Cerpen : Bedor

www.kinamariz.com -Image Source : Theaustralian.com.ou
#SakinahMenulis-Setiap orang yang melihatnya, akan langsung merasa jijik dan takut. Tak ada ekspresi yang berarti memancar dari kedua matanya. Rambutnya lusuh bergumpal-gumpal dimakan debu trotoar jalan. Hitam legam kulitnya, ditambah parut luka besar di lengannya yang sudah mengering. Bintik-bintik kudis masih setia berjejer membentuk barisan pulau-pulau kecil di betisnya yang sesekali terlihat dari kibasan roknya yang sewarna tanah. Tubuhnya tak terlalu tinggi, hanya saja posturnya yang kurus kering membuatnya terkesan jangkung.

Sudah beberapa hari ini aku melihatnya terbaring lemah di sudut-sudut pertokoan yang sudah tutup. Dia hampir tidak pernah meminta sedekah, hanya saja apabila orang-orang mulai merasa iba dengannya, mereka lalu memberinya sisa-sisa makanan dan mengisi mangkuknya dengan sedikit koin. Aku sendiri lebih suka memberinya sepotong roti.

Aku tidak tahu siapa nama aslinya. Yang sering kudengar, penjaga toko tempatnya berteduh memanggilnya Bedor. Perempuan kurus itu terlihat tidak begitu suka ketika dipanggil dengan nama itu. Dia akan segera menjauh, mencari sudut toko lain sambil memeluk kakinya dan melipatnya di dada. Dia jarang bicara, hanya seperlunya.
www.kinamariz.com -Image Source by Google.com-
Hujan lebat, jalanan macet. Aku dan beberapa pejalan kaki lainnya berteduh di halte bis. Kami mencoba mengusir sepi sambil bercerita-cerita kecil. Teman bicaraku hanyalah seorang nenek 70 tahunan yang menunggu tukang becak langganannya. Tidak banyak yang bisa kubincangkan dengannya kecuali mendengar gumaman-gumamannya yang samar. Ketika hujan berangsur gerimis, aku buru-buru menyudahi obrolan kami. Kupercepat langkah menuju kost. Perutku keroncongan sejak pagi. Rasa perih mulai menyerang organ digestiku, membuat kepala terasa pusing dan berat.

Tepat di simpang jalan besar, aku berpapasan dengan Bedor. Emperan toko tempatnya tidur telah digenangi air. Dia sendiri menggigil, berdiri di atas genangan air itu. Sejengkal pun dia tidak bergeser, padahal air sudah merendam betisnya. Banjir! Selokan meluap, sampah-sampah menggenangi sudut-sudut jalan dan merendam emperan toko yang sudah tutup. Udara dingin menggigit. Bedor bergeming, memeluk tubuh kuyunya dengan kedua tangannya yang kotor. Aku memalingkan kepalaku dan berjalan lurus-lurus. Tak tega hatiku melihat perempuan muda sepertinya berendam berlama-lama diguyur hujan, tapi aku tidak bisa berbuat banyak.

Langkahku tidak terlalu panjang, namun aku mendengar seretan langkah yang lebih pendek dan menyeret mendesis pelan di belakangku. Refleks, aku menoleh ke belakang. “Bedor?”  aku terkejut. Kudapati gelandangan pucat itu merenggut ujung jilbabku dengan jari-jarinya yang mengkerut kedinginan. Aku menggigit bibir bawahku, menerka-nerka maksudnya mengikutiku. Suaranya yang serak menggigil, menikam pendengaranku dan meremas punggungku yang tiba-tiba terasa kaku.

Awalnya aku hanya ingin memberinya sedikit uang dan buru-buru pergi, tapi Bedor menolak pemberianku. Kondisi tubuhnya yang terlihat sedikit bersih dan sangat lemah memberi isyarat padaku bahwa telah terjadi sesuatu yang tak beres dengannya. Bibir tipisnya yang pucat bergerak perlahan dan matanya redup menatapku penuh harap, penuh permohonan. Dia berjongkok seperti menahankan sakit pada bagian tertentu dan pada saat itulah aku melihat sedikit darah mengalir ke betisnya. Dia hampir menangis, begitupun aku.

