Omong-Omong Sastra Medan : Dibalik Pendar Rumah Cahaya

www.kinamariz.com
Ekspressi yang terjadi saat tak berhasil menemukan foto kegiatan ini
#SakinahMenulis-“Puisi bukan sekedar rangkaian kata-kata indah, namun juga mempertimbangkan nilai-nilai dan logika formal di dalamnya,” demikian tutur Ali Yusran, saat Omong-omong Sastra yang dilaksanakan di Rumah Cahaya, Sekretariat FLP Sumut, Minggu 13 November 2011.

Di Omong-omong Sastra (Omsas) kali ini, FLP lah yang bertindak sebagai tuan rumah. Tidak kurang dari 60 penulis berkumpul di Rumah Cahaya, -sebutan bagi sekertariat Forum Lingkar Pena (FLP) cabang Medan-, yang berlokasi di Jl. Sei Deli, Gg. Sauh No. 18, Medan. Kegiatan rutin yang dilaksanakan setiap dua bulan tersebut, dihadiri oleh para sastrawan, penulis-penulis yang terhimpun dalam komunitas kepenulisan, kaum akademisi, hingga penikmat sastra. Berdiskusi, berbagi ilmu, gagasan, serta menjalin kekerabatan yang hangat, menjadi alasan para penulis untuk menghadirinya.

Damiri Mahmud dan M Raudah Jambak, selaku pengagas Omong-omong Sastra, tampak berseri menyambut kehadiran rekan-rekannya. Untuk angkatan tahun tinggi, hadir disana Jaya Arjuna, Ali Yusran, Sulaiman Sambas, Norman, Darwis Riva’i Harahap, Ys Rat, Yunus Rangkuti, Afrion, Idris Siregar, Mihar Harahap, Hasan Al Banna, hingga Yulhasni. Selanjutnya diramaikan oleh penulis kelahiran tahun 1980-an, seperti Ilham Wahyudi, Sukma, Embar T. Nugroho, Omadi Pamouz, Maulana Satrya Sinaga, Ria Ristiana, Evi Andriani, dan puluhan penulis muda lainnya dari berbagai komunitas.

Diskusi dipandu oleh Fadhil, ketua FLP Medan. Dalam hal ini, Ali Yusran, -kerap dipanggil Datuk Majoindo-, menjadi pembicara tunggal, sebab Agus Susilo yang seharusnya menjadi pembicara kedua, tidak dapat hadir, Demikian pesan tersebut disampaikan oleh M Raudah Jambak, sebelum diskusi dimulai.
www.kinamariz.com
Speak Aloud -Image Source by Google.com-
Materi yang dibawakan Datuk berkenaan dengan puisi dan era perpuisian di zamannya. Menurut pengamatannya, puisi-puisi milik generasi saat ini adalah puisi yang kaya kata-kata. Kosa kata yang apik dirangkai menjadi baris-baris puisi, lalu mereka membiarkan imajinasi itu menggelepar liar dalam puisinya. Akhirnya puisi-puisi tersebut menjadi penuh, terlalu sarat peristiwa, hingga seolah ingin menjungkir-balikkan logika. Padahal, ketika berkreativitas sekalipun, seseorang biasanya tidak akan terlepas dari konvensi-konvensi sastrawi. Namun sepertinya penulis-penulis yang lahir diangkatan setelahnya, kurang menyadari hal tersebut. Mereka memilih untuk hidup bebas pada puisinya, menanamkan kata-kata di tiap baris puisinya dan mengatakan kalau puisi seperti itu adalah representasi hidupnya.

Mengenai hal ini, Datuk merasa itu sah-sah saja sebab menyangkut hak dan kebebasan seseorang untuk berkarya. Akan tetapi, setelah itu Datuk mulai bercerita tentang Almarhum Eldian Arifin yang pernah mengamuk dan membuang 200an naskah puisi yang seharusnya diantalogikan, karena kesal terhadap penulis yang tak memakai konsistensi kelogisan pada puisinya. “Sekurang-kurangnya puisi memuat hal-hal yang relevan dengan proses berfikir… Misalnya saja puisi bercerita tentang dermaga, janganlah di dalamnya bercerita tentang langit. Fokuskan kemana arah puisi yang akan ditulis. Puisi bukan sekedar berisi pencitraan imaji dan kuantitas kata-kata," jelas Datuk.

Menanggapi materi yang disampaikan Datuk, banyak gagasan-gagasan bermunculan dari golongan penulis muda. Mereka kembali mempertanyakan analisis kritis tentang karakteristik dan wajah perpuisian Indonesia, hari ini. Istilah tentang 'sajak-sajak terang' dan 'sajak-sajak gelap', serta tentang klaim bahwa banyak penyair senior yang justru seolah diamini saja ketika mereka mulai menjungkir-balikkan logika-logika formal di puisinya. Kesemua pertanyaan dijawab dan ditanggapi bukan hanya dari pemateri, tetapi juga peserta diskusi lainnya. Diskusi berjalan lancar namun tetap sibuk melahirkan gagasan dan pemikiran-pemikiran baru.

Omong-omong Sastra menghangat siang itu, apalagi memasuki waktu Zuhur. Peserta sudah mulai gelisah, bahkan beberapa orang mulai berpamitan. Untung saja ahli bait menyajikan makan siang sebelum memulai diskusi di sesi kedua, sehingga diskusi pun kembali berjalan lancar. Hingga akhirnya pada penutup diskusi, M Raudah Jambak, selaku pengurus mengumumkan bahwa Omong-omong Sastra selanjutnya dilaksanakan 22 Januari 2012, di kediaman Sulaiman Sambas, berlokasi di Jalan Mesjid, Pasar 9 Tembung.

Ditulis oleh : Sakinah Annisa Mariz


1 comment

  1. Silahkan untuk berkomentar, namun ingat ya link hidup tidak diperkenankan diletak sembarangan di sini. Insya Allah saya siap kok blog walking tanpa harus nempel-nempel backlink. Ok. Thanks

    ReplyDelete

Mohon tidak meninggalkan link hidup di kolom komentar. Terima kasih.

Literasi Digital