Cerpen : Lelaki, Lelaki

#SakinahMenulis-Pandangan kami beradu, segaris pelangi kembali memancar di bola matanya. Menegaskan barisan alis yang melengkung rapi, sempurna seperti jalinan nyiur yang rebah, teduh memayungi kelopak berhias bulu mata lentik dan sedikit panjang. Lelaki berwajah malaikat itu tersenyum lembut membalas lamunanku. Aku terhanyut dalam pesona yang dipancarkannya. Ia mulai jengah kupandangi. Hihi.. Aku meringkik malu dalam hati, menyadari ketololanku.
www.kinamariz.com -Image Source : Publicradioeast.org-
“Ehm.. sampai dimana tadi?” tanyaku berpura-pura meneruskan pembicaraan.

“Tentang anda..”  jawabnya santai.

“Aduh maaf sekali, saya harus kembali ke kantor. Jam istirahat sudah habis. Terima kasih ya buat kopinya. Sampai jumpa!”  balasku buru-buru. Tak ingin mengulangi tatapan bodohku padanya.

Kami berpisah di depan cafe, sore itu. Matahari hampir saja lenyap di barat, menyisakan garis-garis jingga yang memantul di langit sore. Kutinggalkan sebuah kartu nama di tangannya ketika kami saling merengkuh  jemari satu sama lain. Dia membalas senyumku sebelum aku melaju dengan Toyota silverku. Lelaki itu, lelaki pertama yang membuatku serasa menjadi orang terbodoh di dunia.

***

Drrrt..drrttt.. handphoneku bergetar. Kulihat nomor yang tertera dilayar. Dengan gugup kutekan tombol “yes” di keypad.

“Halo..” suaranya terdengar tegas, namun lembut dan bening.

“Hm..” desisku sambil menarik nafas panjang.

“Ambar?“ ujarnya lagi, masih dengan suara khas lelakinya.

“Benar, maaf  ini siapa?” sahutku. Aku tahu  pasti, suara itu milik eksekutif muda yang kutemui tadi sore. Harusnya aku tidak perlu gugup begini, bukankah aku sudah sangat sering menerima telepon dari seorang lelaki? Jadi aku tidak perlu terlalu gembira. Suaranya menggema seperti dentang genta yang menggema di dadaku, kegembiraan asing yang meruap dari getaran nafasku sendiri. Kami bicara sebentar, lalu mengatur pertemuan rahasia di cafe seperti kemarin. Untuk setiap pertemuan kami, aku menghabiskan coffe break yang seharusnya bisa kudapatkan gratis di kantorku. Caranya tidak mudah, karena aku harus berpura-pura pada kekasihku, jika aku benar-benar butuh refreshing dalam hubungan kami. Untung saja dia mengerti dan tidak memaksaku untuk terus bersamanya.

Malam ini, aku dan Hans menghabiskan detik arloji kami di depan sebuah restoran Prancis. Aku seperti mendapat kegembiraan baru dalam hidupku yang selama ini hanya berisi rutinitas dan rutinitas. Kecanduanku akan pelangi di bola matanya, suara merdunya, dan lantunan kata-katanya yang lugas, memaksaku mengakui ketertarikanku padanya.

“Hans...” panggilku hati-hati. Dia menyahutiku dengan memamerkan wajahnya yang masih memancarkan aura kasmaran. Sorot matanya, seolah ingin merubuhkan bendungan rinduku. Aku menarik nafas dalam-dalam, meredam gemuruh rindu di jantungku yang menggebu.

“Aku ingin berbicara tentang...” aku tidak sempat menuntaskan kalimatku. Sejujurnya aku ingin menyelipkan objek “kita” di kalimatku tadi, akan tetapi Hans buru-buru menekankan jarinya dibibirku.

“Sst..diamlah..” potongnya lembut. Ia menunjukkan langit malam yang berkabut, tiba-tiba benda-benda kecil berguguran di langit, rinainya berlomba menarikan senandung hujan. Aku menatapnya takjub di balik gerimis sementara Hans memeluk bahuku hangat. Ah, kalau saja dia bisa mendengar gerimis lain di hatiku.

Malam tambah pekat. Aku merasakan dingin embun mulai menjalari ujung kakiku. Di sisiku Hans meringkuk, dia memeluk tubuhku hangat. Aku tak tega membangunkannya selarut ini. Kami sudah terbiasa menghabiskan malam-malam kami di rumahku yang senyap. Apabila fajar mulai memerah di langit timur, Hans akan lesap dengan membawa gumpalan rinduku dan kembali apabila jam di rumahku berdentang dua belas kali, tengah malam.

Kami pernah berbincang pada suatu malam. Kala itu aku baru selesai menyiapkan proposal atasanku dan mengecek beberapa laporan keuangan pribadiku yang melonjak drastis. Diam-diam, aku menaruh kesal pada angka-angka sakti yang membobol seluruh dana persiapan pernikahanku yang sudah kukumpulkan sejak tiga tahun silam. Hans menatapku dengan wajahnya yang nakal. Aku mulai angkat bicara.

“Hans, aku sudah lelah dalam kehidupanku yang sibuk dan menjemukan.” Aku berusaha  berkata seolah-olah pada diriku sendiri. Kutangkap raut gelisah di wajahnya. Dia mulai tak sabar menanti kelanjutan kata-kataku, dia menggeser posisi duduknya dan menatap wajahku lebih dalam.

“Apa yang membuatmu kesal, Ambar?” dia bertanya begitu polos dan itu semakin membuatku tersiksa.

