Ikut Tantangan Menulis Blogger Perempuan Jadi Momen Terbaik Ramadhan Tahun Ini


#SakinahMenulis-Saya selalu suka menulis. Menulis bagi saya adalah sebuah perjalanan keabadian. Terlalu klise memang, tapi saya meyakini bahwa setiap kata yang tertulis akan menjadi sebuah kenangan. Apakah itu kenangan baik ataupun kenangan buruk, yang pasti saat menulis saya merasa bisa menjadi diri sendiri.

Sejak kecil, saya selalu ditanya kalau besar cita-citanya mau jadi apa? Jawaban saya selalu berubah-ubah. Mula-mula, saya yakin sekali ingin jadi dokter. Namun melihat kondisi ekonomi Orangtua dan adik-adik yang usianya berdekatan dengan saya, saya pikir bercita-cita menjadi dokter itu egois. Tepat di usia 12 tahun, akhirnya saya menyerah bermimpi menjadi Dokter. Cepat sekali menyerah, padahal sejak saya bisa membaca di usia 4 tahun, saya mencari tahu segala hal tentang sekolah kedokteran. Saya bahkan punya satu koper mainan dokter-dokteran, satu jurnal ala-ala ensiklopedia kedokteran, satu tas berisi buku pasien dan resep, botol obat bekas yang berisi biji salak dan buah jali, serta Jubah Dokter dari kemeja Bapak yang sudah robek ketiaknya.

Untuk menuliskan segala kekesalan saya, kemarahan-kemarahan saya, kecintaan saya kepada dunia kedokteran yang saya idam-idamkan, saya menulis buku harian. Buku harian ini terpisah dari siapapun. Dia selalu tersembunyi di dalam tas sekolah dan jarang di buka di rumah. Saat pulang sekolah, menunggu jemputan Bapak, saya menulisinya dan berkhayal kalau saya menjadi dokter anak yang sibuk memeriksa pasien. Saya merasa gembira telah berperan menjadi dokter, menjadi pasien, menjadi ibu pasien, menjadi perawat, begitulah. Dalam tulisan itu, saya bisa menjadi siapa saja.

Lalu ketika masuk ke tingkat SMP, saya sangat terinspirasi dari Guru Bahasa Arab bernama Pak Syamsuddin Penarik. Beliau seorang Ustadz dan dulunya Guru dari Orangtua saya, bayangkan usianya sudah melebihi usia pensiun. Saya sendiri sudah seperti Cucunya. Pak Ustadz ini terkenal killer, karena menurutnya belajar bahasa Arab harus serius, sementara bagi saya yang dulu les mengajinya hanya dari Guru Privat, tentu kurikulumnya beda dengan yang sekolah Arab. Sudah pasti yang bahasa Arabnya selevel saya, akan sangat kepayahan mengikuti pelajaran yang diberikan di SMP. Namun Pak Ustadz adalah Guru Bijaksana. Sebelum masuk ke proses pembelajaran, beliau bertanya terlebih dahulu siapakah yang pernah belajar bahasa Arab. Semua anak di kelas saya tunjuk tangan, kecuali saya. Saya memang tak pernah belajar secara khusus, Orangtua saya tak memasukkan saya Sekolah Arab karena lokasi sekolahnya jauh. Tidak ada yang bisa mengantar saya kesana. Jadilah saya dan adik-adik les mengaji dan memanggil guru privat. Materi kajian seputar baca tulis Alqur'an, tanya jawab hukum agama, bacaan Sholat, Shalawat, dll.

