Esai : Politik Sastra Indonesia

www.kinamariz.com
Politik Sastra Ilustrasi
#SakinahMenulis-Politik Membina Sastra atau Politisasi Sastra?
'Politik' dan 'Sastra' adalah dua jenis kata yang jelas berbeda makna dan yang diacunya. Pengertian masing-masing lebih mengacu pada 'Kekuasaan' dan 'Sastra itu sendiri'. Mengaitkan tentang kekuasaan dan sastra tentu tidak terlepas dari relasi sosial yang terbentuk antara penguasa dan kehidupan sastra pada masa pemerintahannya. Adapun klasifikasi permasalahan seputar politik dan sastra Indonesia ini difokuskan pada tiga problematika (Purba, 2008:1) yaitu; (1) Pengaruh politik terhadap sastra, (2) Politik di dalam sastra, (3) Hubungan antara politik dengan sastra.

Bagaimana Politik Ada di Dalam Sastra?
Menyinggung permasalahan dan keterkaitan antara politik dan sastra di Indonesia tentu membutuhkan analisis dari data-data yang teruji kevalidannya serta landasan teoritik yang akurat, sebab pembuktian atas hubungan politik dan sastra ini mesti terlihat dengan objektif. Artinya, apabila kita hanya melihat berdasarkan hipotesa ataupun berdasar wacana yang beredar saja tanpa pengkajian utuh, maka berarti kita juga sedang menyemarakkan politisasi terhadap dunia sastra Indonesia.

Mengembalikan fungsi kata politik dan sastra serta penggabungan keduanya, yakni politik sastra, menurut Antilan Purba dalam bukunya 'Politik Sastra Indonesia', sebenarnya bukanlah mengacu pada politik di dalam dunia sastra. Politik yang dimaksudkan oleh akademisi Bahasa dan Sastra Indonesia ialah suatu dasar atau suatu kebijakan di dalam pembinaan dan pengembangan sastra. Maka, pada hakikatnya politik sastra Indonesia itu mengkaji strategi ataupun rancangan untuk membina serta mengembangkan sastra di Indonesia. Pembinaan sastra itu bertujuan untuk meningkatkan mutu apresiasi sastra masyarakat sekolah dan luar sekolah. Sedangkan pengembangan sastra Indonesia, menurut Lukman Ali dalam (Purba, 2008 : 15) bertujuan untuk meluaskan wilayah pembaca atau penikmat sastra Indonesia dengan menanamkan apresiasi sastra secara lebih mendalam, meningkatkan mutu hasil sastra Indonesia, dan meningkatkan pencipta sastra Indonesia.

Perluasan pemaknaan atas politik di dalam sastra Indonesia melalui istilah “politik sastra” semakin merebak setelah adanya pengkajian yang lebih mendalam dan komprehensif mengenai napak tilas dan sejarah sastra Indonesia. Saut Situmorang dalam essai-essainya yang termaktub dalam “Politik Sastra” membeberkan rekam-jejak karya-karya sastrawan Indonesia yang sengaja “digelapkan” atau malah dianggap sesat oleh rezim pemerintah pada masa itu. Politisasi pemerintah atas karya sastra tersebut tidak hanya berdampak pada kehidupan sastrawan yang melahirkan karya tersebut saja, namun juga berimplikasi pada kehidupan sastra Indonesia termasuk di dalamnya, sejarah, kritik, dan teori sastra.

Tetralogi Pulau Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca) karya Pramoedya Ananta Toer misalnya, adalah fiksi paling representative untuk mencerminkan sejarah kehidupan Indonesia masa kolonialisme, hingga merefleksikan dengan detil dan kesenjangan sosial antara penguasa dan rakyat pada masa itu. Terbukti dengan pengakuan dunia atas Pram melalui nobel-nobel sastra yang diraihnya, serta karyanya yang telah diterjemahkan dalam bahasa-bahasa asing. Namun apa yang diterima oleh Pram di negaranya? Selama rezim Orde Baru berkuasa, karyanya ditarik dari peredaran dan dimusnahkan dengan sengaja. Sejarah juga bercerita bahwa Pram terpaksa menjalani hukuman tanpa peradilan. Atas dasar kepentingan penguasa pada saat itu juga, hingga saat ini novel-novel Pram masih sulit kita temukan sebagai novel yang menjadi kajian wajib di bangku perkuliahan. Bentuk deskriminasi demi keuntungan sepihak ini, adalah bukti atas ketidaknetralan dalam dunia sastra. Permainan politik demi kepentingan penguasa telah merambah kemana-mana, bahkan di dalam 'ke-apolitisan' sastra.

Salah satu contoh lagi adalah nasib yang menimpa Wiji Thukul, seorang penyair yang juga lantang mengkritisi pemerintahan Orde Baru dengan puisi-puisinya. Hingga saat ini, tidak ada kabar apapun tentang keberadaannya. Rekam-jejak 'gelap' yang kerap terjadi inilah, membuat tidak dapat dipersalahkan bahwa politik sastra yang notabenenya bertujuan untuk membina dan mengembangkan sastra Indonesia, telah bergeser maknanya menjadi politisasi sastra Indonesia. Karya sastra yang seharusnya bersifat universal, bebas-nilai (apolitis) dan abadi itu telah dicemari dengan campurtangan pihak-pihak yang merasa berkepentingan untuk menjalankan misinya. Oleh sebab itu, politik sastra Indonesia tidak lagi membicarakan tentang upaya dan langkah menuju pengembangan dan pembinaan ke arah yang lebih baik. Politik sastra Indonesia mulai melirik nasib karya-karya sastra yang telah dipolitisasi penguasa, serta dampaknya dalam sejarah sastra Indonesia.

Distorsi pemaknaan atas istilah politik sastra Indonesia ini, seyogyanya terjadi seiring perubahan waktu dan sejarah yang mengikutinya. Akan tetapi, pengkajian terhadap problematika tidak akan pernah berhenti tanpa solusi. Politik pembinaan dan pengembangan sastra Indonesia mesti diselesaikan dengan sinergy yang optimal dari kalangan akademisi dan sastrawan, sehingga sastra Indonesia bisa maju dan lepas dari belenggu politisasi. Dirgahayu Sastra Indonesia!

Ditulis oleh Sakinah Annisa Mariz
(Tahun 2011 masih mahasiswi Semester V, Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, FBS-Unimed)

1 comment

Mohon tidak meninggalkan link hidup di kolom komentar. Terima kasih.

Literasi Digital