Cerpen : Pacar Rahasia

www.kinamariz.com
Secret Love -Image Source : HuffingtonPost.com-

#SakinahMenulis-“Kamu mau dibawain oleh-oleh apa, honey?” suara bass Arga terdengar lembut dan gembira. Wajahnya yang super cakep dengan senyum manis yang -selalu dan pasti membuat cewek seantero sekolahku histeris- meyakinkanku bahwa aku adalah satu dari seribu perempuan paling beruntung di dunia ini.

“Gak usah. Aku gak butuh apa-apa,” balasku cepat, tanpa embel-embel Honey atau Yank seperti panggilan orang yang pacaran lainnya. Alasanku cukup jelas, aku tidak ingin membuat diriku terikat lebih kuat pada Arga. Kebaikan dan pemberiannya akan membuatku tersiksa lebih lama.

“Ok. Dua minggu lagi aku balik kok. Kamu jaga diri baik-baik, belajar yang serius honey. Jangan mikirin aku melulu,” candanya sambil mengacak rambutku dan mencubit sebelah pipiku. Sebenarnya aku senang diperlakukan begitu, tapi entah mengapa wajah Naya dan gadis-gadis lain tiba-tiba muncul begitu saja di kepalaku, membuatku merasa illfeel dengan sikap Arga. Sekejap, aku membayangkan Arga juga melakukan hal yang sama pada mereka, dan itu membuatku kesal. Handphone Arga bergetar, aku melihat nama Mbak Shena, managernya menelpon dan merepet panjang. Mereka berdebat sebentar dan akhirnya Arga berpamitan singkat padaku.

“Honey, sebelum aku berangkat, aku mau dengar kamu bilang cinta padaku. Please.” pintanya. Wajahnya terlihat serius dengan tulang rahangnya yang kokoh. Aku memperhatikan belahan dagunya yang tampan dan bibirnya yang setengah terbuka menanti kata-kata yang akan keluar dari mulutku. Hidungnya mancung dan tegas, sedangkan matanya nampak jernih dan teduh. Terasa ada yang menyesak dadaku. Sejujurnya aku ingin memeluknya dan mengatakan bahwa aku mencintainya lebih daripada yang diharapkannya. Tapi lagi-lagi muncul di kepalaku adegan ciuman Arga dan Naya dengan ekspresi penuh cinta, menjijikkan. Aku melepaskan genggaman tangan Arga dan melirik arlojiku.

“Udah jam 7, kamu harus berangkat sekarang. Aku mau balik ke kelas.” Aku pergi tanpa mempedulikan lambaiannya dan derum mobil Porsche atap terbukanya. Dalam hati aku berdo’a pada Tuhan. Semoga Dia selalu melindungi Arga, dimanapun dia berada.

“Cieee. Diantar pacar tercinta Moy?” tanya Vitho, teman sebangkuku. Dia tipe teman yang paling menyenangkan dan setia, meskipun teman-teman sekelasku sering menyebut gayanya yang khas, hermafrodit. Tapi bagiku, Vitho justru lebih baik dari mereka yang mengaku cewek atau cowok tulen. Aku memukul bahunya yang ramping dan dia menjerit kuat, seperti biasa. “Hallo, Moy!!! Aku enggak buta. Aku lihat kok waktu Arga antarin kamu. Pake’ adegan cubit-cubitan segala! Lebayy!!” lagi-lagi Vitho meledekku.

“Aku gak cinta ama dia, Vitho Tomat!” aku balas berteriak sambil mengejar Vitho yang sudah berlari menuju kelas. Vitho menertawakan aku dan mengejekku dengan menjulurkan lidahnya padaku. Aku mengejarnya sekuat tenaga, tapi aku tidak bisa menyusulnya lebih cepat. Tubuhnya yang kurus membuatnya lebih kencang berlari dariku. Tentu saja, timbunan lemak di paha dan perutku yang gembul, bisa menjelaskan itu.

Sekolah masih sepi. Kami dua orang pertama yang hadir setelah Bang Sudin membuka gerbang. Vitho berangkat pagi-pagi sekali, sebab lewat pukul 6 adalah jam paling macet di daerahnya. Sedangkan aku, berangkat lebih pagi karena hari ini Arga harus berangkat ke luar kota, menyelesaikan kontrak manggungnya di 24 kota. Kami tiba di kelas dengan tubuh berkeringat dan nafas yang sesak.