Aku membawanya pulang ke kamar kostku yang sederhana. Mula-mula aku tidak berani mengatakan apa-apa selain mengambilkan sepiring nasi dan membuatkan segelas teh panas untuknya. Aku memilihkan beberapa pakaianku yang pas, kebetulan sekali ukuran tubuh kami tak jauh berbeda. Dia makan sedikit, lalu memegang perutnya lagi dengan erangan yang menyedihkan. Aku menyiapkan uang untuk membawanya ke bidan, setelah aku menganti pakaiannya. Prediksiku tak meleset, sesuatu terjadi pada Bedor. Bedor kubiarkan tinggal di bersamaku selama dia mau. Dia jarang bicara, kecuali aku yang memulainya duluan. Dia bercerita padaku tentang desanya dan ayah-ibunya yang renta. Dia berangkat ke kota dengan niat mengubah nasib. Dia memang berhasil mengubah nasibnya! Yah, kota telah mengubah nasibnya menjadi semakin hancur dan terpuruk. Tidak sulit bagiku menebak jalan ceritanya, memang.

Selalu begitu. Kota terlalu kejam untuk gadis desa yang polos seperti Bedor. Tidak ada yang baru di bawah matahari, tepat sekali. Namun kali ini, tangis Bedor terasa asing dan lain. Hari-harinya dihabiskan dengan merenung di jendela, sambil menatap ke luar. Aku pikir dia pasti rindu pulang. Ingin aku mengantarnya kembali pulang, tapi dia tak ingin menghancurkan harapan orangtuanya lebih dalam. Tak bisa kubayangkan, dunia luar telah menghancurkan Bedor yang muda dan rapuh. Usia kami tak jauh terpaut, namun kepedihan yang dijalaninya sebagai gelandangan membuatnya terlihat sepuluh tahun lebih tua dari usia yang sebenarnya. Bukan rahasia lagi kalau banyak gelandangan dan orang gila yang bergender wanita, akan mendapat perlakuan yang lebih buruk dari gelandangan pria. Selain mendapat ancaman dan kekerasan, mereka juga kerap menjadi pelampiasan birahi pria bejat tak bertanggung jawab, setelah lebih dulu memandikan korbannya di suatu tempat.
www.kinamariz.com -Image Source Pinterest.co-
Aku tidak berani menanyakan tentang kerasnya kehidupan di jalanan kepadanya, dari raut wajahnya kulihat dendam untuk para lelaki bejat itu masih menyala-nyala. Kadang di suatu malam aku mendengarnya menangis dan meratap. Ratapan lebih kepada dirinya sendiri yang papa dan hina. Dia pernah bercerita padaku tentang kampung halamannya yang jauh di pulau lain. Nama-nama wilayah yang asing dan tidak tersebutkan dalam peta nasional, semakin menguatkan dugaanku bahwa Bedor berasal dari daerah terpencil, sangat terpencil. Namun tak pernah sekalipun Bedor menyatakan niatnya untuk pulang, dia hanya minta dicarikan pekerjaan.

“Sedang melihat apa?” tanyaku sambil mengusap bahunya pelan. Dia bergeming, berpaling sebentar dan kembali menatap ke luar jendela.

“Kau percaya kiamat?” Bedor bertanya tanpa melihatku.

“Mengapa bertanya begitu?” aku penasaran dengan pikirannya.

“Apa kau percaya keabadian? Kurasa itu hanya kebohongan.” jawabnya sambil menggertakkan gigi.

“Pertanyaanmu aneh. Apa sebenarnya yang kau pikirkan, Bedor?” kudesak dia lebih jauh.

