Esai : Kritik Sastra Indonesia (Mutakhir), Benarkah Diambang Kepunahan?

www.kinamariz.com
Kritik Sastra -Image Source by Google.com-
#SakinahMenulis-Sastra Indonesia mutakhir masih jadi perbincangan hangat para sastrawan hingga kini. Era ini semakin semarak pula dengan munculnya penulis-penulis muda yang aktif dan ikut ambil bagian dalam mewarnai khazanah sastra Indonesia. Dalam konteks ini, tidak dapat dipungkiri, media cetak dan dunia cyber sebagai sarana sastrawan menyuarakan tulisannya memberikan kontribusi yang sangat besar bagi seorang penulis untuk membuktikan kredibilitas karyanya.

Tolak ukur bahwa “seseorang belum dikatakan penyair apabila karyanya belum menembus koran X” atau “dia disebut pujangga sebab karya-karyanya sudah banyak tersebar di situs dan web X” seolah menjadi stigma bagi sekelompok orang sebelum mengkultuskan diri menjadi sastrawan. Kelahiran karya-karya sastra yang terus membludak dari penulis-penulis yang juga terus bermunculan, sebenarnya adalah fenomena yang menggembirakan. Lahirnya komunitas-komunitas pemerhati sastra juga bagian dari gejala kebangkitan sastra, namun apakah kejayaan suatu era sastra mutakhir ini cukup sampai di situ?

Kekritisan Kritik Sastra

Prof Dr Budi Dharma dalam diskusi sastra di Seminar Nasional, Temu Sastrawan Indonesia III di Tanjung Pinang, mengatakan bahwa mati dan hidupnya suatu era sastra, sebenarnya terukur dari keseimbangan antara karya sastra yang lahir dan kritik sastra yang mengikutinya. Untuk dapat mengimbangi ketimpangan ini, Indonesia haruslah melahirkan juga kritikus-kritikus yang patut untuk mengkritisi karya-karya sastra tersebut. Seperti halnya Saut Situmorang yang berpendapat “pasangan dari karya sastra itu adalah kritik sastra. Tanpa kritik, karya-karya tersebut akan kering dan mati.”

Jika kita tinjau ulang, keberadaan tiga cabang ilmu sastra yaitu, teori sastra, kritik sastra dan sejarah sastra, memang sangat kuat pengaruhnya dengan perkembangan sastra itu sendiri. Sastra Indonesia telah menjalani periodisasi dan perjalanan sejarah yang –lumayan panjang– untuk sebuah negara yang telah menginjak kemerdekaan selama 65 tahun. Kehadiran teori sastra dan sejarah sastra sebagai perbandingannya, menguatkan kedudukan kritik-kritik sastra sehingga kritik tersebut terasa lebih terfokus dan bernilai.

Kritik sastra bukan hanya upaya untuk menilai baik-buruknya sebuah karya sastra seperti yang biasa kita jumpai pada sampul-sampul buku, tulisan lepas di koran-koran, ataupun komentar-komentar mengenai karya sastra saja. Lebih luas daripada itu, kritik sastra haruslah terlahir dari seorang yang mengerti benar tentang sejarah sastra, paham akan teori-teori sastra dan mampu bersikap objektif ketika menjelaskan pendapat-pendapatnya pada sebuah karya sastra. Kritik sastra mengajak pembaca untuk menelaah sebuah karya sastra melalui perbandingan teori-sejarah dan alasan-alasan logis tentang sastra. Katrin Bandel, seorang Indonesianis yang juga dosen di Universitas Gadjah Mada berkata “dalam kritik sastra, mesti ada elaborasi yang menjelaskan mengapa penulisnya bisa sampai pada penilaian tertentu.” Mengkritisi karya sastra tidak cukup mengulas sebuah karya yang dikritisi saja, namun juga mampu membuka cakrawala berfikir lebih lengkap mengenai terobosan-terobosan baru serta pembuktiannya dengan pendekatan ilmiah.

