nah, pertanyaan selanjutnya: apa tujuannya? Hehehe… ini yang menarik. Apa lagi kalau bukan untuk menegaskan kekuasaan? Dan, tambahannya: menutup akses pengetahuan rakyat tentang Kraton itu sendiri. Bahasa Jawa ngoko itu sangat berbeda dengan bahasa kromo, Kinah. Benar-benar dialek yang berbeda. Bahasa ngoko sangat kaya dengan pemberdayaan bunyi-alam. Kau pasti tahu konsep onomatope dalam bahasa, kan? Nah, bahasa ngoko itu sangat onomatopeik sekali; dan juga, dia minim suku-kata. Beda dengan bahasa kromo yang berbelit-belit dan panjang kali suku-katanya. Coba kau perhatikan: asu dan kirik (adalah ngoko); segawon (adalah kromo). Artinya: ‘anjing’. Jauh, sekali toh bedanya?
Ada satu anekdot, dan anekdot ini kisah nyata, yang dapat jadi contoh betapa bahasa kromo dapat memampatkan pikiran orang, terutama saat dia dipakai untuk berkomunikasi dengan orang yang lebih tinggi status-sosialnya dari kita. Alkisah, beberapa orang cendikiawan dari UGM hendak sowan (‘berkunjung’) ke Kraton untuk menyampaikan uneg-uneg mereka atas sikap-sikap Sultan Hamengkubuwono X, yang mereka anggap tidak merakyat dan tidak nguri-nguri budaya Jawi (menjaga dan melestarikan budaya Jawa). Nah, jelaslah kiranya bahwa para cendikiawan ini memanggul misi untuk mengkritik Sultan Yogya. Tapi, sebab seluruh cendikiawan itu adalah orang Jawa, maka mereka, saat sudah berhadapan dengan Sultan, memutuskan untuk ikut tradisi linguistik dalam peradaban Jawa Tengah: menggunakan kromo inggil saat berbicara dengan orang terhormat. Tahu apa jadinya? Kritik itu tidak jadi kritik. Saat kau bilang, “Nyuwun pangapunten, Paduka Gusti. Kawulo sedanten rawuh ingkang mriki badhe sowan kagem Paduka Gusti…” (“Mohon maaf, Paduka Raja. Kami semua datang ke sini ingin bertemu dengan Paduka Raja…”), maka secara psikologis kau sudah terjerat pada hierarki sosial yang diwakili oleh hierarki bahasa itu. Intinya: kau tidak bisa mengkritik Rajamu dengan bahasa kromo inggil. Dan, tahu? Sang Raja saat bicara pada ‘rakyatnya’ harus menggunakan bahasa ngoko, bahasa rakyat rendahan. Sementara si rakyat harus mengagungkan sang Raja dengan bahasa kromo inggil. Bahasa ngoko itu sendiri bahkan mendapat julukan menyedihkan: bahasa Jawa Kasar.
Kosokbali (oposisi-biner) ngoko-kromo ini pernah digunakan Benedict Anderson dalam bukunya Language and Power, saat dia menganalisis kondisi linguistik-politis di Indonesia di masa Orde Baru. Nah, di masa Orde Baru, yang jelas-jelas sangat Jawa itu, bahasa kromo-nya adalah bahasa Indonesia baku yang baik dan benar, sedangkan bahasa ngoko-nya adalah justru bahasa Indonesia dialek Betawi. Benedict Anderson menganalisis wicara kritis yang muncul di dalam karikatur-karikatur suratkabar Indonesia, yang hampir keseluruhan karikatur itu melontarkan kritik pedas pada pemerintah. Dan, bahasa yang digunakan untuk mengkritik di situ bukanlah bahasa Indonesia baku yang baik nan benar, tapi bahasa Indonesia elo-gue.
***
Kinah, jadi yang dimaksud dengan alienasi manusia oleh bahasa itu sebenarnya tidak seperti yang kau pikirkan. Aku setuju denganmu: mana bisa bahasa berkembang sendiri, lalu menjajah manusia, tanpa campur-tangan manusia. Kan yang menciptakan, menggunakan, bahkan mematikan bahasa itu adalah manusia itu sendiri. Manusia punya kuasa sepenuhnya atas bahasa. Untuk itulah kata-kata baru terus bermunculan. Kata-kata baru terus dibuat karena harus ada yang menjadi alat penyampai gagasan manusia, yang lasak, liar, dan selalu berkembang itu. Dulu, kita tidak tahu tentang konsep boikot (yang disebut dalam Jejak Langkah-nya Pram sebagai senjata kaum lemah dalam menghadapi penguasa lintah-darat) sebab konsep itu belum ada namanya.
Eh, ternyata di Irlandia sana terjadilah sesuatu peristiwa yang menyebabkan masyarakat suatu dusun di sana mengucilkan seorang ajudan tuan-tanah sebab perilakunya yang mengusir para petani penyewa lahan dan mencaplok ladang tempat mereka bekerja. Pengucilan ini dilakukan pada seluruh aspek hidup dari si ajudan tuan tanah itu. Tidak ada lagi yang mau bicara dengan dia di jalan atau di tempat ibadah. Tidak ada lagi tukang pos yang mau mengantarkan surat-surat untuknya. Tidak ada lagi pekerja binatu yang mau mencucikan pakaiannya. Tidak ada lagi toko yang mau menjual barang-barang untuk keperluannya. Tidak ada lagi pekerja lahan yang sudi memanenkan hasil bumi dari ladangnya. Dan kau tahu siapa nama ajudan tuan tanah itu? Namanya Captain Boycott. Orang bahkan sampai menggunakan namanya untuk menyebut konsep pengucilan itu.