Lalu kemudian pak Ustadz memanggil saya ke depan kelas dan berkata "Tidak apa-apa, nak. Bapak bangga kamu berani mengakui kelemahanmu. Yang penting, kamu serius mau belajarnya. Kalau tidak tahu, bertanya. Kalau sudah tahu, ajari teman yang tidak tahu. Jadi ilmumu bermanfaat," ujarnya. Saya senang sekali, ada Guru yang peduli dan memotivasi muridnya seperti itu. Motivasi darinya terbukti, sejak SMP, saya disebut Juara 1 abadi. Setiap bagi rapor 3 bulan sekali, saya selalu menduduki Juara 1. Kemudian di Kelas 8 juga juara 1 selalu. Di kelas 9, pernah sekali saya ditulis Rangking 2 ternyata setelah saya hitung, Guru salah menjumlah nilai rapor. Jadilah saat dihitung benar-benar, saya tetap Juara 1. Di sekolah saya, ada seleksi Juara Umum. Yaitu nilai dari para Juara 1 tertinggi dari 6 kelas, mendapat beasiswa Free Uang Sekolah selama 6 bulan (1 Semester). Selama SMP, saya pernah 2 kali mendapatkan Free itu sehingga Orangtua yang bekerja di luar kota (kami hidup terpisah) tak perlu membayar lagi.

Dengan segala motivasi itu, saya malah ingin menjadi guru. Guru bagi saya adalah sosok penyelamat anak bangsa. Saya ingin menjadi Guru yang bisa menginspirasi siswa-siswa saya seperti Pak Ustadz. Sejenak, cita-cita itu pernah terkabul. Saya kuliah di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Negeri Medan. Masih dengan bermodalkan Beasiswa dari Kampus yang cair setiap tahunnya, Orangtua saya juga tak pernah membayar biaya apapun. Sekali lagi, saya menyesali dan berangan-angan mengapa dulu tidak menjadi Dokter saja. Siapa tahu jika mencoba dan berusaha keras, saya bisa mendapat beasiswa sekolah kedokteran? Tapi akh, sudahlah. Nasib membawa perjalanan hidup saya kemana-mana. Sempat menjadi Guru SD, Admin Sekolah, Guru SMK, Guru MTs, Guru SMA, Pegawai Bank, lalu jadi Admin di Perusahaan Manufaktur. Menikah, lalu balik lagi jadi Guru SD, Guru SMP, kemudian resign dan fokus sebagai blogger-influencer. Semua perjalanan bekerja itu saya tuliskan di berpuluh buku harian.

Hari berganti tahun, kini saya menyadari bahwa sejak awal passion saya adalah menulis. Saya tak pernah benar-benar serius melakukan apapun kecuali saya sedang menulis. Bagi saya menulis adalah hal penting karena suatu hari nanti bakal ada yang membaca tulisan saya. Ketika saya memutuskan menjadi seorang blogger, saya kemudian berusaha mencari teman-teman yang punya 1 passion dengan saya. Ketemulah saya dengan Blogger Perempuan. Saya buka website dan saya lihat para perempuan hebat mengekspresikan dirinya. Saya yakin, komunitas ini akan sangat membantu saya mengembangkan diri.

Terbaik dari segala cerita yang berbusa-busa, (maaf kalau ceritanya panjang ngalor-ngidul) adalah keputusan saya ikut dalam tantangan 30 Hari Menulis selama Ramadhan dari Blogger Perempuan ini. Tantangan ini telah membuka kembali kenangan panjang yang sempat hilang dalam diri saya. Bahwa menulis adalah terapi penyembuh jiwa. Menulis adalah luapan hati dan perasaan terdalam. Di dalam kata ada rasa dan logika yang berkejaran. Degup ini yang saya suka debarannya. Menjadi pemenang atau berhenti di tengah peperangan. Terima kasih Blogger Perempuan. Ramadhan tahun ini jadi sangat berkesan karena saya telah menemukan diri yang sebenarnya.

Ditulis oleh : Sakinah Annisa Mariz

2 comments

  1. Terima kasih sudah mampir dan memberi komentar di blog saya. Blog walking siap meluncur!

    ReplyDelete
  2. Menulis itu terapi jiwa ya Kina, karena kita bisa menjadi apa saja saat menulis. Salam menulis menyenangkan.

    ReplyDelete

Mohon tidak meninggalkan link hidup di kolom komentar. Terima kasih.

Literasi Digital