Cerpen : Catatan Hitam

www.kinamariz.com -Image Source Favim.com-
#SakinahMenulis-Hawa dingin masih menyelimuti lelapnya kota Medan malam ini. Tanpa kusadari, semilir beku sang bayu menampar wajahku kaku. Membuat helaian -helaian rambut kasar ini sontak berhamburan di pipiku. Bibirku mulai membiru oleh suhu dingin yang semakin menusuk tulang. Gemerisik daun-daun yang basah oleh embun malam, ikut meramaikan suasana pesta jangkrik liar yang bertamukan ribuan makhluk lain dari seluruh penjuru bumi.

Malam semakin kelam, ketika raga ku terus terjaga. Perlahan aku meringsut ke tepian trotoar jalan yang agak tenang, tepat di bawah lampu jalan, ku rebahkan tubuh ini yang penat oleh sejuta aktivitas melelahkan sebagai seorang gelandangan.

Bila malam tiba, jika dunia tak lagi bersuara, dan bulan mulai memijarkan sinarnya. Bumi sudah sedia menjadi alasku, dengan langit yang selalu setia menjadi atapku. Kutarik nafas dalam-dalam, mencoba menutup rapat mata ini. Tiba-tiba ingatanku melayang ke peristiwa sepuluh tahun silam.

Saat itu aku masih berusia tujuh tahun, ketika kedua Orangtuaku bercerai. Dulunya, Ibuku adalah seorang wanita karir yang cerdas, Ia bekerja di salah satu Bank Swasta terkenal. Sedang Ayahku adalah seorang PNS yang bertugas di kantor Walikota. Mereka berasal dari keluarga berada, elite, dan berpendidikan.

Suatu hari, ketika Ayahku mendapat dinas keluar kota, Ibuku mengganas. Aku dan Mas Agung, ketakutan dibuatnya. Setiap hari diisi dengan kemarahan-kemarahan Ibuku yang meledak-ledak tak tentu arah. Belum lagi, penyakit alcoholic yang diidapnya semakin menyengsarakan kami.

Untung saja, Kakek dan Nenekku cepat bertindak. Kamipun segera di transfer ke rumah mereka yang berada di kota lain. Akhirnya hari-hari kami, Aku dan mas Agung, di habiskan dalam asuhan Kakek dan Nenek. Bukan dari orang tua kandung, yang seharusnya mendidik dan mengayomi kami sebagai permata hatinya. Enam tahun setelah peristiwa pahit itu, luka di hati kami berangsur-angsur pulih. Kini, aku dan Mas Agung sudah menginjak bangku SMP dan SMA. Berkat perhatian dari Kakek dan Nenek, kami berhasil meraih predikat siswa teladan dan menerima beasiwa di sekolah. Sungguh merupakan awal yang indah bagi lembaran yang baru dibuka.


Lamunanku buyar seketika, ketika kurasakan perih yang teramat sangat di telapak kakiku. Kulihat kulitnya yang mengelupas kemerahan, berair dan mulai merembeskan darah di tepinya. Semua ini karena sepatuku yang hilang di stasiun bis 5 hari lalu. Alhasil, jadilah aku bertelanjang kaki menapaki aspal jalan  yang keras dan tajam ini. Kutarik beberapa lembar daun hijau yang basah oleh embun dan kubungkuskan ke kulit kakiku yang terbuka. Ah, dingin rasanya. Pikiranku kembali menyusun potongan peristiwa yang sempat tertinggal.



www.kinamariz.com -Image Source JoeRoberts.co.uk-
Malam itu, tiba-tiba saja aku merasa gerah sekali. Sontak aku terjaga dari tidurku. Tapi alangkah terkejutnya aku, melihat kobaran api di sekeliling tempat tidurku. Segera aku berlari menuju kamar Mas Agung yang berada di samping kamarku, tetapi hanya lorong-lorong api yang kulihat. Sedangkan kamar Kakek dan Nenek nyaris tak terlihat lagi, tertutup oleh asap tebal dan kobaran api yang kian melebar.