Begitulah luarbiasanya peran manusia dalam mengembangkan alat komunikasi mereka. Namun, ya itu tadi, dalam relasi bahasa dan kekuasaan, kita tidak bisa tidak mengelompokkan manusia ke dalam hierarki yang-dikuasai dan yang-menguasai. Dua-duanya manusia. Dan, yang satu, karena punya perkakas kekuasaan yang lengkap (dari militer, ekonomi, sampai institusi pendidikan) lalu mencoba menjinakkan yang lainnya lewat penjinakan bahasa. Dan saat kita sudah terlanjur lahir dengan bahasa yang sudah ‘dijinakkan’ itu, maka jinak pulalah pola pikir kita.
***
Tentang Saussure: dia sebetulnya telah dengan jenius menggambarkan hierarki bahasa. Hierarki yang sebenarnya adalah: langgage (bukan language – Saussure menggunakan bahasa Prancis untuk konsep ini), langue, parole, dan satu lagi – patois. Langgage adalah konsep bahasa secara abstrak, ia tidak berbicara tentang suatu bahasa tertentu, tapi hanya bahasa saja. Sementara itu, langue adalah bahasa yang vitalitas dan status promosinya sangat tinggi – bahasa nasional adalah contohnya. Parole biasa disebut juga sebagai bahasa vernakular, contohnya bahasa daerah, yang statusnya merendah karena ditekan oleh bahasa nasional. Lalu, patois adalah bahasa yang sangat minim sekali jumlah pemakainya, dan juga tidak punya dasar kesusastraan yang kuat; contohnya ya bahasa gaulnya Debby Sehertian.
Nah, dalam konsep relasi bahasa dan kuasa, hierarki ini dipergunakan dengan sangat jeli dan penuh motivasi politis. Contohnya adalah kasus perendahan status bahasa Basque menjadi sebuah patois di Spanyol sana. Penguasa Catalan meredam pemberontakan orang-orang Basque salah satunya dengan cara merendahkan status bahasa mereka. Pencitraan bahasa Basque dirakit sedemikian rupa sehingga ia tampak kumuh, kotor, tak beradab. Bahkan, represinya lebih parah lagi. Setiap orang yang kedapatan menggunakan bahasa Basque akan dikirim ke alam baka.
Di Hindia Belanda ini juga terjadi. Tapi, tidak sampai bunuh-bunuhan. Di masa-masa Revolusi Kemerdekaan, bahasa Melayu Pasar dianggap sebagai bahasa rendahan. Balai Pustaka, lembaga perbukuan yang dibentuk oleh Belanda, hanya mau menerbitkan karya-karya sastra berbahasa Melayu Tinggi (karya sastra Cina Peranakan, yang berbahasa Melayu Pasar, dipastikan tidak dapat merasakan tinta mesin percetakan Balai Pustaka) – dan yang menggarap bahasa Melayu Tinggi ini adalah para sarjana bahasa Belanda.
Kau pasti ingat nama Charles van Ophuijsen, kan? Nah, dia adalah salah satu sarjana bahasa yang ditugasi oleh Pemerintah Kolonial Belanda untuk menjinakkan Bahasa Melayu Riau Johor untuk menjadi bahasa Melayu Tinggi, yang akan digunakan Belanda sebagai bahasa administrasi sekaligus bahasa pengantar dalam pendidikan. Bahasa Melayu Pasar, Kinah, dijadikan alat pemberontakan, alat revolusi, oleh para cendikiawan dan jurnalis pejuang kita. Koran-koran revolusioner menerbitkan propaganda politik anti-penjajahan dalam bahasa Melayu Pasar. Mengapa? Karena kebanyakan orang jelata di Hindia Belanda saat itu paham Melayu Pasar, dan bukan Melayu Tinggi atau bahasa Belanda. (Akh, coba kau selesaikan dulu Tetralogi Buru-nya Pramoedya Ananta Toer, biar kau paham bagaimana pergulatan Minke saat dia disuruh oleh Kommer untuk menyampaikan gagasan-gagasannya dalam Melayu, alih-alih Belanda. Jangan bilang kau mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia kalau belum baca Tetralogi Buru. Itu kanon sastra Indonesia yang wajib jadi bacaanmu. Hehe)
***
Aduh, capek aku ngetik. Hahaha…
Beberapa pertanyaanmu memang tidak kujawab secara langsung sebab aku harus menjelaskan dulu apa yang kumaksud dengan argumentasi alineasi manusia oleh bahasa. Dan, setelah kau pahami, aku kira pertanyaan itu jadi tidak perlu lagi dijawab langsung. Kau coba baca dulu tulisan Membentuk dan Dibentuk Bahasa itu. Di situ aku bicara banyak tentang 1984. Aku harap teks itu bisa membantu pemahamanmu. Jika ada yang masih ingin kau diskusikan, jangan ragu untuk bertanya lagi, ya.