Era sastra Indonesia mutakhir, sejauh ini belum memperlihatkan keseimbangan antara karya yang lahir dan kritik yang mengikutinya. Sejarah napak-tilas kritik sastra Indonesia justru subur di awal tahun 1930-an dan mulai 'kering' memasuki 1990-an. Kita tentu masih ingat dengan ketenaran Hans Bague Jassin sebagai 'Paus Sastra Indonesia' yang dengan kritik-kritiknya bisa 'menghidup-matikan' seorang sastrawan. Namun, setelah HB Jassin tutup usia, maka tertutup pulalah jalan yang objektif bagi kritik terhadap sastra dan sastrawannya itu. Faktor yang mempengaruhi 'hidup-matinya' sebuah kritik sastra diduga dipelopori oleh perilaku sastrawan dan akademisi sastra. Ketidaknyamanan iklim persahabatan antara akademisi sastra dan sastrawan menjadikan kritik sastra terkotak-kotak dan disesuaikan dengan pembacanya.

Penulis merasa tertarik dengan klasifikasi Arif Bagus Prasetyo, sastrawan yang berdomisili di Bali bahwa kritik sastra dalam 'arena bermainnya' dibagi menjadi kritik sastra akademis dan non-akademis. Kritik sastra akademis ini diperankan oleh akademisi sastra, sedangkan non-akademis oleh sastrawan itu sendiri. Pemberian “label” akademis dalam klasifikasi ini tampaknya telah membuat kelompok-kelompok yang berbeda prespektifnya dalam mengkritisi sastra. Kelompok akademisi dinilai lebih arogan dengan pendapat-pendapatnya yang 'kering' sebab dengan prinsip keintelektualan dalam sastra mereka mencoba menyatukan persepsi dan mendefenisikan sastra yang lazimnya kreatif menjadi kajian yang -sangat dan terlalu- teoritik. Jauh berbeda dengan kelompok sastrawan itu sendiri yang lebih condong pada pola bias dan terkesan mengikuti nurani. Perbedaan prespektif ini menimbulkan polemik yang cukup rumit dalam era sastra Indonesia mutakhir, sehingga pada akhirnya kritik sastra dibuat bukan lagi untuk (benar-benar) memperbaiki dan membimbing perkembangan sastra, akan tetapi sebagai prestise antar golongan.

Putu Wijaya juga menyatakan bahwa kritik di dunia sastra tersekat dengan adanya komunitas-komunitas yang saling bertarung idiologi. Adanya golongan-golongan yang saling 'tarung' ini membuat kritik terhadap suatu karya bersifat tendensius dan saling 'bunuh-membunuh'. Situasi ini adalah petanda bahwa esensi karya sastra sebagai pembangunan moral bangsa seperti yang selalu dielu-elukan Antilan Purba dalam bukunya Sastra dan Manusia tampaknya belum disadari seutuhnya oleh golongan-golongan yang terus bertarung ini.

Mencari Kritikus Sejati

Siapakah kritikus sejati saat ini? Kita belum dapat menjawab, sebab karakteristik kritikus itu juga belum ditemukan hingga dekade ini. Pendapat Ronan McDonald dalam bukunya “The Death Of Critic” yang dikaji ulang oleh Arif Bagus Prasetyo, menampakkan gejala bahwa kritikus itu adalah orang yang bobot pendapat ataupun penafsirannya terhadap sebuah karya seni lebih istimewa. Bertolak dari pendapat bahwa seorang kritikus harus memiliki pendapat yang “lebih istimewa” maka seorang kritikus diharapkan mampu mengejahwantakan ilmu teori-sejarah sastra dalam mengulas, mencari nilai plus dan minus suatu karya dengan alasan dan sudut pandang yang tepat, serta mampu menemukan permasalahan dan mengemukakan solusinya.

