Hujan Datang dan Menulis Kepergianmu, Jejak yang Paling Ingin Kusembunyikan

 

#SakinahMenulis-Tak ada yang lebih nyalang dari kabar duka. Obituary adalah kabar yang paling aku hindari. Merasa sesak dan pedih di waktu yang sengsara, aku sangat benci harus melaluinya lagi. Kehilangan orang yang paling aku cintai setelah orangtuaku, kehilangan sebelah sayapku, kehilanganmu adalah hal terberat yang harus kuhadapi sendiri. Ya, sendiri. Bagai kembali ke setelan pabrik, dimana hidup kita bermula dari sendiri dan berakhir sendiri. Pada akhirnya, takdir yang kita lalui memanglah berjalan sendiri-sendiri.
 
Aku masih ingat bagaimana pertama kalinya mengenalmu pada sebuah nama, Tri Yuwono. Tertulis jelas sebagai nama Redaktur yang menerima tulisan untuk anak remaja sepertiku. Waktu itu aku masih kelas 3 Madrasah Aliyah (setara SMA). Rasa penasaran, lebih ke "kemaruk" menulis dan mengirimkannya ke media agar tulisanku dimuat. Aku membayangkan betapa bahagianya Bapakku melihat karya anaknya muncul di koran yang dibacanya. Bapakku dalam kesehariannya, kerap mengejekku saat di rumah. Sambil bercanda, dia berkata, puisiku "entah hapa-hapa" isinya. Dia pun membandingkan puisiku yang masih berima dan bersajak ab ab, dengan syair WS Rendra. Tentu puisiku kalah telak. Namun ejekan almarhum Bapakku di rumah, selalu berbanding terbalik saat dia keluar rumah. Dihadapan teman-temannya, dia selalu membanggakanku.
 
Hal yang paling membuatku malu, dia bahkan membawa kesana kemari koran atau majalah yang menerbitkan tulisanku. Kedai Kopi langganannya bahkan disuruhnya membeli koran yang sering menerbitkan tulisanku. Lalu di sana, dia menceritakan betapa gigihnya aku menulis. Betapa dia bahagia jika aku menerima honor, walaupun dia tak pernah kubelikan apa-apa. Menceritakan bagaimana aku berusaha mencari recehan dari keringat sendiri saja, hidungnya sudah kembang kempis. Bapakku, di luar rumah adalah Si Paling Flexing soal aku dan tulisanku. Sampai-sampai jika aku pulang sekolah dan berjalan menyusuri Gang memotong jalan ke rumah, Bapak-bapak lain akan menegurku dan bilang, "Bagus ya tulisannya. Kemarin kami baca korannya, dibawa Bapakmu,". Aih, saat itu yang terpikir olehku adalah mencubit punggung Bapakku yang suka pamer tentang anaknya. Aku tersenyum, beginilah caranya berbahagia dengan kehidupan kami yang sederhana.
 
Kembali lagi dengan nama itu, Tri Yuwono adalah nama yang membuatku berdebar. Kala itu, aku masih berusia 17 tahun dan prioritasku adalah membuktikan aku bisa menulis. Nama itu, namamu, aku bahkan tak tahu kau orang yang seperti apa. Internet terlalu malas untuk mencari bagaimana rupa-sosokmu. Aku hanya mengenal namamu di Koran Harian Global, yang memberikan ruang bagi penulis muda sepertiku untuk berkarya. Koran yang memuat rubrik Remaja ini terbit setiap hari Sabtu. Karenanya, di hari Sabtu aku akan berhemat jajan dan merogoh Rp. 2500,- (seingatku segini harganya) untuk bisa bertemu denganmu.
 
Jika aku kehabisan, seringnya koran ini dibelikan Bapakku sembari dia pulang berjualan di Pasar. Dia akan menyembunyikan koran ini dalam tas jualannya dan menunggu sampai aku merengek-rengek minta diboncengkan membeli koran. Lalu saat aku sudah tampak sebal, dia akan mengeluarkan koran yang sudah setengah hari terbungkus dalam tas terpal berisi seprai, gorden, selimut, dagangan Bapakku. Koran itu pun diselipkannya ke tanganku sambil berkata, "Nah, ini Tri Yuwono" katanya meledekku. Entah itu sekedar bercanda atau doa, aku sendiri tak tahu bagaimana kata-kata Bapakku yang sudah meninggal dunia jauh sebelum kita bertemu, bisa menjadi takdir hidupku.
 