Aku menjerit sekuat tenaga, berharap akan datangnya pertolongan. Jeritanku sia-sia. Karena hanya kabut pekat yang menelusup di tenggorokan keringku dalam-dalam. Lantai tempatku berpijak semakin panas. Buru-buru aku masuk ke kamar Mas Agung, kulihat ia terjepit reruntuhan kayu.

Oh, alangkah malangnya ia. Dapat kusaksikan lumuran darah dari kepalanya. Dengan berusaha semaksimal mungkin, akhirnya aku bisa menyingkirkan kayu-kayu itu. Kupapah ia keluar dari kamarnya, seketika pintu kamar itu roboh, nyaris menimpa kami, untung saja ada sepasang tangan renta menangkap papan berapi itu.

“Cepat keluar anak-anak!!!” seru suara itu terengah-engah. Itu pasti suara Kakek, pikirku.

“Kakek… tidak!!” jeritku, saat aku tahu Kakek memeluk kobaran api dengan kondisi sakaratul maut. “Keluar!!” katanya sebelum ia menghembuskan nafas terakhirnya.


Aku dengan hati hancur membopong Mas Agung yang pingsan keluar dari rumah itu. Meninggalkan Kakek dan Nenek di dalamnya. Tiga detik setelah kami tiba diluar, kurasakan bangunan itu bergetar hebat, rubuh, rata dengan tanah.

Kupandangi di sekelilingku, pemandangan yang sama terjadi di sepanjang kompleks perumahan “Taman Asri” tempatku berdiri.Tak lama kemudian, pandanganku mengabur, aku tidak ingat apa-apa lagi.

Beberapa hari setelah tragedi besar itu, kami yang masih berada di posko dengan kepala terbalut akibat luka yang menganga di sekitar kulit kepala, mulai siuman. Kini, aku tak lagi mengigau terus menerus seperti dulu. Dan Mas ku sudah bisa berjalan normal kembali. Dari seorang juru rawat, kuketahui bahwa ada seorang Bapak yang mencari kami.

Saya adalah Orangtua dari mereka suster.” Kata pria tua itu sambil merangkul Mas Agung. Entahlah, enam tahun berlalu kurasa cukup membuat pria itu sadar akan arti tanggung jawab, dalam hidupnya. Diantara luka, trauma dan ketidakpercayaan, kami anak terlantar yang tidak memiliki sandaran, akhirnya menurut saja. Sebenarnya hati kecilku menolak tawaran ini. Tetapi melihat sorot mata kosong Mas Agung yang tiba-tiba bersinar menatap pria tua itu, aku tak rela membuatnya kembali redup. Dengan senyum yang sedikit di paksakan, ku ikuti saja apa maunya.

Ternyata pria tua itu memang benar ayah kandung kami. Aku tidak mau memanggilnya Ayah. Cukup menyebut “Pak..”. Tentu saja, karena 6 tahun, bukanlah waktu yang singkat untuk menelantarkan anak seusia kami. Sungguh, aku benar-benar muak melihat sikapnya yang sok perhatian terhadap aku dan Mas Agung. Mungkin, cuma Mas Agung yang bisa memaafkan kesalahannya. Karena Mas Agung memang anak yang baik. Buktinya ia masih sanggup bertanya tentang kondisi Ibuku, wanita pemabuk yang kerap menghajar kami, saat malam menjelma menjadi ketakutan.

Andaikan Kakek dan Nenek masih hidup, tentu aku tak mau tinggal dengan orang yang sudah membuangku. Tapi aku tak punya pilihan. Aku pun harus menerima kenyataan ini dengan mata terbuka. Masalah baru muncul, ketika istri kedua Ayahku mencium kehadiran kami di tengah-tengah damainya keluarga mereka. Ayahku di amuknya sejadi-jadinya. Bahkan kami yang tidak tahu menahu ikut didampratnya habis-habisan. Barang-barang dan perkakas lain yang ada dicampakkannya keluar. Kaca jendela pun dipecahkannya. Sungguh kejam hati perempuan itu.

