Cerpen: Di Titik Nadir

www.kinamariz.com
Salah satu sudut hening di tepian Danau Toba - Menemukan Inspirasi
#SakinahMenulis-Langit masih pekat, hanya ada sepotong sabit kecil, menyala redup. Desir angin menghembuskan hawa dingin, menggigit. Menggoyangkan butir-butir embun yang menitik dari kuncup daun-daun muda. Seorang lelaki yang tertidur di bawah rimbun bunga-bunga di taman kota itu, seketika terjaga. Spontan dia mengutuk dan menyeka pelipisnya. Beberapa menit kemudian, lelaki itu kembali meringkuk, bergelut dalam lelapnya sendiri.

Kasman nama lelaki itu. Perantau dari tanah Jawa yang mencoba mengadu nasib di bumi Sumatera. Berbekal sedikit uang hasil penjualan sepeda motornya, juga do’a tulus dari sang istri dan tiga anak perempuannya, Kasman berangkat. Tidak sendiri, bersama Kasman, ikut pula Hendrik, Toto, dan Gugun. Mereka berempat sudah bersepakat dengan Bang Rustam untuk bekerja sebagai kuli di proyek perbaikan jalan, yang katanya menelan waktu dua bulan. Masalah gaji, juga terdengar lumayan menggiurkan. Tapi ya itu tadi, gajinya baru diterima setelah proyek selesai dalam waktu dua bulan.

Minggu pertama mereka bekerja, semuanya terasa lancar-lancar saja. Mandor tak pelit membagi rokok dan jatah makan yang diterima juga pantas-pantas saja. Kasman dan ketiga temannya, masih dibolehkan menghubungi istri dengan meminjam seluler Bang Rustam, hubungan mereka sangat baik, sampai memasuki minggu ketiga dan keempat. Di minggu keenam, Kasman dan teman-temannya mulai mempertanyakan gaji mereka yang tak kunjung berkabar. Jatah rokok dan makan mulai macet. Bang Rustam lebih sering memberi perintah ketimbang upah. Setiap hari, ada saja pekerjaan yang membuatnya naik darah. Mulai dari tali katrol yang putus, semen yang tumpah, hingga kerikil pun dipermasalahkan. Jam kerja yang seharusnya dimulai sejak pukul tujuh pagi hingga pukul delapan malam, diperpanjang hingga pukul dua belas malam. Jadwal shift yang seharusnya digantikan oleh teman yang lain, dipaksa untuk dilanjutkan sendiri. Akibatnya, banyak pekerja yang jatuh sakit. tak terkecuali Kasman.

Dua bulan tepat, saat proyek selesai. Semua pekerja berharap dan berdebar menunggu amplop hasil kerja kerasnya selama ini. Namun malang tak tertolak, mujur tak teraih, Bang Rustam pun menghilang, seiring dengan hilangnya lubang-lubang di jalanan. Kasman dan ketiga temannya sudah mencarinya kemana-mana, tapi mereka tak menemukan jejak apapun. Mereka ditipu mentah-mentah, hingga akhirnya mereka terpaksa menggelandang di jalanan, kelaparan, dan terasing.

www.kinamariz.com
Need Help -Image Source by Google.com-
“Bu’, minta uangnya seribu saja, Bu’. Saya lapar, sudah dua malam saya belum makan.”

“Apa? Minta uang? Kau pikir aku ini siapamu? Aku pun belum makan. Kerja sana! Jadi laki-laki kok manja!” seorang ibu yang memeluk karung belanjaannya, melirik lelaki itu dengan sinis.

“Iya nih, apalagi kamu kan masih muda. Masih kuat tenaga, ya jangan minta-minta! Cari kerja, sana! Usaha!” sahut wanita berseragam hijau tua, di sisi kanannya. wanita itu menatapnya jijik sambil mengetuk-ngetukkan hak sepatunya ke aspal.

“Saya mau bekerja apa saja, Bu’. Tapi Bu, ndak ada yang mau memberikan pekerjaan pada saya. Kata mereka, ini karena saya miskin. Orang miskin, mana boleh dipercaya. Lagian saya bukan orang sini, Bu. Mereka bilang, saya harus tunjukkin KTP, baru saya boleh kerja. Waduh Bu, boro-boro punya KTP, ngurusin perut yang sejengkal aja saya ndak kuat, Bu. Tolonglah, Bu.” disodorkannya tangannya yang pucat dan kotor. Tapi tampaknya si wanita berseragam semakin tak acuh.

“Ya sudah, Bu. Maaf kalau saya mengganggu.” Lelaki itu pun menjauh dari wanita berseragam. Tak ingin kehabisan akal, dihampirinya lagi si ibu yang memeluk karung belanjaan.

“Kalau ibu mau, saya bisa bawakan belanjaan ibu. Rumah ibu dimana?” tawarnya.

“Nggak usah, aku bisa bawa sendiri.” balasnya ketus.

“Seribu saja, Bu?” tawarnya lagi. Ibu itu lagi-lagi menggeleng.