“Shh.. kamu jahat To…” kataku dengan nafas yang masih tersengal. Aku memukul lengannya, dia tertawa ringan.

“Yah, setidaknya kamu jadi jogging. Biar kurusan, biar tambah cantik, biar Arga semakin cinta. Biar, aduh, aduh, ampun Moy! Ampun!” Vitho memelas saat aku menjewer telinganya keras-keras.

“Rasain! Sekali lagi kamu sebut-sebut nama Arga,”  kalimatku terputus. Tiba-tiba aku jadi rindu padanya. Mataku mulai basah dan dadaku sesak. Terasa ada yang menyayat persaanku hingga aku sulit bernafas. “Aku, aku benci harus jadi pacar rahasia Arga, Tomat. Aku juga bisa mencintainya seperti Naya, walaupun aku tidak lebih menarik dari dia,” curhatku mendadak.

“Kamu mestinya bisa terima kenyataan itu, Moy. Kamu bulatkan hati kamu. Itukan jalan yang kamu pilih untuk menyelamatkan karier Arga,” nasehat Vitho.

“Tapi kenapa Arga memberi kesempatan itu padaku. Kenapa enggak dari dulu dia campakkan aku sehingga aku bisa berhenti mencintainya. Aku memang bodoh, bodoh sekali. Mencintai seseorang yang kutahu sudah punya kekasih dan cemburu dengan kekasih aslinya,” omelku sambil mengetuk kepalaku ke bahu Vitho.

“Ambil positifnya aja Moy. Setidaknya kamu tetap bisa memiliki Arga kan?” Vitho mengusap airmataku dan menunjuk pintu. Pak Mursyid, guru Bahasa Indonesia kami baru saja masuk. Seisi kelas tampak ramai. Kami diam dan mengikuti pelajaran dengan pikiran masing-masing.
***
Sepulang sekolah ini, aku tidak langsung pulang ke rumah. Aku pergi ke salah satu Foodcourt favorit aku dan Arga. Tempat itu terlalu sibuk dan ramai sekarang. Dulu, ketika Foodcourt ini masih sepi, aku dan Arga sering bertemu dan makan disini. Kehadiran wartawan dan juru foto infotainment, juga teriakan histeris fans-fans Arga membuat managernya, Mbak Shena marah besar. Arga tidak bisa lagi pergi bebas bersamaku. Kami lebih sering bertemu di perpustakaan kota atau chatting lewat akun pribadinya.

Aku mengenal Arga setahun yang lalu, ketika kariernya belum menanjak seperti ini. Aku menyukai lagu-lagu ciptaannya dan mencoba meliputnya untuk mengisi salah satu rubrik di majalah sekolah. Nomor handphonenya kutemukan dengan mudah dan aku juga bisa menghubunginya langsung tanpa banyak perantara. Setelah beberapa kali bertemu, kami jadi dekat. Dia dan aku sebenarnya banyak memiliki persamaan. Kami pecinta buku sastra, musik jazz, dan bawang goreng. Kami tidak bisa berenang dan tak pandai menggunakan sumpit. Kami juga suka Ice Cream Banana Split.

“Pesanannya Nona. Selamat menikmati,” seorang pelayan mengantar semangkuk besar Ice Cream Banana Split dan Friednoodles dengan banyak taburan bawang goreng. Aku segera membayar billnya dan melahap pesananku dengan airmata yang tak bisa berhenti mengalir. Entah kenapa, terasa ada yang hilang dalam hatiku. "Aku selalu cinta kamu Arga. Seandainya kamu hanya untukku," bisikku sebelum makan.

Kurogoh saku jaketku, mengambil selulerku dan mengetik pesan untuknya. Aku ingin mengetahui kabarnya. Pesanku tertunda pengirimannya. Nomor pribadinya tidak aktif. Aku yakin, dia pasti terlalu sibuk untuk sekedar membalas pesanku. Aku sempat menelepon managernya beberapa kali, namun seperti yang sudah-sudah. Tidak bakal ada jawaban. Aku melanjutkan makanku dengan kecewa dan pulang dengan angkutan umum.

Flat milik Orangtuaku selalu kosong. Ibu dan ayahku lebih sering tinggal di Apotek keluarga kami. Aku menghempaskan tubuhku ke tempat tidurku yang dipenuhi klipingan berita dan foto-foto Arga. Aku melihatnya satu per satu dan membaca semua berita itu, seperti menghafalnya. Aku tidak segera mengganti bajuku. Kubiarkan baju seragamku kusut di lantai kamarku yang juga dipenuhi album-album Arga, beberapa DVD Film layar lebarnya dan rekaman sinetron strippingnya. Aku mengecup posternya kuat-kuat. Wajahnya masih tersenyum gembira.