Tiga minggu berlalu. Ayahku –kini akupun mulai menyayanginya- mengusulkan agar kami bersekolah di asrama. Dengan berat hati, di utarakannya hal itu pelan-pelan kepadaku. Karena dia tahu, aku adalah gadis keras kepala yang selalu menaruh curiga padanya. Ayahpun berjanji setiap bulannya aku akan di kirimi uang saku.

Hari itu juga kami dikirim untuk sekolah di tempat yang berbeda. Hatiku serasa luluh lantak mendengar keputusan itu. Itu artinya sama saja dengan menceraikan aku dari semua orang yang kusayangi. Mulanya keluargaku. Lalu Kakek dan Nenek, sekarang Mas Agung? Mengapa dunia ini begitu kejam?  Tak cukupkah penderitaan yang kualami menebus takdir ini? Masih kulihat mata merah mas Agung menatapku dalam, saat memelukku di stasiun kereta kemarin.

Di sekolah, aku semakin tidak karuan, rasa rinduku pada Mas Agung semakin berapi-api. Setiap hari aku terus berusaha mendapatkan nilai terbaik supaya menerima prestasi baik dan beasiswa. Agar suatu hari nanti, bila Mas Agung menjengukku disini, dia akan bangga dengan aku.

Tetapi lambat laun alasan itu pupus berganti dengan alasan lain. Aku harus mendapatkan beasiswa untuk terus bertahan disini. Karena ternyata janji-janji yang diiming-imingi Ayahku tak kunjung datang. Sementara kebutuhan sekolahku semakin membengkak. Mau tak mau, aku harus berusaha untuk mendapatkan beasiswa itu. Sedangkan untuk uang makan, biaya asrama dan uang tak terduga lainnya, aku mengandalkan kecerdasan yang kumiliki dan bantuan teman-teman satu asrama.

Tak terasa  liburan sekolah pun di mulai. Semua siswa bersiap mengemasi barang-barang mereka. Begitu juga dengan aku. Akupun sudah menyiapkan rencana untuk mencari Mas Agung yang kabarnya tinggal di kota Medan. Dengan berbekal sedikit informasi, dan semua uang hasil tabunganku. Kukuatkan diri menelangsa kota Medan dengan satu harapan, bertemu Mas Agung.

Dua minggu lamanya aku menjejaki kota besar ini, tak satupun berita mas Agung udapat. Padahal telah kuhabiskan semua persediaan yang kupunya. Mulai dari uang, buku, bahkan baju-bajuku pun sudah ludes kandas di tukang loak, demi mengisi perut sehari-harinya. Tenaga dan fikiran habis tersita demi pencarian ini. Tapi hasilnya apa?? Mas Agung dan alamatnya tak juga ditemukan. Aku pun tak berdaya untuk menghubungi Ayahku. Yang ada, aku saat ini berstatuskan tunawisma.

Rasanya, baru semenit aku terlelap. Kudengar suara ribut-ribut di sekelilingku. Ada yang berteriak-teriak menjajakan dagangannya, ada yang saling memaki, dan suara bising kendaraan bermotor yang lalu lalang, tak henti-hentinya melintas di depanku. Kupicingkan sedikit mataku. Alangkah hiruknya pagi ini.

Tiba-tiba… Plakkk… sebuah tamparan keras mendarat di pipiku sebelah kanan. Telingaku berdengung memanas, air mukaku meringis, mendidihkan darah yang siap menyulut api amarah yang membakar hingga ke sum-sum tulang-tulangku. Jantungku bergejolak hebat, meluapkan segenap kemurkaan. Lekas aku bangkit dan menantang orang kurang ajar itu. Ketika aku bangkit, aku terkejut sekali mengenal lawanku saat ini.

Dia adalah Feli, gadis seumuranku yang merupakan ketua gank “Hero”. Kumpulan gadis brutal yang biasanya mangkal di stasiun bis tempo hari. “Cuuihh…” ludahnya ke arahku. Tanpa pikir panjang kuhantamkan tinjuku bertubi-tubi ke perut dan wajahnya. Pagi ini dibuka dengan duel seru antara aku dan “si gembrot’ berengsek itu.

