Cerpen : Pak Solikin Guru Honor

www.kinamariz.com
Guru Honorer -Image Source : by Google.com-
#SakinahMenulis-Murid-murid berhamburan keluar kelas. Suara benturan dahsyat di tembok belakang sekolah membuyarkan konsentrasi belajar mereka. Seorang guru piket sibuk menyuruh mereka tetap duduk di kelas masing-masing dengan rotan kuning di tangan sebelah kirinya. Rasa penasaran mereka terjawab saat mereka melihat seekor kambing bandot tua menggelepar dari tembok sekolah. Tubuhnya berlumuran darah dan kambing itu merintih-rintih seperti akan mati. Vespa abu-abu Pak Guru muncul dari halaman belakang. Kap depan penyok dan lampu vespa itu remuk. Setangnya terlihat baling saat roda depannya bergoyang-goyang hampir copot.

Guru piket dengan rotan kuning di tangannya, buru-buru menghampiri pak guru dan menolongnya membawa vespa yang rontok untuk diseret ke pinggir. Kambing bandot tua itu terus saja merintih-rintih. Semua siswa dapat melihat kejadian itu dengan jelas, namun mereka tidak berani angkat bicara. Guru di kelas memerintahkan mereka untuk bungkam dan mengerjakan tugas mereka kembali.
***
“Aku menabraknya Mak, kambing bandot kesayangan Si Rustam yang tinggal di pinggir sungai itu. Celaka! Dia pasti menuntutku…” Solikin tampak bingung dan cemas. Berulang-ulang dia menceritakan kejadian siang itu pada istrinya yang sedang hamil tua. Istrinya hanya mendengarkan sambil menarik nafas panjang. Vespa, satu-satunya harta paling bermanfaat bagi ekonomi mereka selama ini. Vespa itu yang mengantarkan suaminya untuk berangkat kerja dan mencari penghasilan sampingan dengan mengajar les di luar jam sekolah. Kehidupan mereka sudah sangat sederhana, ditambah lagi kondisi kehamilannya membutuhkan banyak uang. Peristiwa siang tadi semakin membuatnya iba pada suaminya yang cuma bekerja sebagai guru honor. Ingatannya tiba-tiba melayang pada nasib yang akan terjadi pada suaminya kelak, bila tak bisa membayar kambing yang ditabrak.

Berurusan dengan lelaki kekar berkumis lebat itu adalah hal yang paling memuakkan lantaran sifatnya yang bengis dan ketamakannya pada warga sekitar. Perilakunya kasar dan tak mengenal belas kasih, tak jarang permasalahan sepele bisa menguar menjadi masalah besar bila berurusan dengannya. Ucapannya sering kali menyakiti hati orang yang mendengar. Rustam tidak disukai warga, oleh sebab itu dia hidup menyendiri di pinggir sungai. Hidupnya dihabiskan dengan beternak kambing dan berkebun. Kambing-kambing yang terus beranak-pinak itu tidak dijaga, Rustam membiarkannya saja bermain di halaman rumah warga, sekolah atau di jalanan. Kambing-kambing itu bermain sesuka hatinya, seperti tuannya yang juga bertindak sesuka hatinya. Kambing-kambing Rustam sering kali membuat masalah dan Pak Guru Solikin sudah tahu konsekuensi apa yang harus dibayarnya untuk mengganti nyawa kambing bandot itu.

Tok tok tok… pintu rumah diketuk dengan tempo yang cepat dan suara yang keras. Pak Guru dan istrinya saling berpandangan cemas. Istrinya dengan perut hamil, membusung membukakan pintu perlahan. Terlihat sosok yang mereka perbincangkan sedari tadi. Rustam datang bersama kambing-kambingnya, sebilah parang, dan kantong plastik hitam yang membungkus rambut gondrongnya. Wajahnya tetap terlihat garang, seperti biasa. Dengus nafasnya tajam dan tak teratur. Istri pak guru mempersilakannya masuk, namun dia menolak dan memaksa untuk bertemu pak guru.

“Bapak yang tadi siang nabrak kambing saya?” tanyanya tuntas tanpa tedeng aling-aling. Pak Guru yang kurus dengan wajah pucat mengangguk dan menjelaskan kronologis kejadiannya. Biar bagaimanapun, dalam kasus ini tetap saja hewan tidak bisa dipersalahkan meski manusia juga yang jadi korbannya. Mereka saling tawar-menawar dan akhirnya kesepakatan terjadi. Harga kambing bandot itu dua juta dan mesti dibayar dua hari lagi.

Dengan lemas, pak guru menutup pintu rumahnya. Rustam telah pulang. Bunyi suara jangkrik dan tenggeret bersahut-sahutan, petanda langit akan segera gelap. Istrinya tanpa banyak bicara pergi mengambil air wudhu dan bersiap-siap sholat maghrib, sedang pak guru dengan kepala berdenyut, masih merenung di depan jendela. Kemana akan kupinjam uang, sedangkan aku hanya seorang guru honor. Pak Solikin membathin.

Dari bingkai jendela itu, terlihat seonggok besi tua tampak terbujur beku di belakang rumah. Kap depannya penyok dan lampunya remuk. Ban bagian depan telah copot dan mesinnya bungkam, tak berbunyi lagi. Vespa tua, warna abu-abu itu yang selalu menemaninya mengais rezeki dari satu sekolah ke sekolah yang lain. Kini vespa itu telah diam dan tak bergerak lagi. Tubuhnya remuk dan rongsok. Seekor kucing belang tiba-tiba melompat dari atap rumah dan membuyarkan lamunan Pak Guru Solikin. Pidato kepala sekolah untuk hari guru besok, belum sempat dikonsepnya.

www.kinamariz.com
Teacher -Image Source : by Google.com-
Gerimis Subuh, November 2010
(Ditulis oleh : Sakinah Annisa Mariz)

1 comment

  1. Silahkan untuk berkomentar, namun ingat ya link hidup tidak diperkenankan diletak sembarangan di sini. Insya Allah saya siap kok blog walking tanpa harus nempel-nempel backlink. Ok. Thanks

    ReplyDelete

Mohon tidak meninggalkan link hidup di kolom komentar. Terima kasih.

Literasi Digital