“Dunia ini hanya bermula untuk diakhiri. Setiap pagi aku melihat matahari terbit dan setiap malam aku melihatnya terbenam. Semua yang bermula, akan berakhir juga. Rin, aku ingin mati. tapi aku juga tak percaya kalau semua ini selesai ketika aku mati," dia berpaling menatapku.

“Bedor, Tuhan tidak pernah meninggalkan hambaNya dan setiap perbuatan kita akan diminta pertanggungjawabannya.” sahutku menenangkan.

“Aku bukan hambaNya!” hardiknya gusar. Perempuan kurus itu mendadak tegak dan menatapku tajam.

Aku terkesiap, tapi aku menjaga suaraku agar tetap tenang. “Bedor,” panggilku.

“Dia melupakan aku! Tuhan telah melupakan aku! Padahal aku telah berdo’a dan memohon padaNya! Dia tidak mendengar do’aku! Tuhan mengabaikan aku….” dia meninggikan suaranya.

“Kalau begitu mengapa Tuhan memberimu jiwa dan tubuh dengan fungsinya yang sempurna? Tuhan mengizinkanmu menghirup udaraNya, berjalan di bumiNya, dan bebas memakan segala bentuk ciptaanNya?” balasku sengit.

“Itu karena memang manusia terlahir dengan kemampuan seperti itu.” Bedor bangkir dengan malas dan mengusap matanya. Kukira dia terlalu lama menderita.

“Kenyataannya, tidak semua manusia dilahirkan dengan kemampuan berjalan, tidak semua manusia punya tubuh yang lengkap.” kita masih lebih beruntung, Bedor.

“Ah, sudahlah, pokoknya aku tidak percaya Tuhan. Aku terlalu kecewa pada Tuhan.” tegas Bedor.

“Padahal Dia tidak pernah meninggalkanmu seperti kamu meninggalkanNya,” bisikku lirih sebelum Bedor belalu dari pandanganku dan tempat tinggalku. Sejak peristiwa itu, kami semakin jarang bicara. Aku malas memaksanya berbincang denganku ataupun teman-teman di kostku. Sejak awal aku memang tidak punya rencana apapun untuknya, selain mengantarnya pulang ke kampong halamannya.

Tok-tok-tok. Pintu kamarku diketuk dengan irama yang cepat dan keras. “Rin! Rini, buka pintunya!” suara sopran Mbak Rossi, penghuni kamar kost di sebelah, membuyarkan tidur siangku. Aku menggeliat dan membukakan pintu untuknya, wanita berambut blonde itu menerobos masuk sambil memanggil-manggil Bedor dengan bringas.

“Dimana gembel laknat itu?” tanyanya penuh amarah, ketika dia tidak menemukan Bedor di kamarku.

“Dia sedang pergi ke bersama Lastri,” jelasku padanya. Lastri adalah keponakan ibu kostku, dia juga tinggal di kos-kostan ini dan bekerja sebagai tukang masak. “Dari pukul 10 pagi tadi, sampai sekarang belum pulang. Memangnya ada masalah apa mbak?” aku mulai was-was mengetahui Bedor telah berurusan dengan Mbak Rossi yang judes.

“Kamu tahu cincin berlianku Rin, itu lho yang baru dibeli Mas Rafa kemarin. Cincinku hilang Rin, siapa lagi yang ngambil kalau bukan gembel itu! Pasti dia malingnya, Rin! Kamu ingat ekspresinya waktu aku tunjukkan cincin itu sama kamu? Matanya yang liar itu langsung berbinar, dasar gembel!” Mbak Rossi meracau dengan kata-katanya yang kasar dan tudingan yang pedas.

