FBS UNIMED Gelar Seminar Kritik Sastra Indonesia

#SakinahMenulis-Politik Sastra : Antara Pencitraan Kritik dan Sastra
www.kinamariz.com
Saat menjadi moderator di salah satu diskusi di Gedung B FBS UNIMED
(maafkan karena foto saat seminar ini tak terdokumentasi dgn baik)

"Politik sastra memberikan jebakan pembodohan dan menimbulkan sikap keapatisan bagi akademisi sastra,” demikian ungkap Jones Gultom, saat menanggapi materi politik sastra Saut Situmorang, dalam seminar bertajuk Kritik Sastra Indonesia yang diselenggarakan Komunitas Riset Mahasiswa (KORMA), Fakultas Bahasa dan Seni (FBS), Universitas Negeri Medan (UNIMED), pada Rabu 15 Juni 2011 lalu.

Komentar dan pendapat para peserta seminar semakin menghangat ketika Saut Situmorang, Sang Sastrawan Indonesia itu kembali membicarakan historikal sastra Indonesia dan perjalanan kritik dari kritikus-kritikus sastra di Indonesia. Seminar kerjasama antara Komunitas Sastra Indonesia (KSI) dan KORMA -yang diketuai penulis, Sakinah Annisa Mariz- berlangsung hangat di gedung B lantai 3, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Medan.

Materi pertama dibuka dengan realitas politik di Indonesia dan implikasinya terhadap dunia sastra, oleh Saut Situmorang. Sebagai pemerhati, akademisi, dan praktisi sastra, Saut banyak memaparkan fakta-fakta politis terkait perkembangan sastra di Indonesia. Dibentuknya angkatan Balai Pustaka sebagai sarana pemerintah kolonial untuk menyaring karya-karya yang akan diterbitkan, juga bagian dari politik sastra. Kemunculan aliran romantisme seperti karya 'Azab dan Sengsara' oleh Merari Siregar, 'Siti Nurbaya' oleh Marah Rusli, atau 'Layar Terkembang' oleh Sultan Takdir Alisjahbana, dianggap sebagai upaya pengalihan perhatian pemerintah kepada rakyat yang kala itu dalam kondisi terjepit.

"Fakta yang ditunjukkan dalam karya-karya tersebut adalah kehidupan yang sungguh jauh berbeda dengan kehidupan masyarakat Indonesia pada saat itu. Misalnya saja dalam cerita Layar Terkembang, tokoh Tuti, Maria, dan Yusuf, digambarkan mudah saja mengecap pendidikan. Mereka bisa mendapatkan kehidupan mewah dan layak. Problematika cinta dan harapan, serta ide-ide feminisme lebih menonjol, dibandingkan realitas sosial seperti gejolak kemiskinan, kelaparan, ketidakadilan, kesehatan masyarakat yang terabaikan, hingga tindak semena-mena penguasa terhadap rakyat. Realitas itu seolah tidak diizinkan untuk membangkitkan api amarah bangsa Indonesia. Bangsa seolah dibuai dengan cerita-cerita indah dan melupakan kondisi yang sebenarnya," jelas Saut pada peserta.

Kemudian novel-novel yang mengisahkan realitas dengan lebih frontal, sambung Saut, seperti Tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer, dianggap sesat. Novel-novelnya dilenyapkan dengan sengaja. Dipenjarakan penulisnya, hingga ditarik peredarannya di Indonesia. Kondisi inilah yang dimaksudkan Saut, bahwa dunia politik tidak hanya terjadi pada birokrasi pemerintahan saja, namun juga menyentuh ranah sastra.

Disahuti dengan bijak oleh Katrin Bandel, Indonesianis asal Jerman, yang juga merupakan kritikus sastra Indonesia, menampilkan realitas sastra post-modern hari ini. Dalam pembicaraannya, Katrin banyak mengulas tentang politik dalam kritik sastra. Salah satu peristiwa yang paling menonjol adalah penobatan karya-karya Ayu Utami dalam ajang penulis bergengsi di Belanda. Karya-karya Ayu Utami seperti Saman dan Larung sering kali dikaitkan dengan sastra feminis yang menitikberatkan pemberontakannya pada fungsi perempuan dalam struktur social.
www.kinamariz.com
Aku dan Katrin Bandel di UNIMED 2011
Padahal menurut Katrin, ketika sebuah karya terlahir dengan ideology yang akan dibawa, sebaiknya karya tersebut juga harus bisa dikaji oleh kritikus dengan pemahaman ideology yang tepat, sehingga memberikan label baik atau tidak baik itu lebih terasa adil dan bukan penghakiman sepihak. "Penobatan sebuah karya, apakah karya tersebut baik atau tidak baik harusnya dilakukan dengan argumentasi ilmiah dan terarah. Seorang kritikus sastra tidak boleh hanya berasumsi, tapi harus bisa menjelaskan bagaimana dia sampai pada pendapat tersebut. Kalau sebuah tulisan dinilai bermutu, harus dijelaskan dimana kelebihannya, kalau dianggap terobosan baru, harus dijelaskan tepatnya apa terobosan dan dibuktikan bahwa memang ada sesuatu yang baru disitu,dst…” papar Katrin.

