Cerpen : Nyai

#SakinahMenulis-Danang pingsan berulang kali. Lelehan airmata dan raungannya tetap saja tak mau berhenti, padahal sudah berpuluh-puluh orang menasehatinya untuk tidak terus-terusan menangisi kematian Ratna, istrinya. Danang seolah tidak mengingat apapun selain kepergian Ratna untuk selama-lamanya. Dia meraung, meratap dan berteriak-teriak seperti orang kehilangan akal. Ketika orang-orang mulai kembali ke rumahnya masing-masing, diam-diam, Danang berangkat ke kuburan istrinya.

***
www.kinamariz.com -Image Source Lovethispic.com-
“Bisa, itu bisa diatur Mbah.” Anak perempuan itu mengibaskan jemari lentiknya dengan ringan ke udara. Tak tampak sedikitpun rasa takut di wajah bersihnya yang masih belia. Dia mendengarkan dengan patuh mantera-mantera yang dibacakan oleh wanita tua berparas Indo itu sambil mengikuti perintahnya. Nafasnya terasa sesak dengan asap kemenyan putih yang terus-terusan dihembuskan ke seluruh jengkal, lekuk tubuhnya. Wanita itu merapalkan mantranya tanpa sedikitpun acuh pada anak yang duduk di depannya dengan wajah dan mata yang memerah.


Setengah jam kemudian, setelah wanita tua itu menyusupkan sesuatu pada keduabelah pipinya yang mulus dan bening. Tak lupa, sebelum pulang anak perempuan itu menyelipkan tiga koin uang dan satu peti kecil tembakau ke kotak yang berada di sisi kanan pintu kamar. Lima hari kemudian, Ratna berdecak kagum melihat keelokan parasnya yang semakin mengagumkan. Tubuhnya yang ramping namun berisi, terlihat lebih sempurna dengan lekuk tubuh yang kentara. Dadanya penuh dengan kulit tubuh yang putih bersih. Kakinya jenjang dan betisnya yang lurus terlihat berkilauan apabila tersingkap dibalik roknya yang menjuntai hingga ke mata kaki. Rambut panjangnya berwarna hitam, lebat, dan lurus, memahkotai paras manisnya yang terlihat sempurna dengan kedua lesung di pipinya. Hidungnya mancung dan bibir tipisnya mungil. Barisan gigi putih dan rapi menghiasi senyumnya yang ramah.

Begitupun, jika kita memperhatikan keseluruhan kecantikannya, pusat gravitasi kecantikan itu sebenarnya bersumber dari matanya yang jernih dan teduh. Alisnya rapi, tak berlebihan sedikitpun. Bulu matanya lentik tapi tak terlalu tebal, menegaskan bola matanya yang bening dan hidup. Mata yang tidak biasa dimiliki oleh remaja yang beranjak dewasa seperti Ratna. Tatapan yang lembut dan tenang, mengisyaratkan kegembiraan pada setiap orang yang memandangnya. Hal inilah yang membuat kecantikan Ratna berbeda dengan gadis-gadis cantik lainnya, meski statusnya hanyalah pengantar pakaian di rumah binatu.

Ketika itu, Pemerintahan Belanda masih menguasai Indonesia, tepatnya di wilayah perkebunan Pematang Siantar, Sumatera Utara. Daerah itu terkenal dengan Tehnya yang bermutu tinggi untuk di ekspor ke luar negeri. Atas kuasa Ratu Belanda, banyak orang-orang Belanda yang datang untuk tinggal di sana sebagai tentara dan pengawas kinerja kaum pribumi. Selain itu, Belanda memerintahkan masyarakat untuk membangun kompleks perumahan dan menyediakan fasilitas pribadi bagi staf dan petugas admistratif. Wanita-wanita pribumi banyak yang bekerja sebagai pemetik Teh, petugas memasak dan babu di kompleks perumahan Belanda. Pembesar-pembesar Belanda dan pejabat-pejabat di Kewedanaan membawa gaya hidup baru bagi masyarakat. Setiap Belanda ataupun pejabat pemerintahannya, merasa berhak untuk memilih, menangkap setiap perempuan yang dikehendaki.

www.kinamariz.com -Image Source Pinterest.com-
Telah menjadi rahasia umum diantara para orangtua untuk segera memilihkan anak-anak perawan mereka agar menjadi seorang Nyai, Nyai Belanda. Predikat Nyai adalah kebanggaan sekaligus hal yang memalukan kala itu. Nyai, pada akhirnya tak lebih dari gundik yang dirumahkan. Kehidupan Nyai itu pun bergantung dari belas kasih Belanda yang merawatnya. Kebanyakan dari mereka merasa bahagia untuk mendapat kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya. Bila beruntung dan pandai menyenangkan hati si Belanda, Nyai-nyai itu akan mendapat bagian harta dan perhiasan dari Belanda yang memakainya. Meskipun Nyai-nyai itu dikucilkan di masyarakat, namun apabila Sang Belanda menggandengnya di hadapan masyarakat umum, maka pribumi juga wajib memberi hormat pada mereka.