Bertahun-tahun setelahnya aku menamatkan sekolah, kuliah, lalu bekerja. Aku sudah hampir lupa dengan namamu, kalau kau tidak mendadak membalas pesan yang kukirimkan saat aku kelas 3 Aliyah dulu. Kau dengan santainya membalas pesanku 6 tahun yang lalu dengan mengetik "Alhamdulillah kabarnya sehat. Bagaimana sekolahnya?" Aku yang saat itu sudah bekerja di sebuah Bank Swasta di luar kota, terkaget-kaget dan entah mengapa tergelitik untuk mengenal siapa dirimu lebih dalam. Tak kusangka, di umur 23 tahun aku berjumpa lagi denganmu yang berusia 30 tahun. Selisih 7 tahun yang aman untuk kita menjalin cinta, dibanding saat aku masih usia SMA dulu. Serasa sudah mengenalmu sekian lama, awal kita berjumpa tak banyak bicara. Aku tanpa malu-malu langsung bertanya apakah kau masih lajang atau sudah berkeluarga. Kau pun menjawabnya dengan datang sendiri ke rumahku, menemui langsung Emak dan adik-adikku, lalu berjanji menikahiku.
 
Maret 2015, pelaminan mendudukkan kita dalam hati bahagia. Meski Bapakku tak bisa menyaksikan bagaimana rupa Tri Yuwono saat ijab kabul mengambil anak gadisnya, aku percaya Bapakku pun tersenyum dari alam berbeda. Ternyata setelah menikah, baru kutahu siapa dirimu. Sosok yang di luar terlihat perfeksionis dan tegas, saat bersamaku kau lebih hangat dan harum dari secangkir Teh. Kau menjadi sahabatku, guru menulisku, lelakiku yang romantis dan mengayomi, bahkan kadang seperti bayi besarku yang manja. Tahun demi tahun pernikahan berlalu, kita masih sibuk menabung dan berpacaran saja. Mulailah banyak pertanyaan dari keluarga, "Kapan nih ada momongan? Kok lama sekali punya anaknya? Jangan kejar dunia aja, usaha lah buat dapat keturunan, dan bla-bla".. banyak sekali pertanyaan dan cibiran yang membuatku sering menangis saat menceritakannya kepadamu.
 
5 tahun tanpa anak itu membuat hubungan kita semakin erat. Kau lelaki yang hebat, yang selalu mendukungku apapun keadaanku. Tak pernah sekalipun kau menyalahkanku, kau bahkan selalu mengatakan bahwa dengan atau tanpa anak, hidup kita juga sudah bahagia. Meski aku tahu, diam-diam kau juga tak putus berdoa agar kita segera memiliki keturunan. 
 
Tahun 2021, aku berusia 30 tahun. Saat itu kita sudah selesai membahas soal punya anak. Kita sudah berdamai dengan itu setelah bertahun-tahun menghabiskan waktu kesana kemari berobat ke dokter bahkan ke Nenek-nenek tukang urut. Kita sudah berjanji tak mengungkitnya lagi dan mulai fokus menata hidup ke depan. Ternyata Allah SWT berencana lain. Saat kita berdua berangkat ke Kota Batam untuk menyambangi Kakakmu yang baru saja kehilangan suami, di tengah kabar duka yang menghantam itu ada percik kebahagiaan yang tumbuh. Di saat pikiranmu sedang kalut karena kakakmu harus menghidupi dua anaknya sendirian, aku mendadak hamil. Sungguh saat itu, aku bersyukur sekali, hadirnya anak ini bisa meringankan beban hatimu yang pelik.
 