Dering ponsel yang nyaring telah membangunkan aku. Ternyata aku ketiduran. Sekelilingku tampak gelap dan nyamuk-nyamuk berpesta meminum darahku. Hari telah malam, orangtuaku belum pulang dan aku juga lupa menyalakan lampu. Nama Vitho berkedip-kedip di layar handphoneku. “Lihat tivi sekarang Moy!!” perintahnya tanpa tedeng aling-aling.

“Kenapa? Konser Arga tayang besok, pukul 9 pagi kok.” aku mematikan selulerku dengan malas. Kesadaranku belum terkumpul seutuhnya. Vitho menelponku lagi. Dia memang bawel. Aku mematikan selulerku, membereskan flatku, dan mandi.

Aku baru saja selesai mandi ketika kudengar bel rumahku dipencet terus-terusan. Pintu diketuk dengan irama yang kacau. Pasti Vitho si Tomat, pikirku. Benar saja, Vitho datang dengan wajah pias. Keringat meleleh di kening dan kerah bajunya. Dia memang selalu terlihat sibuk sendiri. “Kamu udah lihat tivi?” sambarnya begitu aku membuka TV.

“Belum. Kenapa sih?” sahutku yang keheranan dengan tingkahnya.

“Bodoh!” katanya sambil berlari ke ruang keluarga. Dia menyambar remote control dan menggonta-ganti saluran dengan cepat. Aku tidak mengerti dengannya dan merebut remote di tangannya dengan kesal.

“Kamu cari apa sih? Heboh amat sih Tomat. Aku lapar belum makan nih,” aku mengomelinya. Dia tidak peduli. Mata dan tangannya tetap fokus ke layar televisi flatku.

“Nah, ini dia. Lihat sini cepat Moy!” teriaknya saat aku ingin mengambil makanan ke dapur. Saat siaran berita itu terdengar di ruang Tv, seolah ada aliran listrik mengalir di seluruh tubuhku. Wajahku terasa kaku dan jemariku mendingin. Jantungku berdegup tiga kali lebih cepat dari biasanya hingga badanku bergetar. Berita yang barusan kulihat adalah kabar terburuk yang paling tragis buatku. "Oh ternyata begini. Pantas saja puluhan pesan dan teleponku tidak diangkat," bisikku lirih. Tapi anehnya, aku tidak bisa menangis.

“Apa yang bisa kulakukan buatmu, Moy?” Vitho memandangku cemas. Aku tidak berbuat apa-apa. Tetap mematung dan melihat dengan rinci berita di televisi.

“Bukan. Itu pasti rekayasa. Itu bukan Arga," teriakku histeris. Siaran berita live itu masih berlangsung.

“Ayolah Moy. Kita susul Arga ke sana, sekarang. Aku sudah siapkan tiket kereta api untuk kita. Hanya itu yang bisa kulakukan, Moy.” Vitho menenangkanku sambil menyingkirkan rambut yang menutupi sebagian wajahku. Aku memeluk Vitho dan akhirnya kami menangis bersama. Vitho menyuruhku cepat berkemas sambil menelpon Orangtuaku. Mereka berbicara panjang lebar dan tawar menawar.  Aku tidak ingat berapa lama aku terus menangis. Suasana di stasiun begitu sibuk dan padat, sebab ini akhir pekan. Kami duduk berdampingan dan tidak bicara apapun hingga tiga jam kemudian kereta tiba di stasiun terakhir. Vitho memanggil taksi dan kami harus naik taksi lebih dari 30 menit untuk menuju tempat yang kami maksud.

Saat kami tiba di kantor polisi itu, semua media masih tampak menyiarkan siaran langsung. Vitho masuk ke dalam dan menelpon kenalan Papanya disana. Om Hans, sahabat Papa Vitho, yang juga salah satu anggota kepolisian disana, memperbolehkan kami bertemu dengan Arga di ruang isolasi.  Ruangan itu jauh di dalam dan dijaga ketat. Aku masuk sendirian ke ruangan itu perlahan. Kakiku serasa membatu dan lidahku kelu.

“Arga,” panggilku hampir tanpa suara. Seorang pemuda tampan yang sedang menanjak karier dan popularitasnya meringkuk di ruangan pengap berlantai lembab ini. Dia menoleh dan kemudian menjauh.

