#SakinahMenulis-Arini menyeka titik-titik air di kelopak matanya. Tangannya masih terus mengganggang lembar daun jarak. “Ramuan penurun panas,” demikian Almarhumah Emaknya berkata. Dari dulu Emaknya memang sudah menerapkan tradisi itu di keluarga kecil mereka. Tapi rupa-rupanya, daun jarak di kota tak lagi berkhasiat. Lebih dua minggu sudah adiknya, Jamin demam panas. Batuk bersarang di dadanya. Jangankan turun panasnya, malah bertambah berat saja penyakit adiknya itu.
Iba hati Arini melihat Jamin yang kering dan pucat. Tubuhnya kurus dan ringkih, sebagian atas tulang dadanya tampak naik, hingga kedua bahunya terangkat ke atas. Wajahnya keruh, sepasang mata cekung dan kelam redup di atas tulang pipinya yang menonjol. Garis-garis kekanakan telah lama pudar di matanya. Bibirnya kecil, tak henti membatuk. Bisingnya bersahut-sahutan seperti deru mesin lokomotif. Beberapa detik saja Jamin berhasil meredam batuknya, tapi tak lama berganti pula dengan erangan. Erangan yang menggigil seperti menasbihkan mantra memanggil kematian.
Si Jamin memang sudah sakit-sakitan tertular Emaknya, semenjak desa mereka di datangi orang-orang dari kota. Entah mengapa, udara di kampungnya tidak lagi bersahabat. Ada-ada saja penyakit yang sudah didapatinya, dulu diare, lalu tifus, sekarang malah menjelma menjadi tuberculosis. Sedapat-dapatnya, diurusinyalah adiknya itu dengan kasih yang amat mendalam. Arini meminumkan dua sendok minyak kelapa ijo pada adiknya, dengan maksud agak berkuranglah penyakit yang bersarang di dada Jamin. Batuk Jamin semakin mengeras. Seolah tak perduli lagi dengan apa yang baru saja diminumkan. Kakinya sedingin es menendang-nendang angin. Tubuhnya berguncang terangkat ke atas, seolah akan terbang. Arini mendekap adik laki-lakinya itu masih dengan mata yang basah mencoba menyabarkan Jamin.
Ayahnya baru saja pulang. Lelaki tua itu juga duduk memeluk kaki Jamin yang dingin dan kaku.
“Bagaimana, Yah? Siapa yang bisa menolong Jamin?” Arini berbisik perlahan seraya menyelimuti Jamin. Kali ini cemasnya sedikit berkurang.
“Tidak ada. Tidak ada pertolongan, Rin. Bidan di kampung ini, Bu Dewi sedang ada pasien yang mau bersalin malam ini,” Ayah menjawab Arini dengan suara yang sangat pelan, nyasir terdengar berbisik.
“Jadi, besok pagi bisa kita bawa Jamin ke rumah sakit?” harapnya.
“Belum tahu juga, karena Ayah tidak punya uang, Nak.” wajah Ayahnya mendadak keruh.
“Tapi berobat kan gratis, Yah?” sahut Arini tak mau kalah.
“Ya. Tapi penyakit Jamin tidak bisa diobati di Puskesmas di sini. Harus dibawa ke Rumah Sakit Umum di kota. Kita tidak punya uang untuk mengurus Surat Keterangan Miskin di sini. Lagipula KTP dan Kartu Keluarga kita tidak berlaku di Puskesmas karena sudah beda Kecamatan,” balas Ayah membuang pandangannya dari mata Arini yang memerah.
“Bagaimana bisa? Bukankah kita masih sama-sama tinggal di Indonesia, masih satu bangsa. Mengapa tega mereka membeda-bedakan kita seperti itu. Jamin harus diobati, Yah! Membiarkannya begini, sama saja kita membunuhnya pelan-pelan!” Arini mulai emosi, tapi suaranya berupa bisikan yang halus.
Ayahnya menggertakkan gigi, ngilu. Dengan meletakkan sebungkus nasi di meja dan selembar uang lima ribu rupiah, lelaki itu cepat-cepat berangkat keluar. Di tangannya terselip sehelai handuk lusuh yang diambilkan Arini dari jemuran di dapur. Sementara di luar, hujan deras mengucur demikian hebat. Menambah dingin pada mata dan hati Ayah yang basah. Sepi belum juga pergi.
***
Pukul 03.00 WIB dini hari, Jamin batuk-batuk lagi. Padahal Arini belum sempat memejamkan mata barang sepicingpun. Tangannya sibuk menempelkan ganggangan daun jarak di badan Jamin. Jamin lalu diberinya minum segelas air hangat. Bukan dahaga, rupanya darah menyeruak di mulutnya. Batuknya pun telah berdarah pula. Arini benar-benar panik, kepada siapakah akan dimintai pertolongan?