”Prriiittt….” Peluit dari Pak Polisi cukup menyudahi pergumulan seru di antara kami. Kurasakan darah segar mengalir dari hidungku. Kulirik lawanku yang tak kalah merana. Tiga kali hantaman di perutnya, kurasa cukup membuatnya lemas tak berkutik berlutut di depanku. Feli gembrot, ketua gank “Hero” yang terkenal jago, kuat, sadis dan punya kekuasaan mutlak itu, kini ambruk oleh aku, Erika Pratiwi. Anak kemarin sore yang sama sekali belum pernah berkelahi. Sungguh, peristiwa ini adalah prestasi besar yang harus di catat dalam sejarah hidupku. Belum sempat aku melonjak kegirangan, kami sudah di giring untuk diamankan di kantor polisi.

“Tujuan saya ke Medan mencari Mas saya yang kuliah kemari Pak.” Jawabku kepada seorang polisi muda yang sedang menginterogasiku. Walaupun usianya masih muda, namun raut-raut ketegasan terpancar dari wajahnya yang bersih. Matanya yang teduh, dan tutur katanya yang sopan mengingatkan ku  pada Mas Agung. Sedang apa dia sekarang ya? Apakah dia juga mencariku?

Aku tak tahu apalagi yang harus kulakukan setelah keluar dari ruangan istimewa ini. Proses interogasi ini pun, menjadi awal catatan kriminal dalam buku sejarahku. Aku tak peduli, berapa hari aku harus di kurung di bui ini. Bagiku penjara lebih aman dari kejahatan yang terus mengintaiku di luar sana.

Selang beberapa menit aku di kunci di balik jeruji, seorang sipir menyeret seorang tawanan lagi. “Feli…?” desisku kaget. Si empunya nama hanya tertunduk tanpa berkata sepatah pun. Akupun tak kalah diamnya. Kuhabiskan hari-hari di balik jeruji bertemankan lorong lembab yang sepi.

Hari-hari di penjara membuatku jenuh, tidak ada aktivitas yang bisa kulakukan disana. Kecuali menatap lantai dingin yang mulai dirambati lumut hijau. Udara lembab yang berbau karat memenuhi lorong-lorong gelap yang menakutkan. Di kanan-kiri lorong, berbaris bilik-bilik besi dengan berisikan napi-napi yang sudah tak berdaya lagi. Wajah mereka pucat seperti mayat, berhiaskan bola mata cekung dan kosong. Sungguh! Tidak ada tanda-tanda kehidupan di tempat ini.

Esoknya aku dan si gadis brutal dikeluarkan dari sel. Tak ada sepatah kata pun meluncur dari mulutku saat bersamanya. Aku tidak mau berurusan lagi dengan siapapun. Tujuanku hanya satu, mencari Mas Agung, cukuplah permusuhan ini. Aku sudah muak berlarut-larut dalam kekerasan.

Tanpa basa-basi, kuulurkan tanganku kepadanya sambil berkata, “Maaf.. aku tidak ingin punya musuh,” tuturku pada Feli.


Tak diduga, dia menyambut uluran tanganku dan memelukku sambil berkata, “Maafkan aku juga ya? Sekarang bisa kan kita berteman??” Tanya Feli kepadaku. Aku terlonjak kaget, tapi sejurus kemudian ku anggukkan kepalaku tanda setuju kepadanya. Pendek kata, peristiwa ini membuatku menjalin persahabatan dengan Feli dan anak buahnya.

“Malam ini target kita anak-anak dari Markas Barat, namanya Gankster. Mereka berjumlah 23 orang. 14 perempun dan sisanya banci...!! jadi tidak ada kamus kalah dalam duel kali ini, kalian paham??” hardik Feli yang saat itu memimpin pertarungan penting demi memperebutkan markas baru malam ini.

