Resensi Buku: Manifesto Kebudayaan dan Multikulturalisme di Novel Acek Botak

www.kinamariz.com
Novel Acek Botak karya Idris Pasaribu
#SakinahMenulis-Manifesto kebudayaan, -sebagaimana empat pilar ikrarnya yang termaktub dalam kumpulan Esai 'Prahara Budaya' yang dieditori oleh DS Moeljanto dan Taufik Ismail-, menuturkan bahwasanya karya kesenian yang dilahirkan semata-mata demi kepentingan nasionalisme dan tidak melupakan nilai-nilai pancasilais yang mendapat pengabsahan bagi sekelompok sastrawan pada saat itu.

Manifesto kebudayaan (Manikebu), mencuat pada 17 Agustus 1963 dan berpolemik hingga awal abad ke-20. Manifes kebudayaan memandang pancasila sebagai falsafah dan ideologi yang harus dipegang teguh rakyat Indonesia melalui penanaman nilai-nilai dalam khazanah sastra. Manikebu diikrarkan sebagai respons 'kebijaksanaan' sastrawan Indonesia yang pada saat itu khawatir akan adanya kepentingan partai dan propaganda politis yang lahir dari gerakan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dalam karya-karya sastra.

Menurut kelompok yang mengukuhkan Manikebu, kekhawatiran ini semata-mata lahir dari semangat untuk memperjuangkan fungsi dan kedudukan sastra yang teramat luhur dan terbebas dari kepentingan kekuasaan. Sebuah karya mestilah bebas dari belenggu kepartaian, menurut kelompok Manikebu. Hal ini tentu bertolak belakang dengan Lekra yang menganggap bahwa sastra berada dalam konsep realisme sosialis. Sastra pembangun bangsa, dengan peranan Partai (PKI) sebagai wadah aspirasinya. Ulasan tentang Manikebu yang khawatir sastra berbau kepentingan ideologi realisme-sosialis ini sudah banjir kritik dan testimoni hingga beberapa dekade silam. Mari kita tinggalkan polemik itu sejenak dan melirik ke 'Acek Botak' yang berpotensi memiliki keterkaitan dengan Manikebu.

www.kinamariz.com
Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Medan dibawah asuhan Idris Pasaribu (kiri)
Acek Botak, novel karya Idris Pasaribu yang mengangkat Potret Kehidupan di Tanah Deli tahun 1930-an ini merupakan novel yang memaparkan realitas etnis Tionghoa di masa post-kolonial Belanda. Dalam pembahasananya disampaikan dengan gamblang mengenai praktik perbudakan oleh Belanda melalui status kuli kontrak, transmigrasi, serta keberagaman. Setting cerita Acek Botak diambil pada pada masa pra-kemerdekaan. Kronologis waktu di zaman ini memberi peluang bagi penulis untuk membeberkan permasalahan dan kemunculan embrio nasionalisme yang terlahir dari keberagaman masyarakat Indonesia, khususnya pergolakan yang tengah terjadi di Tanah Deli. Kehadiran profil tokoh Acek Botak sebagai tokoh sentral dalam cerita ini menjadi salah satu penanda keberagaman itu.

Tan Sui Tak (A Tak atau Acek Botak), yang didesain sebagai pembawa alur cerita (tokoh Protagonis), berasal dari etnis Tionghoa yang lahir dan besar di Negeri China. Dibumbui fakta sejarah Dinasti Chin dan Perkebunan Tembakau di Tanah Deli yang terang-terangan keduanya dalam masa konflik ketertindasan, menuntun tokoh Acek Botak berjumpa dengan orang-orang selain etnisnya, yakni orang-orang yang akhirnya saling mencintai dalam satu semangat, perjuangan! Perjumpaan Acek Botak dengan etnis Jawa, Batak, Melayu, dan lain sebagainya, bukan malah membuat Acek Botak menjadi beda dan terasing, namun sebaliknya, Acek Botak menjadi ujung tombak dari gagasan demi kepentingan bersama yang terlahir dengan asas keberagaman.

Sisi yang menarik adalah ketika nilai dan konflik yang terdapat di dalam novel Acek Botak, dikaitkan dengan realitas sejarah Tanah Deli pada masa sebelum kemerdekaan. Keberadaan Acek Botak selaku etnis Tionghoa mengingatkan kita pada sosok Tjong A Fie, seorang tokoh dari etnis Tionghoa yang menjadi pelopor pembangunan di Tanah Deli, Medan tepatnya. Lelaki bernama asli Tjong Fung Nam ini, pada tahun 1911 telah dinobatkan sebagai Kapitan Cina (Majoor deer Chinezen) yang memimpin komunitas Cina di Medan. Kepemimpinan Tjong A Fie dan peranan semangat nasionalismenya, terefleksi dalam pikiran kita tentang karakter Acek Botak. Meskipun bukan berarti kita menyama-persiskan kedua karakter tersebut (karena ini tentu saja berbeda dan tidak mungkin duduk di porsi yang sama), akan tetapi, keduanya merupakan monumen yang ingin membuktikan bahwa keberagaman bukan memecah, keberagaman memberikan spirit kesatuan. Perjuangan yang mengarah pada nasionalisme, sebuah hasrat mencintai dan rasa memiliki untuk menjunjung sebuah mimpi, kemerdekaan!

Kembali lagi pada konsep Manifes Kebudayaan yang ditulis Wiratmo Soekito, dan ditandatangani oleh Arief Budiman, Taufik Ismail dan Goenawan Mohammad. Manikebu khusunya dalam point ke-2 dan ke-4 berbunyi : “(2) Bagi kami kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia. Kami tidak mengutamakan salah satu sektor kebudayaan di atas sektor kebudayaan yang lain. Sebagai sektor berjuang bersama-sama untuk kebudayaan itu sesuai dengan kodratnya. (4) Pancasila adalah falsafah kebudayaan kami”.

Harapan dan tekad perjuangan Manikebu yang memaknai kebudayaan sebagai perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia dalam rangka menumbuhkan semangat nasionalisme berfalsafahkan pancasila, barangkali inilah yang dimaksudkan jua dalam novel Acek Botak. Dari stuktur cerita yang dibangun, koherensi antara plot dan penokohan yang didesain penuh kehati-hatian, mengacu pada satu hal, yakni sila yang ke-3 : Persatuan Indonesia.

Akhir kata, kita melihat representasi Acek Botak adalah potret keberagaman yang Bhinneka Tunggal Ika. Pionir-pionir dan tokoh-tokoh dari kaum minoritas yang ingin didengar dan mesti diketahui, sebagai bagian dari Republik Indonesia ini. Acek Botak bukanlah satu-satunya novel sejarah, namun dengan Acek Botak, kita bisa melihat dan menafsir sejarah.

Medan, 20.12.2012
Ditulis oleh Sakinah Annisa Mariz, saat itu mahasiswa Semester VIII, Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Medan
(Tulisan ini telah dimuat di Analisa Minggu, Rubrik Rebana 2012)

2 comments

  1. Silahkan untuk berkomentar, namun ingat ya link hidup tidak diperkenankan diletak sembarangan di sini. Insya Allah saya siap kok blog walking tanpa harus nempel-nempel backlink. Ok. Thanks

    ReplyDelete
  2. Manikebu dan Sebuah Novel berlatarbelakang sejarah. Ini menarik.

    ReplyDelete

Mohon tidak meninggalkan link hidup di kolom komentar. Terima kasih.

Literasi Digital