Dari kriteria ini, semakin jelaslah bahwa seorang kritikus sastra, harus tigakali lebih cerdas dibanding sastrawan itu sendiri, sebab seorang sastrawan belum tentu menguasai teori-sejarah dan bisa mengkritik meskipun telah menghasilkan banyak karya. Seorang kritikus yang mengetahui dan memahami teori dan sejarah sastra dengan baik, akan mengkritisi sebuah karya dengan landasan analisis yang lebih objektif daripada pernyataan-pernyataan asersif yang emosional dan tendensius.
www.kinamariz.com
Speak Aloud -Image by Google.com-
Permasalahan saat ini adalah banyaknya orang yang telah mengulas karya sastra, lantas mengkultuskan dirinya sebagai kritikus sastra. Profesi sebagai kritikus sastra, seyogyanya memberikan pencerahan pemikiran dan sumbangsih ide untuk memajukan dan memperkaya kajian sastra Indonesia. Kritik bukan sekedar alat untuk menjatuhkan atau menaikkan pamor seorang penulis, namun bertujuan untuk melihat perkembangan sastra itu sendiri. Kita akui, profesi kritikus sastra bukannya belum ada atau nol sama sekali. Kritikus sastra kita, Maman S. Mahayana misalnya, sudah sejak lama bercerita tentang fenomena minimnya kritik sastra. Akan tetapi apakah cukup orang-orang tertentu saja yang merasa berkewajiban untuk mengkaji sastra? Pertimbangan efektivitas dan efisiensi waktu seorang kritikus dalam mengkaji sebuah karya, lantas bagaimana pula dia menyikapi nasib ribuan karya-karya yang terus lahir setiap harinya dari seluruh penjuru negeri ini?

Kesenjangan sosial antara akademisi dan sastrawan itu sendiri harus dihapuskan. Seorang akademisi sastra juga berkewajiban untuk berpartisipasi dalam acara-acara sastra non-akademis. Kegiatan-kegiatan sastra yang lebih menyentuh elemen masyarakat luas justru lebih bermanfaat dari sekedar menghadiri seminar-seminar sastra. Selain itu, jurnal-jurnal akademis yang –hampir– tak tersentuh oleh sastrawan-sastrawan kita, sebaiknya juga memberikan peluang untuk mengkaji sastra dengan cara yang lebih kreatif. Pembahasan tentang sebuah karya bukan cuma untuk menimbulkan perdebatan, namun menghasilkan simpukan-simpulan yang bermanfaat bagi sastra itu sendiri.

Mengutip kata-kata Mario Teguh dalam acaranya Golden Ways, “Lakukan hal-hal kecil, dengan kesungguhan yang besar, lalu perhatikan apa yang terjadi!” mengingatkan kita kembali bahwa tugas kitalah selaku orang-orang yang peduli akan nasib sastra Indonesia untuk mengubah kondisi ini. Apapun namanya, berbuat sedikit, lebih baik dari pada tidak sama sekali. Semoga langkah-langkah kecil ini, suatu saat akan menjadi gerak perubahan yang besar dalam perkembangan kritik dan sastra Indonesia!


www.kinamariz.com
Temu Sastrawan Indonesia III di Tanjung Pinang, Foto Bersama Novelis Embart Nugroho (Kiri) dan Penyair Ibu Diah Hadaning (kanan)
Materi di TSI III ini tentang Kritik Sastra.
Catatan Agenda Foto : Temu Sastrawan Indonesia (TSI) III berlangsung di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau pada 28-31 Oktober 2010. Perhelatan ini disponsori oleh Walikota Tanjungpinang Suryatati A Manan. Malam penutupan digelar di Anjung Cahaya Tepi Laut Tanjungpinang, Sabtu (30/10/2010) malam

Penulis adalah mahasiswi semester III, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Medan

(Ditulis oleh : Sakinah Annisa Mariz)

1 comment

  1. Silahkan untuk berkomentar, namun ingat ya link hidup tidak diperkenankan diletak sembarangan di sini. Insya Allah saya siap kok blog walking tanpa harus nempel-nempel backlink. Ok. Thanks

    ReplyDelete

Mohon tidak meninggalkan link hidup di kolom komentar. Terima kasih.

Literasi Digital