#SakinahMenulis-Bagaimana rasanya tinggal di perbatasan antara dua negara? Pertanyaan ini terus muncul di kepala saya saat mendengar nama Pulau Sebatik yang berada di provinsi Kalimantan Utara. Pulau Sebatik yang dikenal dengan pulau dua negara, dimana pada bagian utara dikuasai oleh negara Malaysia, sementara di bagian selatan dikuasai negara Indonesia. Tentunya pulau ini mempunyai banyak keunikan dan kekayaan lintas budaya, kultur, hingga bahasa, mengingat letak geografisnya yang berada di tapal batas.
Dari pulau inilah, seorang pemuda bernama Suprianto Haseng menggagas Gerakan Sejuta Mimpi Anak Batas (SEJUMI) untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat di perbatasan melalui bidang pendidikan. Gerakan positif ini kemudian mendapat penghargaan dari ASTRA, melalui dukungannya dalam program SATU Indonesia Awards di tahun 2023.
Sekilas tentang Pulau Sebatik
Pulau Sebatik adalah pulau yang berada di daerah perbatasan dua negara yaitu Indonesia dan Malaysia. Dilansir dari Wikipedia, Pulau Sebatik termasuk dalam wilayah administratif Kecamatan Sebatik, yaitu kecamatan paling timur di kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara). Secara geografis, Pulau Sebatik terbelah menjadi dua, di bagian utara seluas 187,23 km² merupakan wilayah Kota Tawau, di negara bagian Sabah, Malaysia, sedangkan bagian selatan dengan luas 246,61 km² masuk ke wilayah Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Utara, Negara Indonesia. Pulau Sebatik terdiri dari 5 Kecamatan dan 19 Desa yang sedang dikembangkan menjadi DOB (Daerah Otonomi Baru).
Penduduk di Pulau Sebatik berkembang dari suku pendatang yang mayoritas dari suku Bugis dan suku Tidung. Disebutkan, sekitar tahun 1967 datanglah orang Bugis bernama Beddhu Rahim yang ingin kembali ke Sulawesi Selatan dari Tawau. Dalam perjalanannya, dia berlabuh di Sungai Melayu, Aji Kuning. Dengan kedatangannya, daerah belantara pelan-pelan diolah dan dibangun hingga seperti kondisi saat ini. Sedangkan asal usul nama Sebatik ini bermula saat kedatangan Tim Ekspedisi Belanda menjelajah pulau tidak berpenghuni dan menemukan ular besar sejenis Sanca di daerah itu. Masyarakat disana menyebut ular besar tersebut dengan nama "Sawa Batik" dan orang Belanda melafalkannya dengan "Sebettik". Seiring waktu nama pulau ini berubah penyebutan hingga menjadi "Sebatik".
Letak geografis Pulau Sebatik ini tentunya mempengaruhi budaya dan sosial masyarakatnya. Dari sisi bahasa, masyarakat di Pulau Sebatik bahkan lebih dominan menggunakan bahasa Melayu dalam percakapan sehari-hari. Hal ini ditulis dalam Jurnal Robert Siburian berjudul, "Pulau Sebatik: Kawasan Perbatasan Indonesia Beraroma Malaysia". Di pulau ini aktivitas perdagangan dan ekonomi masyarakatnya sangat dekat dengan negara Malaysia. Masyarakat di Pulau Sebatik hidup dari hasil bumi perkebunan seperti kelapa sawit, kakao, dan pisang. Sementara hasil sumber daya lautnya juga luas karena berada di daerah perairan yang luas. Adanya aktivitas ekonomi yang melintasi dua negara ini membuat Pulau Sebatik dialiri dua jenis mata uang yaitu Rupiah dan Ringgit.
Mimpi Anak-anak Perbatasan di Pulau Sebatik
Suprianto Haseng, S.A.P., biasa disapa Yanto, adalah Founder dari Komunitas Sejuta Mimpi Anak Batas (SEJUMI) dari Pulau Sebatik. Dia dikenal juga sebagai Direktur Program dan Head of Media Millenial Talk Institute, dan Penyuluh Antikorupsi Tersertifikasi LSP KPK RI. Pengalamannya tinggal di antara dua wilayah, dengan dua bendera negara tentunya menjadi keunikan tersendiri sebagai masyarakat yang hidup di Pulau Sebatik.
Suprianto, dalam wawancaranya di RadioIdola.com mengatakan, kalau dulu akses pendidikan di tempat tinggalnya masih terbilang sulit. Keterbatasan buku-buku untuk bahan bacaan, serta berbagai problematika sosial muncul dan menghambat impian besar anak-anak di Pulau Sebatik. Dengan tekad dan kegelisahannya, pada tahun 2017 saat dirinya masih kuliah di Jakarta, Suprianto Haseng bersama teman-temannya bergerak mendirikan Rumah Baca bernama "Teras Perbatasan".