Hendak menjerit keluar, rumah tetangga berjauhan pula letaknya. Kering tenggorokan Arini melolong, hanya sayup terdengar di sela-sela jendela tetangga, itupun lebih baik jika ada orang peduli dengan keluarga miskin melarat seperti mereka. Orang-orang mungkin akan menutup telinganya lebih rapat jika mendengar lolongan itu adalah lolongan permohonan. Pastilah ujung-ujungnya akan meminjam uang. Batuk Jamin terus mengeluarkan darah segar. Ayah belum juga kembali. Arini membungkus Jamin dengan seprai alas tidurnya, lalu menggendong anak laki-laki kecil itu keluar sambil berlari menuju rumah Bidan melahirkan yang rajin membesuk adiknya tempo hari.
Arini berlari, berlari dan terus berlari menembus hujan, merayap-rayapi kolong nasib yang semakin mengabur. Namun naas, Jamin tak tertolong. Uang telah menjadi harga nyawa, sekarang. Arini baru menyadari itu ketika satu persatu anggota keluarganya pergi. "Manusia menciptakan uang, lalu menyembahnya. Manusia telah diatur oleh uang, hingga alpa berfikir dan buta nurani," rutuk Arini.
Dia mengutuk, betapa hinanya manusia tanpa uang. Akan tetapi kehinaan itu tidaklah sebanding dengan hinanya orang-orang yang diperbudak oleh kertas kecil bertulis angka-angka buatan mesin, ciptaan manusia juga. Mata Arini tak henti mengalirkan air bening. Seperti aliran Sungai Deli yang tenang tapi menghanyutkan. Arini memang harus tenang dan tabah menghadapi takdir yang telah dinukilkan Tuhan dalam garis nasibnya. Akan tetapi, hati siapa yang bisa ikhlas ketika lagi-lagi Mycrobacterium Tuberculosis itu membunuh satu per satu paru-paru anggota keluarganya? Mulanya Emak, wanita kuat yang kian hari kian kering saja badannya. Menanggung Tubercle menonjolkan bundaran kecilnya pada jaringan paru-paru Emak yang sudah terinfeksi.
Masih segar diingatannya, ketika mereka bersama memapah Emak ke Puskesmas untuk dites dengan suntikan Tuberculin, suntikan berculoprotein itu memang mujarab untuk mengetes apakah Emak benar-benar menderita TBC. Namun, ternyata dugaan Mantri Puskesmas itu benar. Setelah 2 hari mulai tampak tonjolan pada kulit Emak yang disuntik tadi. Emak positif TBC!
“Ini semua karena ulah pabrik baru itu!!” Arini merapal makiannya dalam hati. Dia benar-benar mengutuk pabrik yang sudah mengobrak-abrik kampungnya menjadi kampung neraka. Semua orang habis terkena imbasnya seperti terkena kutukan. Hutan pinus tempatnya bermain dahulu, telah gundul ditebangi dengan alat-alat berat dan motor keruk. Padang rumput dan ilalang telah berganti dengan pagar-pagar kokoh yang menjulang ke langit. Di balik pagar itu, mengangkang seluas-luasnya pabrik pembuatan kertas yang dimuat dengan mesin-mesin raksasa. Suaranya gemuruh dahsyat ketika dihidupkan. Seperti mendengar sepuluh petir yang menyambar bersamaan. Di atapnya menganga sebuah lubang besar, tempat keluarnya asap-asap hitam pekat memanggil kering kemarau pengap.
Lalu bagian terdahsyatnya adalah di belakang pabrik, di sana mengalir sebuah sungai tak bermuara, tergenang begitu saja. Airnya adalah limbah kotor, aromanya asam, tajam dan berbau busuk. Sungguh akan merusak indra penciuman seseorang jika berlama-lama ada di lokasi ini. Menurut Arini, berada di dekat pabrik ini, bisa membuat gila. Ironisnya, pabrik ini menyerap lebih dari 600 orang buruh dengan gaji Rp.10.000,- perhari, tawaran yang sangat menggiurkan para muda-mudi, bapak-ibu, kakek-nenek setempat. Sehingga lambat laun, neraka itu kini berpenghuni dan mulai menjadi sandaran masyarakat. Mereka mulai lupa akan fitrahnya untuk tercetak sebagi petani. Ladang-ladang mulai terbengkalai. Sawah tidak terurus. Ternak kurus-kurus, sebab rumput ilalang telah mati disemprot racun kimia mematikan.
Cukong-cukong itu tidak mau pabriknya dikelilingi semak belukar. Padahal dari semak itulah orang mendapatkan penghidupan. Dari tanah yang becek itulah orang menanamkan mata pencaharian. "Manusia begitu mudah melupakan fitrahnya," rutuk Arini lagi.