“Jangan dekati aku lagi, Moy! Pergilah. Aku tak mau mereka melibatkanmu lebih jauh lagi. Pergilah dan jangan katakan apa-apa pada media!” usir Arga.

“Tidak! Aku harus tahu yang sebenarnya Arga. Apa benar kamu yang menghamili gadis itu?” Keberanianku bangkit dan tiba-tiba aku ingin bertanya lancang. “Aku mau kamu jujur, Arga. Komohon,” kataku terisak. Dia mencoba mendekati aku namun jeruji mengurungnya.

“Maafkan aku, Moy.” jawabnya sambil tertunduk. Vitho dan beberapa anggota polisi menarikku paksa untuk keluar. Aku meronta dan masih menangis. Kulihat diluar, seorang gadis dengan gaun seksinya yang mencolok, bersama empat bodyguardnya menerobos kerumunan wartawan dan berjalan menuju ruang isolasi. Wajahnya yang kurus terlihat pasi dan gugup. Itu Naya, bathinku. Dia berjalan lurus-lurus dengan angkuhnya, seolah tidak ada siapapun di sana selain dia dan keempat bodyguardnya. Ketika tiba di depan ruang isolasi, tanpa sadar tatapan kami saling berbenturan. Dia menatapku tajam dan aku melengos geram. Hanya tiga detik, dia segera mendapat izin untuk masuk ke dalam.

“Arga,” panggilnya. Arga tidak menjawab dan pintu terbuka lebar. Kulihat Naya sama paniknya denganku, bedanya dia terlihat lebih cantik dengan mata yang sembab. Dia masuk ke dalam dan kudengar dia meraung-raung lebih hebat daripada aku. Aku melihat Naya memeluk dan menciumi Arga dari jeruji. Aku menarik lengan Vitho dan kami pulang ke rumahku malam itu juga.

“Seharusnya kita tidak usah datang,” ucapku geram. Belum bisa kulupakan penuturan gadis-gadis lain yang dikabarkan juga pernah menjadi 'korban' Arga. Aku sama sekali tidak menyangka jika Arga, lelaki pujaanku bisa melakukan hal paling keji itu. Sekejap, rasa cintaku berubah jadi benci. Ya, aku benar-benar membenci perangainya sekarang, tapi di sisi yang lain, hatiku berontak dan terobek-robek. Aku sedih, orang-orang menjudgenya sebagai penjahat. Aku tidak bisa melihat Arga dipermalukan dan dipenjara karena fansnya yang keterlaluan dan murahan, tapi aku sudah berjanji untuk  menutup hatiku untuknya. Aku harus melupakan Arga, walaupun tidak ada yang tahu ataupun mau tahu bahwa aku pernah menjadi kekasihnya.

***

“Hey, lagi nulis apa Moy?” tanya Vitho. Amoy yang sedang duduk di taman sekolah menyembunyikan diarynya ke dalam kantung tasnya yang terbuka.

“Enggak. Lagi pengen buat puisi aja.” jawabnya pendek.

“Yang bener? Mana? Boleh aku lihat?” Vitho, remaja pemimpin team Basket itu meletakkan bolanya dan duduk disamping Amoy.

“Jangan! Nanti kalau udah siap baru aku kasih sama kamu,” kilahnya.

“Buat aku ya Moy?” tanya Vitho sambil tertawa. Sebungkus ice Cream rasa Blueberry disodorkannya pada Amoy. Mereka bercerita-cerita kecil sambil sesekali mengunyah biscuit.

Andrew, ketua OSIS yang tiba-tiba melintas berteriak. “Woy, di sekolah jangan pacaran aja!” serunya seraya tertawa lebar. Menoyor kepala Vitho dan Amoy, lalu pergi setelah rambut keduanya acak-acakan. Wajah Amoy dan Vitho spontan memerah. Mata gadis itu melotot tajam pada Vitho tanpa menggubris ledekan Andrew.

“Kamu kasih tahu sama siapa aja, soal hubungan kita, hah?” tanyanya garang.

“Loh, emangnya mesti dirahasiakan juga?” tanya Vitho sambil mencubit pipi Amoy.


www.kinamariz.com
Hold My Hand -Image Source by Google.com-
Medan, KSI 2011
(Ditulis oleh : Sakinah Annisa Mariz)

No comments

Mohon tidak meninggalkan link hidup di kolom komentar. Terima kasih.

Literasi Digital