“Kau membuatku banyak berkhayal tentang dunia yang lain, yang tak boleh kumiliki selama ini!!” balasku sambil menepis tangannya yang menjalar liar di pipi dan bibirku. “Kuakui aku membutuhkanmu Hans, tapi kurasa kita terjebak di ruang yang salah.” Aku mengatakan itu sambil menggenggam jemariku kuat-kuat. Buku-buku jemariku memutih seperti wajahnya yang tiba-tiba memucat. Sungguh, aku tak ingin kehilangan Hans, namun rasa muak itu juga yang membuat nuraniku berontak. Tak mungkin aku bisa melanjutkan kembali hidup normalku jika masih saja kulihat setitik harapan kecil yang menggelayut hangat di mata Hans.

“Maaf  kalau aku mengatakannya sekarang. Kurasa, kita telah terporosok terlalu dalam Hans. Aku mencintaimu, maka kita harus saling menjauh!” tuturku. Wajah lelaki yang sudah kukenal lima bulan lalu itu merah padam. Aku seperti melihat gerombolan serigala dalam kegelapan hutan. Kebuasan yang mengendap-endap dan siap menerkam. Hans mencakar bajuku dan seketika itu pula aku limbung dari konsentrasiku. Kami saling mencengkram, mengigit dan berakhir dengan dengusan nafas yang memburu.

Aku terduduk bisu, masih tak percaya jika Hans bisa melakukan itu padaku. Sejenak mata kami bertemu. Aku bisa merasakan desah nafas liar di balik bibirnya yang tipis itu. Ia mengelus rambutku yang pendek, lalu jemarinya menyusuri lekuk mata, pipi, dan daguku. Ia menempelkan bibirnya dengan lembut ke bibirku yang pucat, seperti yang biasa dilakukannya.

Aneh, aku tidak pernah merasa begitu jijik seperti ini, padahal jauh sebelumnya aku sangat menikmati itu. Biasanya setelah itu, kami akan berpelukan erat lalu bercerita banyak hal tentang malam dan kecintaan kami pada hujan.

“Kita tidak pernah salah Ambar. Biarkan mereka yang menganggap salah.” rayunya saat aku berusaha lepas dari pelukannya.

“Kau dan aku sama-sama lelaki...” ucapku miris. Ia hanya membalas tatapanku dengan wajah  tenang, tanpa pernah merasa bersalah.

“Lalu kenapa?” sahutnya seperti menguatkanku. Ia kembali menciumku, aku menolaknya dengan kasar.

“Seharusnya aku tidak melakukan ini sebagai seorang lelaki. Ada Ayumi yang setia menantiku untuk menikah. Anak kami yang tumbuh di rahimnya, kian membesar saja. Sebagai lelaki, aku bertanggung jawab penuh atas itu. Maafkan aku Hans, kurasa kau bisa mengerti jika aku mencintaimu dan mencintai hidupku.” Aku mengakui keegoisanku dan naluriku pada Hans.

“Pergilah Hans. Temukan cinta sejatimu yang sesungguhnya, karena kau tahu kau hanya mencintaiku sesaat. Anggap saja hubungan kita ini adalah bagian dari kenakalan imajinasimu. Kita akan baik-baik saja.” kataku. Sejenak Hans tercenung menatap lelehan keringatnya yang membercak di kausku. Kilat matanya menggantungkan kepedihan. Bukan hanya kepedihan sebagai seorang kekasih yang ditinggalkan oleh lelaki pujaannya, melainkan kilat dendam yang membayang atas luka yang kugoreskan pada jiwa kelaki-lakiannya.

Tanpa berbicara sepatah pun, dia bangkit dan berlalu dari pandanganku. Mengumpulkan pakaiannya dan memasukkannya ke kantung tas besar miliknya yang terselip di balik almariku. Sekejap, mobilnya melesat di jalanan. Meninggalkan jasadku sendiri, terengah-engah mencari udara di atas ranjangku yang berlumur darah.
Pelaku pembunuhan sadis terhadap korban Ambawara Putra (32 thn), Direktur Pemasaran Perusahaan X, berhasil ditangkap polisi. Pelaku yang menghabisi nyawa korban dengan sayatan melintang sepanjang 50cm pada dada, leher, dan organ vitalnya ini, diduga adalah kekasih korban. Dari keterangan warga, pelaku dan korban adalah pasangan sesama jenis yang selama ini tinggal berdua di rumah koban.
www.kinamariz.com -Image Source : Popsugar.com-
 Ayumi menatap koran pemberian Miskha dengan wajah pucat. Digenggamnya koran bekas itu dengan tangan basah dan bergetar. Jantungnya seakan mau melompat ketika berulang-ulang tertulis di koran itu, nama asli korban. Sekarang dia mulai paham, mengapa selama tiga hari terakhir ini, Ambar tak lagi menelponnya. Lelaki yang sebentar lagi akan menjadi Suaminya itu telah leyap di tangan lelaki simpanannya. Tiba-tiba kepalanya berdenging, perutnya terasa mulas dan menghentak, agaknya cabang bayi yang dikandungnya itu sudah bisa menendang.

KSI Medan, Mei 2010
(Ditulis oleh : Sakinah Annisa Mariz)

1 comment

  1. Silahkan untuk berkomentar, namun ingat ya link hidup tidak diperkenankan diletak sembarangan di sini. Insya Allah saya siap kok blog walking tanpa harus nempel-nempel backlink. Ok. Thanks

    ReplyDelete

Mohon tidak meninggalkan link hidup di kolom komentar. Terima kasih.

Literasi Digital