“Hilang? Kapan Mbak? Kenapa baru lapor sekarang?” aku terkejut mendengar penuturannya. Seingatku, cincin itu telah beberapa hari dipamerkannya kepada seisi kost, tak terkecuali Bedor. Mungkinkah Bedor sejahat yang dikatakan Mbak Rossi? Kurasa Bedor tak mungkin sejahat itu, kalau dia mau mencuri, mengapa tidak mencuri barang-barangku saja. Lagipula bukan hanya Bedor yang mengetahui soal cincin berlian itu. Ah, aku masih tak percaya dengan apa yang dikatakan Mbak Rossi tentang Bedor, meski dia mantan gelandangan.

“Siang ini aku baru buka kotak perhiasan, cincin itu udah enggak ada.” tuturnya kesal. Lebih dari dua jam, kami melakukan penggeledahan. Keempat kamar disisir bersih, tak terkecuali penghuninya, tapi cincin itu tak ditemukan. Bedor dan Lastri baru saja pulang di saat-saat genting begini. Mbak Rossi, dengan lemah-lembutnya menanyai Lastri sementara aku duduk menatap iba kepada Bedor yang terlihat lelah, sebab dia yang menenteng semua belanjaan Lastri dari pasar. “Ngaku kamu!” bentaknya sambil melepaskan tamparan keras ke pipi Bedor.

“Astaghfirullah Mbak! Apa-apaan ini!” aku menangkap tangan wanita berambut blonde itu sebelum kuku-kukunya yang tajam merusak pipi Bedor yang satunya lagi. Bedor bergeming sambil tertunduk, baginya tamparan itu adalah bagian dari masa lalunya yang pantas untuk diterimanya. Aku sungguh marah pada mereka yang telah menghakimi Bedor seenaknya.

Malam ini, aku tidak bisa tidur. Pikiranku terus malayang pada nasib yang menimpa Bedor. Sungguh malangnya dia, pada saat kami bertengkar, ibu kostku mengusirnya. Bedor diusir, sementara mereka tidak punya keberanian apa-apa untuk menanyai Lastri. Tiba-tiba saja aku teringat akan cerita Bedor untuk menunggu Lastri menukar sesuatu di toko. Aku telah mengajak Mbak Rossi untuk pergi ke tempat yang dimaksudkan Bedor, ternyata benar, Lastri yang mencuri dan menjual cincin itu. Mbak Rossi hanya diam setelah ibu kost mengganti cincinnya yang dicuri Lastri. Masalah cincin memang sudah selesai, tapi pernahkah mereka memikirkan perasaan Bedor?
***
Aku terus berjalan melintasi emperan toko-toko yang mungkin ditumpangi Bedor malam ini. Hujatan mereka pada Bedor, membuatku sedih. Mereka terlalu mudah untuk menghukum Bedor dengan mencapnya gembel, padahal tentu saja predikat itu tak pernah diinginkannya. Menghakimi orang lain dengan asumsi umum yang belum jelas ujung-pangkalnya malah akan membuat orang-orang bertindak egois dan chauvinis. Menganggap diri lebih baik dari yang lain hanya akan menimbulkan gejolak antara dua kutub yang berakhir saling memusuhi.

Malam beringsut menepi. Aku kesal dan letih. Jalanan sudah lama sunyi, sejak gerimis tadi sore. Orang-orang menutup pintu dan jendelanya rapat-rapat, menghindari hembusan angin malam yang beku dan sunyi.  “Bedor, dimana kau…” aku berbicara sendiri sambil mencari-cari sosoknya di sudut-sudut pertokoan yang sudah ditutup. Pandanganku tertumbuk pada sesosok tubuh yang meringkuk merogoh sisa-sisa makanan di tong sampah yang basah.

“Bedor…” panggilku dengan emosi yang kacau, tak kusangka dia harus menyelami masa lalunya yang buruk lagi. Perempuan itu terdiam dan lututnya bergetar. Aku melihat tatapannya melemah dan rambutnya yang diikat menjadi becek karena hujan. Aku mendekatinya dan memeluk tubuhnya yang kurus. Kami menangis untuk sesaat. Aku mengajaknya pulang ke rumah kost, tapi dia menolakku dengan halus.