Dari Rumah Baca Teras Perbatasan itulah Suprianto giat menggerakkan literasi bagi anak-anak di desanya agar gemar membaca, apalagi saat itu tak ada satu pun toko buku di daerahnya. Kehadiran Rumah Baca ini kemudian menggerakkan Suprianto dan teman-temannya untuk membuat komunitas Sejuta Mimpi Anak Batas (SEJUMI). Tujuannya sebagai komunitas relawan peduli sosial dan pendidikan anak-anak di perbatasan, bukan hanya di desanya, tapi juga tersebar ke desa-desa lainnya yang masih sulit mendapat akses bacaan.
Suprianto dan teman-temannya mulai mengumpulkan buku-buku yang bisa menjadi bahan bacaan, dikelompokkan sesuai usia pembacanya, kemudian ada pertemuan-pertemuan dan diskusi yang membuka wawasan anak-anak Pulau Sebatik. Suprianto dan komunitasnya berupaya melahirkan regenerasi anak Pulau Sebatik yang bisa meraih impiannya terlepas dari kondisi ekonomi orang tua yang sulit. Mereka berharap, dari membaca buku dapat membuka lebar cakrawala berpikir anak-anak yang tersembunyi di perbatasan. Sehingga anak-anak perbatasan tidak takut untuk bermimpi setinggi-tingginya.
Inovasi di bidang pendidikan ini tentunya disambut baik oleh ASTRA. Pada tahun 2023, Suprianto Haseng melalui gagasannya berjudul Gerakan Sejuta Mimpi Anak Batas (SEJUMI) mendapat penghargaan dari SATU Indonesia Award. Semangat Astra Terpadu (SATU) Indonesia Awards adalah wujud apresiasi ASTRA untuk generasi muda, baik individu maupun kelompok, yang memiliki kepeloporan dan melakukan perubahan untuk berbagi dengan masyarakat sekitarnya di bidang Kesehatan, Pendidikan, Lingkungan, Kewirausahaan, dan Teknologi. Melalui program ini, ASTRA mendorong para anak muda yang terlibat dalam SATU Indonesia Awards untuk berkolaborasi dengan program unggulan Kampung Berseri Astra (KBA) dan Desa Sejahtera Astra (DSA). Diharapkan, anak muda ini bisa berdampak positif yang lebih besar dan memberikan kontribusi yang berkelanjutan pada usaha-usaha pembangunan di daerahnya.
Referensi :
https://id.wikipedia.org/wiki/Pulau_Sebatik-diakses pada 31 Oktober 2024
Siburian, Robert. (2012). Pulau Sebatik: Kawasan Perbatasan Indonesia Beraroma Malaysia, Jurnal Masyarakat & Budaya, (Volume 14: No.1). Garuda.kemdikbud.go.id -diakses pada 31 Oktober 2024
https://anugerahpewartaastra.satu-indonesia.com/2024-diakses pada 31 Oktober 2024
https://www.radioidola.com/2023/mengenal-komunitas-sejumi-dari-pulau-sebatik-kaltara/-diakses pada 31 Oktober 2024
https://www.instagram.com/suprianto_haseng-diakses pada 31 Oktober 2024
Ditulis oleh : Sakinah Annisa Mariz
Menginspirasi sekali ya cerita tentang perjalanan komunitas literasi dari Pulau Sebetik. Kalau di daerahmu, adakah komunitas yang masih aktif menyuarakan kampanye membaca buku?
ReplyDeleteKk punya saudara yang pernah kerja di Tawaw dan mmg itu kota yang amat sangat dekat dengan malaysia sampai-sampai dia fasih sekali bahasa Inggris dan melayu karena terbiasa masyarakat disana berbahasa itu. ini contoh penggerak yang bagus, memperkenalkan anak-anak dengan buku akan membuka peradaban dan pikiran masyarakatnya. Apalagi skrg sudah canggih, anak2 tetap harus membaca buku
ReplyDeleteBukan main inspirasinya Supriyanto Haseng, jabatannya tinggi tapi low profile ya bu. Baru saya tau kalau ada namanya komunitas Sejumi. Saya pikir di Sebatik itu cuma ada tentara karena di perbatasan biasanya minim masyarakat tinggal. Ternyata skrg sudah rame ya bu. Semoga jd amal jariyah buat teman-teman di Sejumi
ReplyDelete