Cerita Mudik Pulang Basamo ke Kampung Nenek di Sulit Air Sumatera Barat


#SakinahMenulis-Mudik alias pulang ke kampung halaman sebelum lebaran adalah hal yang menyenangkan. Berkumpul bersama keluarga atau menikmati indahnya pemandangan desa kelahiran Orangtua, menurutku sungguh pengalaman tak terlupakan.

Cerita dimulai sesaat sebelum Ramadhan kami sekeluarga pindah dari rumah di Jalan Bromo, menuju rumah kontrakan di Jalan Tangguk Bongkar (samping Gang Sekolah). Dalam ingatanku yang masih berusia 9 tahun itu, rumah itu amat sangat luas. Kira-kira lebih 3 kali dari luasnya rumah lama kami. Halaman depan ada teras dan sebuah kios, di halaman belakang tumbuh jejeran pohon dan kolam ikan lele. Ada tempat mencuci juga di halaman samping rumah yang kadang-kadang digunakan oleh ART kami. Aku sering ketakutan jika membuka pintu belakang, karena setiap habis maghrib, ada suara seperti orang mencuci kain. Padahal di malam hari tidak ada siapa-siapa di sana. Di sisi kiri yang terhubung dengan rumah, ada ruangan besar yang difungsikan Bapakku sebagai gudang. Di situ ada bertumpuk-tumpuk barang dan rak sepatu. Ada buku-buku lama yang tidak bisa dibuang, ada segoni plastik asoi dan jemuran yang hanya difungsikan bila hari hujan. Gudang itu juga menakutkan.

Jadi karena semua tampak menakutkan di rumah baruku, aku lebih suka tinggal di rumah Nenekku. Rumah Nenekku dari Bapak seperti pasar malam. Setiap orang datang ke sana, makan-makanan enak dan melakukan apa yang disukainya. Kakekku (Atok) saat itu masih hidup, jadilah teman bermainku selalu. Sedangkan Nenekku, pahlawanku melarikan diri dan bermanja-manja dari suruhan ini-itu di rumahku (karena aku anak Sulung). Tidak hanya aku, semua cucunya juga dikumpulkan di rumah Nenek. Nenek Tas, demikian kami memanggilnya karena Nenekku adalah Tauke produksi/konveksi Tas Wanita. Sepupu-sepupu yang umurnya tak jauh denganku ada Kak Nona, Kak Nurul, dan Kak Dian. Aku makin betah tinggal di sana. Di rumah Nenekku, masih tinggal bersama Om Adil, Om Indra dan Tanteku (Bu Eka), mereka masih gadis dan lajang. Tentu saja keberadaan mereka membuat kami makin 'merdeka' karena selalu ada yang mengajak kami jalan-jalan dan mengurus keperluan kami.

Suatu hari, kami para cucu mendengar rapat keluarga besar di rumah nenek. Orangtua kami sudah menolak untuk mudik karena saat itu para Istri sedang hamil tua. Emakku, dan Ibunya kak Nona sedang hamil besar. Yang bisa ikut menyusul mudik ke kampung hanyalah Ibunya kak Dian. It's OK kata nenekku. Dia dan Atok, dibantu Om-Tante akan mengawal 5 cucu perempuannya ke Kampung Nenekku, nama desanya Sulit Air, Jika buka Wikipedia, Sulit Air adalah sebuah nagari di bawah Kecamatan X Koto Diateh, Kabupaten Solok, provinsi Sumatera Barat. Dengan menggunakan mobil Daihatsu Hijet 1000 milik Nenek, kami pun pulang ke kampung. Rasanya seru dan bahagia sekali, bebas dari kekangan Orangtua serta bisa bermain sepuas-puasnya bersama para sepupu.