Tahun yang bahagia pun dimulai. Kehamilanku ini menularkan banyak rasa cinta. Emakku gembira, keluarga dan adik-adikku juga. Mereka malah sibuk membuat nama untuk anakku, walaupun akhirnya suamiku ngeyel untuk memberikan nama buatannya sendiri. Aku tak boleh ikut campur membuat namanya. Baiklah, aku mengalah karena nama ini sudah lama diidam-idamkannya. Di awal tahun 2022, lahirlah anak pertama kami. Seorang anak laki-laki yang Masya Allah lama sekali ditunggu-tunggu kehadirannya. Suamiku pun menamainya dengan "Unosa Nadiba Zyandru". Artinya kurang lebih anak laki-laki yang rajin belajar & berdoa. Diselipkannya pula nama "Nadiba" yang merupakan singkatan dari Nampak Di Batam, dan akhirnya kami memanggil nama anakku dengan sebutan Adib.
 
Adib, seperti namanya yang lucu. Dia tumbuh dalam limpahan kasih sayang sejak dia masih berupa titik kecil dalam perutku. Ketika Adib menangis dari ruang operasi, suamiku di luar ikut menangis tersedu-sedu. Dia dengan bangga menyebut dirinya Ebes, sebutan khas orang Malang yang berarti Bapak/Ayah. Adib beruntung, memiliki Ebes yang sangat mencintainya, meski tak bisa lama berjumpa. Diasuh dengan penuh perhatian, membuat anakku Adib sangat dekat dengan Ebesnya. Jangankan ditinggal sehari, jika Ebes pulangnya agak malam saja anakku bisa rewel dan tak mau tidur. Ketika didengarnya suara kereta (baca: Sepeda Motor) Ebes memasuki teras rumah, maka anakku yang saat itu baru pandai duduk dan merayap, segera menggeliat minta keluar.
 
Berjumpa dengan Ebesnya sepulang bekerja adalah pacaran Bapak-Anak yang aku jadi penonton. Kemesraan Ebes dan Adib sungguh lengket bak Lepat dan Daun Pisang. Kalau mereka sudah ketemu berdua, maka aku mengambil kesempatan emas itu untuk beberes rumah, memasak cepat, mandi sepuasnya, bahkan makan santai sambil menonton Drakor. Diam-diam, aku juga sangat menikmati waktuku jika Ebes dan Adib asyik berdua. 
 
Waktu yang berlalu tak dapat dimundurkan, dia melaju seperti kereta besi yang tak bisa berhenti. Pada satu titik, suamiku merasa kesehatannya menurun karena bekerja terlalu lelah. Saat itu sedang ada proyek dari kantor yang membuatnya harus pulang sampai dini hari. Dia tiba-tiba tepar dan harus diinfus. Karena khawatir tidak ada yang menjaganya di Rumah Sakit, maka Ebes diinfus di rumah. Aku tak pernah berpikir kalau sakit ini adalah gejala awal perpisahan kami. Aku saat itu baru saja keguguran anak kedua kami, kondisi fisik dan mentalku masih porak-poranda, tapi aku berusaha tetap kuat mengurus Adib dan suamiku yang sakit. Setelah beberapa hari, suamiku merasa mulai baikan. Dia pun memaksakan diri untuk masuk bekerja, meski aku awalnya menentang karena khawatir dia masih pucat dan lemas, tapi suamiku orang yang sangat bertanggung jawab. Dia tidak mau menyusahkan orang lain dan Bosnya di kantor. Jadi meski belum sehat betul, dia tetap memaksakan diri untuk pergi. Pagi dimana dia akan berangkat bekerja itu sangat berbeda. Awalnya kami sempat bertengkar karena aku ingin dia tetap di rumah. Aku tak tega melihatnya pergi bekerja dengan wajah sepucat itu. Dia tampak seperti harus pergi, dengan senyum dipaksakan, dia memanggil anakku Adib untuk dibonceng keliling komplek. Hal yang paling dinantikannya adalah membonceng anakku duduk di sepeda motornya. Anakku masih sangat bayi, dia baru berumur 9 bulan. Tentu saja susah dan beresiko sekali jika Ebesnya membonceng Adib sendirian. Apalagi kondisi Ebes masih lemas, sudah pasti aku tak mengizinkannya.
 