Ratna sudah lama mendengar desas-desus itu dari pembicaraan orang-orang di tempatnya bekerja, terutama dari babu para Nyai yang menjadi pelanggan jasanya. Diam-diam, dia menaruh harapan pada kehidupan Nyai yang senang dan berkecukupan. Sering dia memikirkan tentang nikmatnya menjadi Nyai, namun hingga usianya menginjak limabelas tahun, belum juga ada Belanda yang menawarnya. Tiba-tiba dia teringat pada Tuan Besar Van Marwijk yang pernah berpapasan dengannya ketika mengantarkan pakaian dari rumah binatu.

Tuan Van Marwijk adalah satu dari sekian banyak Belanda yang sering ditemuinya di komplek perumahan Belanda. Dia menjadi Tuan Besar Kebon di wilayah Siantar karena gelar sarjananya dan Bahasa Indonesianya yang fasih. Perawakannya tinggi besar dengan wajah tampan dan rahang yang kokoh. Tuan Van Marwijk mengenal Ratna ketika dengan sengaja gadis itu mengantarkan secangkir kopi untuknya. Sejak pertemuan singkat itu, Ratna menjadi Nyai Tuan Besar Van Marwijk. Kedudukannya sebagai Nyai Tuan Besar, membuat namanya kian terkenal di seluruh wilayah perkebunan. Terlebih, Van Marwijk memberikannya fasilitas yang baik dan rumah yang mewah untuk didiaminya bersama tiga orang pengurusnya. Kecantikan dan kemudaan adalah aset yang dimanfaatkannya dengan sebaik-baiknya untuk menyita perhatian Tuan Van Marwijk. Namun sayang, pesona Tuan Belanda tidak bertahan lama sebab kedatangan 'Sahabat Lama dari Asia', pasukan bermata sipit itu ke Indonesia, memaksa Van Marwijk angkat kaki dari Siantar.

Nyai-nyai milik Belanda yang dulunya disegani dan dihormati oleh pekerja-pekerja perkebunan dirampas hartanya habis-habisan. Rumah-rumah mereka dibakar. Yang bernasib tragis, bahkan jadi bahan pelampiasan nafsu para pemberontak yang merayakan kepergian Belanda. Ratna menjadi korban pelampiasan nafsu keji para pemberontak itu. Seluruh perhiasan dan harta bendanya dirampas. Rumahnya dibakar massa atas dasar kebencian pada kolonialisme dan malangnya, tak satupun dari keluarganya mau merawat Ratna sebagai mantan Nyai Belanda.

Usai kejadian itu, Ratna berangkat bersama bekas pembantu dan teman-temannya ke daerah perkebunan tembakau di daerah Deli Tua. Umurnya kala itu tepat 20 tahun, kecantikan dan kelincahannya semakin ranum dan menarik dengan langkahnya yang bebas dan pribadinya yang luwes. Di sana, dia bekerja sebagai pembantu rumah tangga di rumah Haji Basri, saudagar ternama di kampung itu. Hanya berselang dua minggu, Haji Basri pun meminangnya. Maka menikahlah Ratna secara resmi untuk pertama kalinya dengan lelaki berusia 59 tahun.

Kependudukan Jepang membuat suasana semakin mencekam. Meskipun pajak dibayar dan upeti kepada tentara-tentara Nippon itu selalu diberikan, namun keselamatan para gadis dan istri tetap menggelisahkan. Ratna dipingit di rumah, untuk menghindari bahaya kebrutalan Jepang. Haji Basri terlalu sibuk untuk memperhatikan istri mudanya sehingga dia tidak mengetahui perselingkuhan Ratna dengan salah seorang putranya yang rajin bekerja di toko kelontongnya. Nama anak laki-laki itu Danang, usianya lebih muda 8 tahun daripada Ratna.