“Aku memang pantas hidup di jalanan. Terima kasih Rin, aku sudah menyusahkanmu.” katanya sambil berusaha melepaskan genggaman tanganku. Bedor menghilang di tikungan jalan. Sekulum senyum pedih dilemparkannya padaku sebelum bayangan samarnya lesap di antara rintik gerimis. Aku mematung, mencoba menelaah jalan pikirannya yang rumit. Angin malam berembus deras bersama gerimis yang masih merintik halus. Tetesan hujan yang seolah ingin membantuku menenangkan diri malah membuatku merasa bersalah dan berdosa telah menelantarkan Bedor di jalanan. Dia memang bukan tanggung jawabku dan aku tidak punya hak memaksanya tinggal denganku, tapi dia manusia dan aku pun. Kupercepat langkah menyusulnya yang sudah menyebrangi jalan raya.

"Ciitt, brakk!" sebuah sedan hitam yang melaju dengan kecepatan tinggi menubruk Bedor di badan jalan. Jalanan masih terlalu basah dan sunyi. Beberapa lelaki yang sedang duduk-duduk di warung kopi berhamburan keluar.

“Bedor!" oh tidak, aku berlari ke arah mobil hitam itu. Kupercepat langkah dan jantungku berdegup lima kali lebih cepat dari biasanya. Pandanganku liar dan bola mataku terus mencari-cari sesosok tubuh yang terpelanting dihantam kap mobil bagian depan. Aku melihat tubuh ringkih itu terpelanting keras, kepalanya retak menghantam trotoar dan aku mendengar gemeretak tulang patah. Darah segar muncrat dari daging dan kulit yang terkoyak. Genangan darah itu tidak mengalir tapi merebak di aspal yang basah. Aroma darah yang anyir dan pekat menusuk hidung, membuat dengus nafasku tak teratur. Orang-orang ramai berkerumun. Aku menghadang sedan hitam itu agar pengemudinya tidak bisa lari lagi.

"Keluar kau!” bentak para pria dari warung kopi kepada pengemudi mobil. Mereka mengetuk kaca sedan hitam itu, belum juga dibuka pengemudinya. Seorang lelaki buncit dengan hem coklat muda membuka pintu mobil. Seorang wanita dengan rambut blonde duduk di sebelahnya dengan wajah pucat, mereka malah bertengkar di depanku dan kerumunan orang-orang yang mulai ramai. Lelaki itu keluar dari mobilnya dengan lagak dan tanpa merasa bersalah. Dia melongokkan kepalanya ke arah Bedor sambil menaikkan sebelah alisnya.

“Oh, rupanya gembel. Kita damai cepat saja ya. Jadi berapa yang harus kubayar untuk membereskan ini?” tanyanya ringan. Orang-orang lantas mengerubutinya hingga aku tersingkir ke luar dari kerumunan orang-orang. Mereka mengancam lelaki itu dengan kata-kata yang menyakitkan untuk didengar. Namun makian itu berujung pada diskusi kecil yang mengharuskan lelaki itu membuka dompetnya dan mengeluarkan berlembar-lembar uang. Dia mengeluh pendek lalu melanjutkan perjalanannya. Aku beringsut memeriksa Bedor, meraba pergelangan tangannya yang kaku, sudah tidak ada lagi denyut di sana.
www.kinamariz.com -Image Source : Wallhere.com
Medan, KSI 2010
(Ditulis oleh : Sakinah Annisa Mariz)

1 comment

  1. Silahkan untuk berkomentar, namun ingat ya link hidup tidak diperkenankan diletak sembarangan di sini. Insya Allah saya siap kok blog walking tanpa harus nempel-nempel backlink. Ok. Thanks

    ReplyDelete

Mohon tidak meninggalkan link hidup di kolom komentar. Terima kasih.

Literasi Digital