Pagi itu, Ebes pun berangkat bekerja. Siang ke sore, anakku rewel terus. Tak enak makan, tak enak tidur. Aku yang menunggu Ebes pulang, juga ikut merasa cemas dan berdebar-debar. Sepanjang hari aku mencoba tetap berkomunikasi dengan suamiku. Alhamdulillah lancar, berarti dia baik-baik saja, pikirku. Saat waktu hampir maghrib, aku mulai cemas lagi. "Kok belum pulang juga," batinku. Tiba-tiba, di tengah kecemasanku, aku dapat telepon dari kantornya kalau suamiku saat ini di rumah sakit, dia sempat pingsan di perjalanan pulang. Alangkah bergetarnya jantungku mendengar kabar ini. Pantas saja saat ku telepon hpnya tidak aktif. Tanpa bisa menangis, karena harus bergerak sat set, aku segera menitipkan anakku ke rumah Emakku,. Kubawa pakaian seadanya dan buru-buru aku naik Ojek Online menyusul ke rumah sakit.
 
Sesampainya di sana, sudah adzan isya, aku tak melihat apapun selain suamiku yang terduduk lemah di Lobby. Masih antri masuk ke ruang IGD, jawabnya. Aku kesal sekali dengan penanganan rumah sakit yang katanya besar dan elit itu. Aku memeluknya, keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya. Dia sempat muntah dan setelah masuk infus, dia tertidur. Malam dimana aku menjaganya sendiri cukup berat. Aku tak bisa memicingkan mataku karena beban yang berputar-putar di kepalaku sedemikian hebat. Aku tak mau membayangkan hal buruk, aku terus berdzikir dan berdoa agar ini segera berlalu.
 
Keesokan harinya, Alhamdulillah, suamiku berangsur membaik. Dia sudah ceria dan bisa mengobrol. Usai berjumpa dokter, aku merasa lebih lega. Aku berharap suamiku bisa cepat pulang dan bertemu Adib, kalau pun harus berjumpa dokter bisa sambil rawat jalan. Hari berganti lagi, kami bersiap untuk pulang. Pakaian sudah kukemasi dan suamiku juga tampak baikan. Sembari menunggu dokter, suamiku minta Video Call dengan Adib. Tapi anehnya, suamiku malah minta maaf dengan anakku. Dia menangis terisak dan berkata supaya Adib baik-baik di rumah. Aku pun menenangkan suamiku dan berkata sebentar lagi kita pulang, sudah jangan sedih-sedih. Suamiku pun mencoba tidur, tapi baru sebentar dia akan rebahan, tiba-tiba dia mengeluh sesak. Aku memanggil perawat dan perawat datang memasang selang oksigen. Aku berdiri disamping suamiku sambil menenangkannya. Perawat baru saja akan keluar pintu kamar, tiba-tiba suamiku memegang tanganku dan berkata, "Yang, kok gelap pandangan mas ya," katanya. Aku sontak merengkuh wajahnya dan melihat lebih dekat. Saat itu kusaksikan bagaimana dia menarik nafas panjang dan tercekat. Aku berteriak histeris, ya Rabb ada apa ini? Oh tidak. Jangan itu. Bukan itu. Otak dan hatiku terus menolak kenyataan yang aku sudah tahu dengan pasti apa nama situasi ini. Aku tegak menyaksikan bagaimana tim dokter dan perawat berdatangan ke kamar dan melakukan Resusitasi atau pijat CPR kepada suamiku. Mereka bahkan melakukannya berulang-ulang bergantian untuk menjemput detak jantungnya kembali.
 