Selaku Sastrawan Medan, juga dosen FKIP Sastra Indonesia Yulhasni, dan Sakinah Annisa Mariz Ketua KORMA yang juga mahasiswi Bahasa dan Sastra Indonesia, tak mau ketinggalan angkat bicara. Mengkaji kritik sastra melalui kacamata akademisi juga menuai polemik yang menarik untuk didiskusikan bersama. Yulhasni dengan makalahnya yang berjudul 'Kritik Sastra Indonesia Mutakhir : Apa Ada dan Ada Apa?' memberikan pendapatnya untuk mengembalikan fungsi kritik yang dianggap sudah kehilangan tangan. Menurut Yulhasni, kritik sastra Indonesia mutakhir haruslah dipahami sebagai gejala kebebasan memasuki teks sastra dari berbagai sisi. Artinya tidak ada yang dominan menilai sebuah karya bagus atau tidak, tuturnya.

Menyambung materi tersebut, penulis Sakinah Annisa Mariz dengan topik 'Kritik Akademik dan Non Akademik', memberikan argumentasinya pula. Dalam tataran kritik sastra, sebaiknya kita memilah-milah serta menentukan peranan dan fungsinya terlebih dahulu. Kritik yang disampaikan oleh seorang pembaca ketika dia membaca karya sastra, sebenarnya pun dapat dikatakan sebagai kritik sastra, namun perlu peninjauan ulang, apakah kritik tersebut bernilai akademik atau tidak. Pengklasifikasian ini penting, untuk menghindari kritik-kritik ringan oleh para akademisi yang pada akhirnya tidak membangun era kesusastraan di Indonesia.

"Menilai sebatas baik-buruk, menarik-tidak menarik, justru akan menjerumuskan kualitas kritik di era kesusastraan Indonesia saat ini. Tiga cabang ilmu sastra, yakni : teori, sejarah, dan kritik sastra, itu saling relevan satu sama lain. Oleh sebab itu, ketika salah satu dari cabang ilmu sastra tersebut tidak digunakan atau tidak berkembang dengan semestinya, maka dua lainnya akan berjalan timpang," paparnya.

Sesi tanya jawab semakin menghangat. Diawali tanggapan Jones Goeltom, serta pemaparan sekaligus pertanyaan dari Dra Mursini MPd, selaku ketua Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Tidak ketinggalan, dosen senior pengampu mata kuliah Kritik Sastra Drs H Sigalingging MPd ikut memberikan apresiasi dan penolakannya terhadap beberapa statement Saut Situmorang. Ketelibatan mahasiswa juga mewarnai jalannya diskusi. Fitrah Nur Aidillah, mahasiswi dari Universitas Asahan, serta Evi Andriani, menyampaikan pertanyaan dan kebingungan mereka selama ini dalam melihat klasifikasi mana karya yang sebenarnya sastra atau belum karya sastra.

Dua sesi yang dipandu oleh Juhendri Chaniago, tampaknya belum cukup untuk memberikan ruang apresiasi bagi audiens yang hadir dari berbagai sekolah, instansi, dan universitas seperti guru Bahasa Indonesia dari SMAN 3, Universitas Dharma Agung, Universitas Asahan, UMSU, Universitas Medan Area, dosen-dosen sastra Unimed, UISU, dan beberapa sahabat Pers dari berbagai media.

Seminar yang dibuka oleh Pembantu Dekan II FBS Dr Azhar Umar MPd, setelah didukung sepenuhnya oleh Pembantu Dekan III Dr Daulat Saragi MHum, yang juga mengasuh dan membina KORMA. Kerjasama dadakan antara Ketua Komunitas Sastra Indonesia-Medan, Idris Pasaribu dan Komunitas Riset Mahasiswa FBS, yang diasuh oleh PD III FBS UNIMED Dr Daulat Saragi, menyulut gairah dan minat pecinta dan pemerhati sastra Indonesia.

Meskipun momentum kedatangan Saut Situmorang dan Katrin Bandel dari Jogjakarta, singkat dan tak terduga, namun peluang itu dimanfaatkan dengan baik. Peranan teknologi pun sangat berpengaruh dalam publikasi. Media seperti facebook dan blog, juga Short Message Services (SMS) disebar kepada seluruh jejaring sosial. Hingga akhirnya, panitia juga membuat brosur dengan sangat sederhana, mengingat interval waktu yang terlalu singkat dan sangat mendesak. Bukti nyata dari kreativitas, tidak cukup tertuang dari ucapan, melainkan aksi dalam tindakan.

Semoga dalam langkah selanjutnya, seminar semacam ini bisa menjadi penyemangat bagi sahabat sastra yang menginginkan kaldera stimulus dan gairah baru dalam memahami dan belajar sastra. Dirgahayu Sastra Indonesia!

Ditulis oleh Sakinah Annisa Mariz

(Tahun 2011 masih mahasiswi Semester V, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FBS - Unimed)
www.kinamariz.com
Beberapa kali menggelar kegiatan bersama KORMA

www.kinamariz.com
Menjadi moderator bersama Pak Dosen dan PD III FBS UNIMED Dr Daulat Saragi, MHum

1 comment

  1. Silahkan untuk berkomentar, namun ingat ya link hidup tidak diperkenankan diletak sembarangan di sini. Insya Allah saya siap kok blog walking tanpa harus nempel-nempel backlink. Ok. Thanks

    ReplyDelete

Mohon tidak meninggalkan link hidup di kolom komentar. Terima kasih.

Literasi Digital