“Siaap….” Seru kami, anak buah Feli sambil bersujud di kakinya, sebagai tanda penghormatan kepada ketua. “Hidup Hero!!” pekik kami. Tim yang bergabung malam ini ada sekitar 34 orang, lebih banyak di bandingkan tim lawan. Agar tidak mencurigakan, banyak diantara kami yang ikut dari belakang. Sebilah pisau lipat, masing-masing dibagikan satu-persatu. Tidak ada yang boleh berpangku tangan melihat perang.

“Pukul siapa yang kalian sukai. Dan tusuk dimanapun kesempatan itu ada. Tidak ada kasihan, jangan abaikan kesetiaan. Atau kalian yang mati!!” kuliah Feli sebelum kami pergi menjemput maut. Tawuran kali ini berlangsung seru, saat aksi dimulai. Masing-masing mencari lawannya dengan mata liar dan pisau yang siap terhunus. Kami pun menyerbu “Gankster” yang personelnya masih di bawah umur. Hal ini membuat Deka, pemimpin Gankster menarik mundur anggotanya. Banyak dari mereka yang menderita luka parah

Titah Feli yang tak boleh dilanggar masih terngiang-ngiang di telingaku. “Jika kalian tak berani menggores mereka dengan pisau itu, maka kalian yang akan kugores!” ancamnya. Aku ketakutan, lumuran darah dan pekik miris membuatku trauma. Kupaksakan juga kaki ini menyepaki kepala korban-korban tusukan teman-tyemanku. Tapi tangisan mereka membuat tulangku kaku, otakku mati. Kalau bukan karena janji Feli menolongku mencari mas Agung, aku tak kan bertahan. Yang ada di pikiranku saat ini bahwa aku tak lagi manusia.

“Kita menang!” sorak Feli dean kawan-kawanku sambil bersulang, berbagi segelas Bir Hitam dengan menyulut sebatang rokok di mulut kami. Mulanya, aku takut mencoba minuman pahit ini, aromanya terlalu kuat menyangar. Tapi lama kelamaan tertarik juga aku meminumnya. Dengan sekali nafas, segelas besar Bir Hitam yang panas dan memabukkan kureguk. Rasa terbakar menyambar kerongkonganku, berganti dengan sensasi ringan di tubuhku. Kureguk dan kureguk lagi, hingga menghabiskan tiga botol besar. Samar-samar terdengar sorak-sorai Feli dan gengnya meneriakiku “Gila!”

Sorot sinar terang benderang berkilau menyinari mataku, berpendar dan menipis. Tiba-tiba di tengah-tengah kumpulan sinar itu muncul sosok Kakek dan Nenekku dengan parut senyum di sudut bibir mereka. Aku terkesiap menatapnya. Kukucek mataku, tapi pandanganku tak salah. Kakek dan Nenekku masih berdiri di depanku. Rasa rindu yang meluap-luap menyingkirkan logika yang ada.

Serta merta kupeluk tubuh renta itu sambil mengadukan tragisnya nasibku. Anehnya, tak sepatah nasehatpun terucap dari mulut mereka. Namun dapat kubaca, bait-bait kesedihan di matanya. Di usapnya pipiku yang kotor oleh lelehan Bir. Aku tertunduk malu. Bukankah minuman nista itu yang memporak-porandakan keluargaku. Tapi mengapa aku malah akrab dengannya? Ingin rasanya aku memeluk kaki Kakek dan Nenekku demi menebus rasa bersalah ini.

“Maafin Erika Nek..” tangisku pecah. Kutengadahkan wajahku ke hadapan mereka. Tetapi pandangan kuberubah, yang ada hanyalah tembok kotor dan beberapa botol bir kosong yang tergolek di antara puntung-puntung rokok bertaburan disisinya. “Kakek..Nenek dimana kalian?” pekikku. Aku kelimpungan mencari mereka. Sepintas tercium arom cendana di depanku. Minyak harum yang kerap di poles Nenekku di balik stagennya. Wangi kayu-kayuan lembut menusuk hidungku. Hatiku remuk, rasa dongkol dan sedih bercampur aduk dalam dada ini. Aku menangis sebisaku. Tetapi mata ini tak lagi berair, stok airmataku sudah habis. Perasaan bersalah terus menyeretku. Akupun tak sadarkan diri sepanjang hari.