Hari yang ditentukan pun tiba, H-4 lebaran, keluarga besar berkumpul lagi. Kali ini para Ortu sudah pasrah, Nenek dan Atok tak mungkin dibantah. Kami pun dilepas dengan koper masing-masing. Sebelum pergi, tak lupa Emakku menasihatiku agar menjaga adikku si Mimi. Jangan nakal dan selalu patuhi nenek. Itu perintahnya selalu. Aku yang mabuk euforia hanya mengangguk cepat dan melesat pergi ke dalam mobil. Bersiap untuk perjalanan 24 jam dari Medan ke Padang jalur darat. Namun bagi anak-anak sepertiku, perjalananan ini seperti berhari-hari. Setiap jalan yang kulalui, kutanya pada Nenekku, apakah itu kampung kita? Bukan, ternyata baru sampai Tebing Tinggi. Lalu aku tertidur dan ternyata kami baru melewati Lima Puluh di Batubara. Mobil melaju lambat dan santai, sementara kami anak-anak sudah capek dan tak sabar ingin mandi di Sungai.


Singkat cerita, setelah sehari sebelumnya singgah di rumah tanteku di Pekanbaru, serta mampir juga bersama rombongan ke Taluk Kuantan, kami tiba di Kampung pada malam takbiran. Kampuang nan jauh di mato pun tampak seperti negeri di bawah. Curam dan licin, itu kesan pertama yang kudapati saat jam 3 pagi mobil terparkir di Halaman Kantor Kapala Nagari (Balai desa) yang butuh beberapa ratus meter lagi melewati jalan menanjak menurun menuju rumah nenekku Di Bawah. Kontur tanahnya naik-turun dan bertangga-tangga. Rumah nenekku jauh di bawah di dekat sungai, meski jalan yang kami sudah masih berlapis aspal sederhana, tapi tetap licin dan basah. Tak heran, bolak-balik aku merapatkan jempol kaki dan ibujari kaki, mengapit Sandal Swallowku kuat-kuat. Takut terjerembab dan jadi rempeyek di bawah sana.

Nenekku rupa-rupanya sangat hafal jalan menuju rumahnya. Dia lebih dulu tiba dari kami tanpa susah payah. Di usianya tak lagi muda, nenekku malah terlihat lincah dan gesit. Sebentar saja sudah dibukanya kunci rumah yang bertahun-tahun tak dihuni itu. Dia menyalakan listriknya, terlihatlah bangunan berlantai dua. Di ambilnya sapu dan di lantainya kami bentangkan tikar. Kami anak-anak yang masih setengah sadar tak tahu apa-apa dan tak bisa membantu. Kami hanya bisa meletakkan barang-barang bawaan kami dan bergelimpangan di atas tikar. Tidur pulas.



Suara deru sungai Katialo yang menderu-deru bercampur Adzan subuh, sayup-sayup terdengar. Aku terbangun, mengucek mata dan melongok dari jendela terkunci bertahun-tahun. Hanya kabut dan gelap yang tampak. Tapi, eh, apa itu. Sebuah cahaya lilin tampak menari-nari dari kejauhan. Tenyata mereka warga dusun yang mau berangkat ke Surau untuk Sholat Subuh. Lucu sekali, pikirku. Di Medan, Emak melarangku bermain-main dengan lilin, meski lilinnya sudah kutempel di batok kelapa. Di sini, semua orang bermain lilin, mulai dari Orangtua hingga anak-anak. Tidak ada yang memarahinya. Menyenangkan sekali, pikirku.

"Kalau sudah bangun, lekas ambil wudhu. Kita Sholat Jamaah," ujar Nenekku yang sudah sedia dengan telekung di kepalanya. Aku menggeliat dan membangunkan adikku, sepupu-sepupuku. Karena jujur, aku sendiri tak berani harus ke kamar mandi di lantai bawah. Aku masih trauma dengan kejadian horor di rumah baruku. Begitu mereka bangun, segera aku meloncati anak tangga dan kabur duluan ke kamar mandi. Maklum, yang pulang kampung rame. Semua keluarga ikut berdiam di rumah, jika tak duluan, aku bisa ketinggalan.