Si Lelaki tampak kelelahan. Wajahnya pias dan keringat dingin mulai menyembul di kulitnya lengannya yang berminyak. Pelan-pelan, disandarkannya tubuhnya yang lemas ke pinggir halte yang sesak. Berharap ada sekeping recehan mengulur, padanya. Mata laparnya mengisyaratkan, untuk melihat recehan di tempat yang lain. Sebuah dompet mengkilap, mengintip dari rekahan resleting tas seorang mahasiswi yang tegak membelakanginya. Tas yang ditenteng, menjulur pelan-pelan ke arah si lelaki yang tergolek lapar. Jantungnya berdenyut kencang. “Ya Tuhan, maafkan hamba.” gumamnya sebelum merogoh dompet itu dan kabur tanpa menyisakan bekas.

***

“Orang bilang tanah kita, tanah surga. Tongkat batu dan kayu jadi tanaman. Permisi Pak, Bu,” Hendrik terus memetik gitar kecilnya sementara Kasman bernyanyi seraya menyodorkan kantong plastik kecil ke lorong-lorong angkot yang sarat penumpang. Setelah letih mengamen, akhirnya Hendrik dan Kasman pun duduk di depan warung mie balap.

“Dapat berapa, Man?” tanya Hendrik sambil mengipasi lehernya yang basah oleh keringat.

“Lumayan, lima belas ribu. Tiga ribunya bisa buat sewa gitar, nah sisanya kita bagi dua, Mas…”

“Bagi dua? Eh,eh,eh, enak aja sampeyan mau minta dibagi dua. Lha, wong aku yang capek maen gitar, kamu ini tinggal nyanyi-nyanyi wae, kok mau sama rata. Ndak bisa! Aku sepuluh ribu. Dua ribunya buat kamu!” Hendrik melotot tajam ke arah Kasman.

“Tapi Mas, kita kan sama-sama capeknya. Sama-sama butuh makan, butuh ongkos pulang. Kalau Mas kasih dua ribu, saya dapat makan apa, Mas?” Kasman memelas.

“Ya terserah aku.”

“Mas, jangan gitu. Sama saudara sendiri, ndak usah main itung-itungan, Mas. Kita ini hidup di rantau. Harus saling menguatkan, saling tolong menolong. Jangan seperti Bang Rustam yang udah ditolong, eh ternyata malah memanfaatkan kita. menipu kita.”

“Apa sampeyan bilang? Oh, jadi maksudmu aku ini mirip Rustam si biadab itu, hah? Si Penipu itu! Ah, sial! Berani sampeyan samakan aku dengan Si Busuk itu? Hah? Mau mati, sampeyan?” Hendrik mengacung-acungkan gitar plastik kecilnya, Kasman memandangnya ketakutan, tapi Hendrik sudah kalap. Gitar segera menancap di kepala Kasman. Darah segar mucrat dan Kasman sontak menggelepar, meraung. Refleks Kasman membalas tepat di ulu hati Hendrik dengan ujung kakinya. Hendrik balas menghajar Kasman. Kasman melawan Hendrik. Mereka saling memukul hingga kehabisan banyak tenaga dan menyisakan cercahan darah. Di depan warung, tak ada yang bergeming, semua sibuk dengan dirinya sendiri. Larut dalam hingar-bingar permainan yang lain, di pertaruhan yang lebih mendebarkan.

***

“Orang gila. Orang gila!” sorak-sorai bocah-bocah kampung terdengar jelas di beranda depan rumah. Santi yang tengah hamil tua, sedang menungging, memetik kangkung di halaman samping, berjengit telinganya.

“Siapa orang gila yang diteriaki anak-anak itu?” batinnya. Di depan, suara anak-anak semakin riuh terdengar. Ada pula suara lemparan batu berkelotak dan jerit mengaduh. Dengan jantung berdebar, Santi meletakkan petikan kangkungnya ke tanah. Diikatnya kangkung-kangkung itu dengan tali yang dibuat dari kulit pohon pisang yang dikeringkan. Buru-buru dia melangkah ke pekarangan, suara gaduh anak-anak dan penduduk kampung masih membahana. 

Di depan rumah, terlihat Kepala kampung dan beberapa warga memasuki halaman rumahnya yang tak berpagar. Salah seorang anak perempuannya tampak berada di rombongan itu. 

“Oalah, ada tamu rupanya.” tutur santi berbasa-basi, padahal hatinya sendiri merasa bimbang dan kecut dengan keramaian ini. Seratus tanda tanya menempel di kepalanya. “Gusti, semoga ini bukan tentang suamiku” batinnya berdo’a. Belum lagi Santi menyilakan Kepala kampung masuk ke dalam rumah, tiba-tiba suara tawa yang sangat dikenalnya menggelegar dari kerumunan massa.

“Pak! Pak! Kau kah itu?” Santi menjerit histeris. Suaminya, Kasman tengah berjongkok dipegangi dua orang lelaki. Tatapan mata kosong dan cengengesannya yang lain dari biasa, sangat terang bercerita pada Santi. Santi ambruk.

KSI-Medan, 2013
(Kala tengah malam jadi tempat istirah bagi mereka yang lapar)

Ditulis oleh : Sakinah Annisa Mariz

1 comment

  1. Silahkan untuk berkomentar, namun ingat ya link hidup tidak diperkenankan diletak sembarangan di sini. Insya Allah saya siap kok blog walking tanpa harus nempel-nempel backlink. Ok. Thanks

    ReplyDelete

Mohon tidak meninggalkan link hidup di kolom komentar. Terima kasih.

Literasi Digital