Dari kejauhan terlihat gerombolan remaja putri asyik mengendarai motornya di sepanjang ruet Medan-Binjai dengn riuh. Beberapa dari mereka membawa kotak-kotak kardus besar. Entah apa yang mereka lakukan dini hari begini. Suara bising kendaraan yang mereka tumpangi seolah mencerminkan kepribadian mereka yang brutal. Akupun ikut meramaikan suasana kemenagan pagi ini. Setelah tiba di markas, satu persatu dari kami mulai mencari tempat untuk merebahkan diri.

“Krieeet..” dipan tua yang kududuki berderit nyaring, mengundang tawa teman-temanku yang asyik dengan berbagai aktivitasnya, ada yang minum, merokok, bahkan ada beberapa dari kami yang asyik berpacaran dengan yang lainnya. Kupandangi tanganku yang kehitaman bekas lumuran darah. Tidak peduli darah siapa yang pernah berhamburan di tubuhku. Otakku serasa kaku. Kepalaku terus berdenyut. Rasanya sesuatu menusuk-nusuk perutku,. Aku muntah, lendir bau mengalir dari mulutku. Segala isi di perutku habis kukeluarkan. Pekikan teman-temanku tak ingin berhenti. Muntahku semakin banyak, kali ini bukan cuma sisa nasi atau lendir bau itu, melainkan darah segar yang terus keluar. Peluh mengalir deras. Air mataku pun menetes. Aku lemas sekali, masih terdengar Feli dan kawan-kawanku sibuk berlari kearahku. Mereka meminumkanku sesuatu yang hangat. Barangkali Bir. Benar-benar hangat hingga panas mengalir ke perutku yang kosong. Aku tidak mampu bergerak banyak. Nyeri di ulu hatiku meremas semangatku untuk bangkit.

Mataku masih terpejam, kurasakan ada yang mengelap wajahku dengan kain lembut. Feli dan yang lain merawatku dengan baik. Seperti ada tali persaudaraan di antara kami. Akupun lelap dengan tenang. Saat pikiranku berangsur tenang. Kehebohan mendadak melanda markas kami. Aku membuka mataku perlahan. Suasana begitu riuh, temanku berlari berhamburan keluar, tak ada yang mempedulikan aku.

“Brukkk…” Feli menubrukku, cepat di komandonya teman-teman yang lain untuk menggendongku ikut bersama mereka. “Ada apa?” Tanya ku lemah. “Polisi datang… “ jawab Dina cepat, tanpa mengacuhkan Feli yang sibuk memanggil teman yang lain.

“Dooorr….” Suara tembakan ke udara menggelegar di gudang bekas pabrik rokok ini. Puluhan anggota polisi menyergap kami dengan tangkas. Tak seorangpun yang berkutik di depannya. Aku yang berada dalam gendongan teman-temanku terjatuh oleh kepanikan mereka. Kepalaku terhempas ke lantai. Hidungku terus menyemprotkan darah segar yang mengalir deras di wajahku. Perutku mual kembali, rasa nyeri di ulu hati ku semakin menggila, mendengungkan kepalaku. Meremas otakku kuat-kuat. Aku lemas tak berdaya. Nafasku tersengal oleh debaran jantung yang kian melemah. Tapi aku tak juga mati.

Melihat kondisiku, seorang perwira polisi membopongku ke dalam mobilnya. Dalam penderitaan yang tak kunjung mereda, kupaksakan mata ini melihat apa yang terjadi. Kami diringkus Polisi untuk di campakkan ke dalam penjara.