Aku menggigil, aku tak bisa melihat apapun tapi mataku terbuka lebar. Aku tak tahu harus berbuat apa. Saat itu ada keponakanku di ruangan, aku menyuruhnya menelpon semua keluarga. Aku menyuruhnya memanggil siapa saja, tanpa aku tahu untuk apa. Pada akhirnya aku sendirian yang berada dalam Ambulance bersama Keranda Suamiku. Hari itu, kami memang "pulang" ke rumah seperti rencana. Duduk di dalam mobil jenazah di hari panas, aku bahkan lupa membuka kaca jendelanya. Di sisiku, ada suamiku yang terbujur kaku. Perawat mengikat dagunya dan melipatkan tangannya. Aku memegang lengannya yang mendingin dan anehnya airmataku tak bisa mengalir deras. Hanya setetes-setetes. Aku sangat rasional saat itu, siang yang terik itu saat perjalanan pulang, aku masih bisa mengetik berita duka dan mengirimnya pada sanak keluarga, bahkan sosial media.
 
Ketika mobil tiba di rumah, aku melihat keluargaku sudah mempersiapkan semua. Tenda sudah dipasang, bahkan tikar dan tilam untuk jasad suamiku berbaring sudah dibentangkan. Tetangga sudah berkumpul dan sebagian duduk di ruang tamu. Aku masih kuat saat mataku menyapu semua orang, namun ketika keranda diturunkan dari mobil dan anakku Adib, yang sedang digendong neneknya datang menghampiri dan berusaha turun ke pelukan Ebesnya, aku mulai rubuh. Anakku yang bayi, tak mengerti bahwa Ebesnya tidak sedang main Cilukba. Dia pikir, saat kain putih tipis menutup wajah Ebesnya, kami sedang bercanda. Adib, dengan tangan kecilnya menggapai-gapai kain itu dan menangis minta digendong Ebes. Dia heran, kenapa Ebes diam saja dan tak mengejutkannya seperti biasa. Aku sudah terlalu hancur untuk menenangkan anakku yang menjerit-jerit tantrum. Untunglah ada Emakku dan Uwakku yang bergantian menggendong Adib. Aku bahkan tak ingat, siapa-siapa saja yang sudah menyalamiku. Pikiranku kacau dan aku tak tahu harus berbuat apa.
 
Berita kematian itu sungguh dilematis. Kadang kala kita berpikir untuk menghapusnya dan berhenti memikirkannya dari ingatan. Namun itu mustahil. Kematian dan kehidupan itu sejalan dan pasti akan berjumpa. Seperti pertemuan kami yang tak masuk di akal, perpisahan kami juga sangat acak dan tak tertebak. Aku melihat semua momen bersamamu sebagai perjalanan paling indah dalam babak hidupku menjadi dewasa. Aku bersyukur dan aku bahagia pernah menjalaninya bersamamu. Aku tahu ini menyakitkan dan aku tidak suka mengetahui bahwa kau tidak ada untuk kami ke depannya. Kau telah pergi selama-lamanya dari hidupku dan Adib. Kenyataan yang berat, akan menjadi ringan dengan ikhlas. Tidak mudah, sungguh hingga hari ini aku masih bisa menangisimu dengan tekanan yang sama seperti saat kau baru saja pergi.
 

Sungguh kepergian adalah berita paling menyakitkan untuk ditulis. Kurakit kesakitan ini dalam kata dan berharap waktu menyembuhkan pedihnya. Lukaku tak sendiri, sebab semua orang dalam hidupnya menyimpan lukanya masing-masing. Satu hal yang kuyakini, setiap badai datang pasti kan membawa pelangi. Semoga dan semoga aku dan Adib bisa mengingatmu dalam bahagia. Sama seperti ketika kita baru melahirkan Adib dulu, aku ingin mengingatmu dalam fragmen itu. Kau tersenyum, mengecupku dan berkata "Terima kasih sudah menjadi Istriku..."
 
Ditulis oleh : Sakinah Annisa Mariz

1 comment

  1. Demikianlah kehilangan adalah momen menyakitkan yang bersejarah. Memang sulit untuk menerima kehilangan sebagai bagian dari jalan yang harus kita lalui. Semoga kita bisa bersabar dan merelakan takdir ini dengan lapang.

    ReplyDelete

Mohon tidak meninggalkan link hidup di kolom komentar. Terima kasih.

Literasi Digital