"Jangan lari-lari. Pelan-pelan," teriak nenekku melihat kami 5 cucu perempuannya berlomba lari di tangga. Pagi ini, kami rencananya akan sholat Ied di Lapangan Bola di Koto Tuo. Lumayan jauh, karena itu segala sesuatunya harus dilakukan cepat. Rupanya tangga curam bukan hanya jalan dari Balai Nagari, tangga-tangga batu buatan tangan penduduk setempat itu juga membawa kami ke Batang Aia (Sungai Katialo) yang mengaliri 80 Km2 wilayah Sulit Air. Sungai jernih dengan batu-batu besar datang menyambut Sunrise di pucuk timur langit. Aku merekam keindahan itu dengan kedua mata sebab saat itu belum punya kamera. Jangankan smartphone, tustel merek Kodak punya Tanteku saja tak boleh disentuh, nanti rusak. Begitu katanya. Walaupun kesal, aku iya-iya saja karena memang di tanganku yang penasaran, barang-barang sering pecah dan rusak.


Byur, kakiku kurendamkan ke dinginnya air sungai. Kutarik lagi, kurendam lagi. Begitu terus sampai kurasa tak dingin lagi, baru pelan-pelan kucelupkan seluruh tubuhku disana. Tak sempat berenang-renang seperti yang kukhayalkan, mendadak nenekku memanggil dari atas. "Ekaa, pulang lagi. Kito nak sembahyang," teriak nenekku kepada Tanteku Bu Eka dan 5 kurcaci yang merintil di belakangnya. Kami buru-buru loncat dari sungai dan ikut ke atas. Menanjak lagi, lalu sampai ke rumah. Di rumah pun harus ganti baju dan berdandan setelah naik tangga lagi.

Sudah entah berapa anak tangga kulalui dengan mendaki. Betisku terasa kram saat menaiki mobil dengan mukena dan bedak cemong-cemong (belepotan).

"Hebat ya, mau ke mesjid di situ saja kita harus naik mobil," celotehku pada Nenek yang serius berdzikir di dekat jendela.

"Ya sudah kalau tidak mau naik mobil, Kina jalan kaki aja sendiri ya," ledek Tanteku Bu Eka. Oh tidaaak, membayangkan jalan bertingkat-tingkat seperti undakan itu betisku sudah menjerit macam dicubit.

Allahu akbar, Allahu akbar. Suara Imam Sholat Ied yang khas bernada Saluang (alat musik tradisional khas Minangkabau, seperti seruling yang terbuat dari bambu tipis) merapatkan barisan. Di Lapangan bola Koto Tuo yang luas ini aku berdiri diantara seribu jamaah. Ramai barisan putih-putih seragam berjejer rapi. Mengangkat takbir, memuji Asma Allah. Di sini aku menghela nafas dengan lega dan bahagia.

Ternyata ini rasanya sholat di kampung sendiri. Inilah kampungku, desa kelahiran Nenek buyutku. Aku senang punya kampung, senang mengetahui dimana identitasku ini bermuara.
Source Image by Google : Youtube.com
Di Rumah Nenek
Di Tepi Sungai Katialo
Pantai Air Manis, Situs Malin Kundang Anak Durhaka
Ditulis oleh : Sakinah Annisa Mariz

4 comments

  1. Terima kasih telah mampir dan memberi komentar di blog saya. Blog walking siap meluncur!

    ReplyDelete
  2. Revisi sedikit kak, untuk kantor kapala nagari itu seharus nya wali nagari (balai lamo). Lanjutkan kak👍

    ReplyDelete
    Replies
    1. Oke siap. Sudah diganti, terima kasih masukannya Wendy

      Delete
  3. Onde mande baliak kampuang senangnyooo.. Bilo nih kito pulang basamo lai?

    ReplyDelete

Mohon tidak meninggalkan link hidup di kolom komentar. Terima kasih.

Literasi Digital