Setibanya di Mapolres, kami semua di suruh berbaris. Ada lima orang polisi berpakaian lengkap yang mengawasi kami. Tiga orang lagi memeriksa Feli dan kawan-kawanku satu persatu. Semua ditanyainya. Bahkan luka codet akibat tawuran di pipi Feli sebelah kiri pun di foto untuk keperluan pengadilan. Tak ada yang melawan. Perlahan aku di letakkan di bangku yang lembut. Kipas angin yang berputar menghembus badanku yang mulai mendingin. Seorang dokter polisi wanita mengelap wajahku yang bersimbah darah dengan kain halus. Aku masih bisa melihat warna handuk putih itu berubah menjadi merah oleh darahku yang tak jua berhenti mengalir.

Tatapanku nanar, kepalaku berulah lagi. Nyeri di ulu hatiku belum reda. Ketika aku ingin memejamkan mataku sejenak, tiba-tiba jantungku berdegup keras sekali, sampai-sampai aku gemetaran. Pintu di buka, kudengar derap langkah menuju ke arahku. Mataku masih terpejam menahan rasa yang tidak karuan di dadaku.

Tiba-tiba salah satu dari mereka menjerit histeris memanggil namaku. “Erika!” Jeritnya parau. Rasanya sudah lama sekali aku tidak mendengar suara itu. Suara seorang lelaki yang mengingatkan ku akan kerinduan yang mendalam kepada seseorang. Kubuka mataku perlahan, bola mataku membesar, ketika aku tahu siapa pemilik suara itu. Lelaki yang memanggilku tadi, kini berlari menubrukku, menghembuskan aroma cendana yang lembut menusuk hidung ku yang masih meneteskan darah. Jantungku berdegup lebih kencang, hingga aku tak mampu bergerak.

Ketika wajahnya mendekat, aku sadar bahwa dialah orang yang membuatku ikhlas menjadi seperti ini. “Mas…” desisku lirih. Abangku yang sangat kucintai ini menatapku tajam seolah tak percaya akan apa yang terjadi. Kristal-kristal bening mengalir dari sudut matanya yang memerah. Dipeluknya aku sekuat-kuatnya, demi melampiaskan rindunya yang amat dalam. Aku bisa merasakan kehangatan kembali menyelimutiku. Aroma cendana yang menenangkan pikiranku. Dan pelukan hangatnya menghentikan nyeri di ulu hatiku beberapa detik. Kutatap wajahnya yang bening dalam-dalam. Wajah itu begitu damai di hatiku. Butir-butir kerinduan meleleh di sekujur tubuhku. Menorehkan kembali kenangan manis saat aku terakhir kali memeluknya di ujung stasiun.

Di tengah-tengah kebahagiaan ini, tiba-tiba pandanganku gelap, badanku lemas tak kuasa menahan rasa sakit yang dahsyat menyerang terus, terus, dan terus hingga aku sampai ke titik akhir perjalanan hidupku di dunia ini. Tiba-tiba, serasa ada yang tercabut dari ubun-ubun kepalaku. Saki hingga tak berasa, lalu ringan dan melayang. Kulihat dari kejauhan, Mas Agung meronta-ronta memanggil namaku.

Aku pun melayang, menjauh, meninggalkan ragaku yang kaku. Namun hidup ini belum berakhir, masih ada catatan hitam yang harus aku pertanggungjawabkan. Di langit sana, tempat Tuhan dan para Malaikatnya menunggu.

Cerpen Pertamaku,
Dimuat dalam Artefak : Antologi Cerpen Indonesia, Labsas Medan, 2009 
www.kinamariz.com (Buku pertama yang memuat tulisanku)


www.kinamariz.com Page 121-128
www.kinamariz.com Daftar Isi
(Ditulis oleh : Sakinah Annisa Mariz)

1 comment

  1. Silahkan untuk berkomentar, namun ingat ya link hidup tidak diperkenankan diletak sembarangan di sini. Insya Allah saya siap kok blog walking tanpa harus nempel-nempel backlink. Ok. Thanks

    ReplyDelete

Mohon tidak meninggalkan link hidup di kolom komentar. Terima kasih.

Literasi Digital