Arini masih tidak habis pikir dengan pilihan bertahan hidup yang ditawarkan orang-orang dari kota. Baginya semua tampak irasional. Tak mampu dibayangkannya jika nanti, suatu saat Arini dan keturunannya hanya bisa menceritakan tentang dongeng suatu negeri yang hijau, ditumbuhi pepohonan, dan berisi hewan-hewan yang lucu dan beragam. Lalu di negeri yang subur itu mengalirlah sungai besar yang jernih, tenang dan berbatu-batu. Di kanan-kiri sungai, tersusun bunga-bunga beraneka warna yang bermekaran. Beberapa ekor kupu-kupu selalu hinggap diantara lipatan-lipatan kelopak bunga. Dalam kecipak air yang bening, terdengar pula suara lenguh ternak dimandikan, atau suara orang mencuci dan gemerisik bangau pencuri ikan riuh rendah menyeimbangkan harmoni alam. Kemudian anak-cucu-cicit Arini hanya bisa mengangguk-angguk lemah mendengar dongeng nenek buyutnya, sebab tanah semakin langka, pohon-pohon sudah jadi tontonan serupa benda purba, hewan raib, tinggal kerangka yang terpajang dalam museum, dan sungai berada di tiap-tiap rumah orang berpunya. Arini tidak mampu membayangkan itu. Di bola matanya yang bening, hanya sebaris harap mengalir.
“Kembalikan pinusku,” hatinya bersenandung, namun bisiknya tertelan gemuruh mesin-mesin keruk yang sibuk membongkar lekuk tanah kampungnya. Arini membuang senyumnya ke langit. Lagunya merindu batang-batang pinus. Pohon yang dipercayakannya untuk memayungi tidur Emak dibumi. Pinus, senandung Arini dan Jamin terpatri di reruncing biji buahnya nan indah, mengesankan.
Pinus, yang ditanami Ayah memagari belakang rumah, juga dirindukannya. Pinus mengingatkan Arini akan sejarah, bukti evolusi, bagian dari bumi, serpihan alam, penopang hidup manusia dan keluarganya. "Kemana kan dilabuh luka? Ppada gores batang pinus tua, kurekat bulir airmata dan berselip-selip kisah menyisipi lekuk runcingnya antara aku, antara jiwa antara pinus.
***
Mendung masih menyelimuti langit sore. Rintik gerimis belum reda. Seorang remaja perempuan duduk diantara rimbunnya ranting pohon rambutan. Kecintannya pada pinus belum juga terpenuhi. Hatinya meraba-raba ingatan akan Emak, Jamin dan Ayahnya yang tak kunjung kembali.
“Arin. Rin. Sini turun! Ibuku mau bicara sama kamu!" Tika, sahabat karib Arini memanggil dari bawah pohon. Sebenarnya sejak dahulu, Arini sama periangnya dengan gadis itu. Akan tetapi luka hidup dan kehilangan telah menghujam di bola mata Arini. Seketika dia berubah menjadi orang yang sangat pendiam dan misterius. Atas permohonan sahabatnya Tika, Arini yang sebatang kara diizinkan tinggal bersama mereka. Arini hanya bisa tersenyum sedikit. Kerinduannya pada pinus, memaklumkan Tika akan hal itu.
Teeet, teeet. Bel sekolah berdering. Menandakan tugas Guru telah selesai hari ini. Buru-buru Tika menyeret Arini pulang. “Ada sesuatu yang harus kita lakukan siang ini,” katanya gembira. Mereka berlari-lari kecil pulang ke rumah Tika. Setelah makan siang dan bersalin pakaian, dua remaja itu berjalan menuju kantor kecamatan. Ternyata siang ini ada penyuluhan tentang gerakan 1000 pohon. Ibu Tika, selaku ketua ibu-ibu PKK memberikan apresiasinya terhadap lingkungan. Dia turut menyingsingkan lengan baju dalam penyuluhan ini. Masyarakat peduli lingkungan pun berkumpul. Mereka mulai bekerja untuk menyebarluaskan bibit-bibit pohon pada tempat-tempat yang membutuhkan kesejukan.
Senja hampir tergelincir. Matahari sudah menyemprotkan sinar jingganya di langit barat. Gotong-royong yang dilakukan sudah rampung. Tinggallah Arini dan Tika duduk kelelahan. Ada segaris rasa puas pada bola mata Arini. Melestarikan lingkungan hidup merupakan cita-citanya, semenjak satu per satu keluarganya tertindas ketidakstabilan alam. Lebih baik mencegah sebelum terlambat.
Tiba-tiba, mata Arini menangkap sesuatu diantara barisan pohon Mangga. Sesuatu yang tak asing lagi dimatanya. Dia melangkah terus, terus, dan hap! Jemarinya meraba batang pinus muda itu perlahan. Seolah ingin membuka kembali koyak luka yang menganga disana. Disentuhnya kuncup pinus yang baru saja menyapa dunia itu dengan gembira. “Emak!” bisiknya sambal memejam mata.
Medan, KSI 2010
(Ditulis oleh : Sakinah Annisa Mariz)
(Ditulis oleh : Sakinah Annisa Mariz)
Silahkan untuk berkomentar, namun ingat ya link hidup tidak diperkenankan diletak sembarangan di sini. Insya Allah saya siap kok blog walking tanpa harus nempel-nempel backlink. Ok. Thanks
ReplyDelete