Pernikahannya dengan Haji Basri berlangsung singkat, sejak Jepang menguasai Jawa, Sumatera dan wilayah sekitarnya, hingga mereka kembali ke negaranya sendiri. Haji Basri meninggal dunia, dua hari setelah Ir Soekarno dengan gagah berani memproklamirkan kemerdekaan Indonesia.
www.kinamariz.com Image Source Pinterest.com
Danang menjadi lelaki ketiga yang menikahi Ratna. Pekerjaannya di toko kelontong peninggalan ayahnya, tidak menghasilkan banyak uang. Dia membawa barang dagangannya ke luar kota dan pulang ke Deli Tua setiap delapan hari sekali. Ratna, yang sedari awal tidak bisa hidup tanpa lelaki, mulai melirik lelaki lain untuk menghidupinya. Tuntutan susuk kecantikannya, selalu menginginkan aroma tubuh lelaki tiap-tiap malam kliwon. Ratna selalu menjaga susuknya dengan cermat, oleh sebab itu dia tidak bisa hamil. Sekalipun dia hamil, cabang bayi yang dikandungnya akan segera mati terbunuh karena lelembut yang menjaga susuknya akan segera mengambil dan menghisap cabang bayi itu. Setiap subuh, sebelum fajar terbentang, sambil meremas parutan jeruk purut dan pupurnya, Ratna menembangkan mantra-mantra yang sejak usia limabelas tahun dirapalkannya. Dia rajin membuat sesajen untuk yang ghaib yang menjaga susuknya, dua pekan setelah Rabu kliwon.
Sesajen terdiri dari satu ekor ayam putih yang dipanggang, bubur merah-putih dan penganan kue-kue dan aneka bunga lainnya. Sesajen itu diletakkannya di pinggir persawahan dekat aliran sungai, pagi-pagi buta sebelum fajar menyingsing. Ritual yang dilakukannya itu senantiasa berubah tiap pergantian Primbon. Sesajennya berganti, sesuai dengan petunjuk yang diberikan oleh Mbah Gusri, dukun peranakan Indo yang masih hidup dengan usia lebih dari 98 tahun.

Meskipun mengetahui perselingkuhannya dengan beberapa pria di kampungnya, anehnya Danang tidak bisa menceraikan Ratna. Baginya, Ratna adalah segala-galanya. Mereka hidup berdampingan hingga usianya sama-sama di ambang keuzuran.

Malam itu Ratna masih setia duduk di kursi rotannya tanpa bergerak sedikitpun. Sejak usianya menanjak 73 tahun, dia sudah sering sakit-sakitan. Dia tidak bisa melihat dan berbicara sebagaimana biasanya. Dia membuka matanya, tapi bola matanya hanya serupa bola gelap yang mati dan beku. Lidahnya tidak lagi berfungsi dan mulutnya senantiasa menganga. Apabila Danang menyuapinya makanan ataupun minuman, maka makanan itu akan langsung meluncur dari mulutnya menuju kerongkongan seperti menuangkan air pada pipa yang hampa.

Dia tidak bergerak lagi, seperti halnya manusia normal, kita juga tidak mendengar detak jantungnya ataupun dengus nafasnya. Yang terdengar hanyalah suara dengung yang masih bergetar-getar di rongga parunya, pertanda dia masih hidup. Lalat dan semut mengerubungi wajahnya yang menggelambir, meski sisa-sisa kecantikan masih semburat di sana. Aroma bangkai manusia yang mengering tercium dari kulit tubuhnya yang mengeras dan kaku seperti lapisan kayu tua. Rambutnya telah lama gugur, Danang menutupi kebotakan istrinya itu dengan selendang yang diikatkan di leher istrinya. Seminggu sekali, dia memandikan istrinya yang kaku untuk dibersihkan kotorannya dan menyucikan tubuhnya dari semut-semut dan rubungan lalat hijau.

Danang mencapai usia 65 tahun kala itu. Di usianya yang renta, Ratna masih setia duduk di kursi rotannya menemani hari tuanya bersama Danang di rumah mereka. Tidak ada orang lain yang mengurusi mereka kecuali tetangga-tetangga yang bermurah hati mengantarkan makanan ataupun membantu Danang membersihkan rumah. Ratna wafat setelah petir tujuh kali menyambar atap rumah mereka. Kematiannya disambut hujan yang deras dan lantunan ayat-ayat suci Al-qur’an dari seorang ustadz yang dipanggil Danang untuk memudahkan sakaratul maut istrinya.

Hal yang paling miris ketika Ratna akan dimandikan. Tubuhnya yang ringan dan keras, seperti kulit kayu tua, tiba-tiba terasa lembek dan lapuk. Sedikit demi sedikit dagingnya meleleh, lengket di kain kafannya. Punggungnya yang biasa disandarkan pada kursi rotan tempatnya duduk, perlahan-lahan keropos dan membolong. Menimbulkan teriakan histeris diantara wanita-wanita dan bilal mayyit yang memandikan jenazahnya. Tangisan Danang pun semakin mengeras.
www.kinamariz.com
Cry -GIF Source : Giphy.com-
(Based on True Story. Diceritakan kembali kembali oleh Ibuku)
Medan, KSI 2010
(Ditulis oleh : Sakinah Annisa Mariz)


1 comment

  1. Silahkan untuk berkomentar, namun ingat ya link hidup tidak diperkenankan diletak sembarangan di sini. Insya Allah saya siap kok blog walking tanpa harus nempel-nempel backlink. Ok. Thanks

    ReplyDelete

Mohon tidak meninggalkan link hidup di kolom komentar. Terima kasih.

Literasi Digital