Cerita Anak : Waktu Naik Bis

www.kinamariz.com -Image Source : Infonawacita.com-
#SakinahMenulis-Siang ini matahari bersinar terik. Lonceng pertanda pulang sekolah baru saja berbunyi. Sekejap terlihat murid-murid berlarian keluar dari kelas masing-masing. Lapar dan lelah terpancar dari wajah mereka. Anak-anak berseragam putih merah itu pun berjalan menuju gerbang sekolah. Ada yang menanti jemputan orangtuanya, sopir atau abang beca langganan. Sebagian ada pula yang berkumpul menanti bis sekolah.

Di depan pintu kelas, berdiri seorang anak perempuan. Rambutnya yang sebahu mulai basah oleh tetesan keringat. Wajahnya cemas, butir-butir keringat itu mulai bermunculan di dahi leher dan permukaan hidungnya.

Tak seperti biasanya, hari ini Papa tidak menjemput Raisa. Pagi tadi Papa memutuskan bahwa Raisa harus pulang sekolah naik bis. Selain karena kesibukan Papa di kantor, berangkat dengan bis juga melatih displin, mandiri dan sifat berani dalam diri anak-anak. Raisa masih ingat nasehat Papa sewaktu dia menolak pulang dengan bis.

Ini adalah pertama kalinya Raisa menaiki bis. Takut dan gugup dirasakannya ketika namanya di panggil kondektur, Papa sudah menghubungi pihak sekolah. Tidak ada jalan lain, Raisa harus pulang dengan bis. Tangga untuk naik ke dalam bis ternyata tinggi dan curam sekali. Bayangkan saja, Raisa bahkan harus memanjat dengan memegangi besi panjang yang tegak di bagian dalam bis. Dengan kepayahan, ia menaiki tangga bis yang curam dan bersisi lancip. Berbahaya sekali jika tidak hati-hati. Jarak antara anak tangga yang satu dan yang lainnya pun cukup tinggi. Kira-kira setinggi lutut Raisa.

Setelah tiba di dalam bis, buru-buru Raisa mencari tempat duduk. Ia sangat lelah. “Baru naik tangganya saja, aku sudah tidak kuat!”. Raisa mengomel dalam hati. Matanya terus mencari-cari bangku kosong, hingga ke barisan paling belakang. Gawat, tidak ada bangku kosong. Ia melihat ke sekeliling bis. Bis ini begitu padat. Anak-anak lain yang lebih dulu naik, duduk di kursi dengan santai. Sementara yang terlambat seperti Raisa, harus rela berdiri di gang pemisah antara barisan kursi. Tangan mereka menggantung disebuah lingkar besi tipis. Besi itu diikat menggantung pada sebuah tali yang kokoh dari langit-langit bis. Namun, jika kita memegangnya dengan baik, kita tidak akan terjatuh pada saat bis melaju kencang. Huh, lagi-lagi Raisa mendengus nafas dengan kesal.

Beberapa saat kemudian, bis melambat. Ternyata ada seorang anak yang mau turun. Kebetulan sekali, jarak berdiri Raisa sangat dekat dengan bangku anak tadi. Raisa berharap, ia bisa secepatnya melompat kesana jika anak itu turun nanti.

“Aduh!” seorang anak perempuan kecil yang juga berdiri disamping Raisa mengaduh pelan. Wajahnya terlihat lelah dan pucat. Bajunya telah basah oleh keringat. Raisa melihat anak itu terus mengibas-ngibaskan tangannya. Pasti pegal, karena terlalu lama bergantungan. Raisa pun merasa kasihan dengan anak itu. Ia lalu mempersilahkan anak itu untuk duduk di bangku yang kosong. Anak itu mengucapkan terima kasih pada Raisa sambil tersenyum.

“Biarlah, dia lebih butuh istirahat dari aku. ” Pikir Raisa. Bis melaju lagi, dan Raisa tetap saja berdiri. Kini, tinggal Raisa dan anak perempuan kecil itu di dalam bis. Rumah mereka berdua memang paling jauh dari yang lainnya. Di perjalanan, mereka saling berkenalan, mulai dari nama hingga duduk di kelas berapa. Ternyata, anak itu adalah adik kelas Raisa. Namanya Adel, mulanya ia juga pemalu seperti Raisa. Akan tetapi, sekarang ia sudah terbiasa dengan keramaian dan sahabat-sahabat baru. Baru sebentar mereka berbicara, bis berhenti. Raisa telah tiba di rumahnya. Sebelum turun, tak lupa ia melambaikan tangannya pada Adel.

“Daah Adel!! Sampai jumpa besok ya” teriak Raisa dari luar. Adel pun membalas lambaian tangan Raisa dengan gembira. Dalam hati, Raisa sangat senang mendapat teman yang baik seperti Adel, mereka berjanji akan bertemu lagi di bis sekolah.

***

“Mulai besok, Raisa pulang dan pergi sekolah naik bis aja ya Pa,” pinta Raisa pada Papanya sehabis makan malam.

“Lho? Kenapa kamu nak?“ Mama terkejut mendengar permintaan Raisa. Papa cuma tersenyum mendengar permintaan putri semata wayangnya itu.

“Boleh kan Pa, Ma?“ pintanya lagi. Papa dan Mama mengangguk tanda setuju.

“Cihuyy!” Raisa melompat memeluk Mama dan Papanya. Cepat-cepat ia menggosok gigi dan menyiapkan peralatan sekolahnya untuk besok. Untung saja semua PRnya telah dikerjakan pada sore hari, sehingga malam ini Raisa bisa cepat beristirahat, karena besok harus bangun lebih pagi.

Tidak terasa, sudah dua minggu Raisa berangkat dan pulang dengan bis. Rutinitasnya mulai berubah menjadi lebih baik. Subuh-subuh Raisa sudah bangun. Karena sekarang, ia sudah bisa bangun sendiri. Setelah sholat subuh berjamaah dengan Papa, Raisa bersiap berangkat sekolah. Ia menghabiskan sarapan paginya dengan tenang, sebab masih pukul 06.00 wib. Tidak seperti sewaktu berangkat dengan Papa, semuanya serba buru-buru. Itupun Mama sudah bersusah payah membangunkan Raisa lebih pagi, agar punya waktu luang untuk beres-beres buku pelajaran dan sarapan pagi.

Tepat pukul 06.30 wib, bis menjemput Raisa. Setelah berpamitan pada Papa dan Mama, Raisa berangkat. Tangga bis yang kemarin terasa curam dan tinggi, kini terasa rendah dan biasa-biasa saja. Raisa memilih bangku yang paling depan, agar bisa melihat-lihat pemandangan diluar. Untung saja bis belum terlalu ramai.

"Kak Raisa“ Adel menepuk bahunya dengan riang. Mereka duduk bersama. Akhirnya, Raisa menyukai bis. Ternyata banyak pengalaman berharga yang bisa kita dapatkan jika kita mau mempelajari sesuatu yang baru, seperti naik bis.

Ayo teman-teman, siapa yang sudah pernah naik bis?


KSI Medan, 10 November 2008

(Ditulis oleh : Sakinah Annisa Mariz)

No comments

Mohon tidak meninggalkan link hidup di kolom komentar. Terima kasih.

Literasi Digital