NB: Oh, iya. Karena Mediasastra.com itu sekarang juga mempublikasikan berita seputar sastra, jadi aku harap Kinah sudi meliput kegiatan-kegiatan sastra di Medan, menuliskannya dalam bentuk berita langsung lalu mempublikasikannya di Mediasastra.com. Biar berita sastra di Mediasastra.com semakin berwarna. Medan pasti punya cerita asyik tentang sastra. Kabarkan pada Indonesia lewat Mediasastra.com, Kinah!

Demikian,
Ginting
-------------------------------------END--------------------------------------
Demikianlah diskusi-diskusi itu terjadi, dan aku yang saat itu masih mentah-mentahnya belajar soal kebahasaan mendapat wawasan dan teman baru untuk pertamakalinya. Terima kasih kawanku Abangda WAP Ginting yang sedia mengirimkan Neewsletter Lidahibu dengan cuma-cuma berbulan-bulan lamanya. Kemudian sabar dan telaten menjabarkan padaku apa itu linguistic, apa itu Bahasa. Dimanapun kau berada, ingat atau sudah lupa kepadaku, yang pasti Ilmu bermanfaatmu telah kau bagi kepadaku. Maka dengan ini izin kusebar luaskan percakapan kita. Menjadi bacaan, wawasan, atau hiburan bagi pembacanya. Tabik!

www.kinamariz.com
Diriku sewaktu menjadi moderator suatu acara di kampus, busy as always :D
Ditulis kembali dan cerita ini milik : Sakinah Annisa Mariz

1 comment

  1. Silahkan untuk berkomentar, namun ingat ya link hidup tidak diperkenankan diletak sembarangan di sini. Insya Allah saya siap kok blog walking tanpa harus nempel-nempel backlink. Ok. Thanks

    ReplyDelete

Mohon tidak meninggalkan link hidup di kolom komentar. Terima kasih.

Literasi Digital