Cerpen : Kejadian Selepas Petang

www.kinamariz.com
Tawuran -Image Source : Tribunnews.com-
#SakinahMenulis-“Assalamu’alaikum,” terdengar suara bass Aldi menyusup diantara celah seluler Dika. Seorang perawat membantunya memegang seluler itu.

“Waalaikumsalam akh Aldi. Syukron sudah membantu," sahutnya dengan suara pelan. Sebelah tangannya yang tidak diinfus tampak gemetar. Tubuhnya masih lemah dan garis panjang yang menyayat betisnya masih terasa sakit dan pedih. Luka-luka kecil menyebar di setiap daging lengannya yang lebam. Bekas hantaman batu besar kemarin, membuat tulang-tulang di bahunya terasa menari dan berderak patah. Wajahnya pias dengan perban basah yang terbalut di kepala. Suara Aldi merekam ulang ingatannya saat batu-batu besar itu melayang-layang, bersemangat menimpa kepalanya, nyaris membunuhnya.

Setelah berbicara beberapa patah kata yang bisa menjelaskan kondisinya, Dika mengembalikan selulernya pada perawat itu. Perawat wanita yang santun dan sangat peduli dengan pasien-pasien di rumah sakit itu. Senyum dan ketelatenannya membuat pasien lebih menyukainya dibanding perawat-perawat yang lain. Meskipun Dika baru empat hari dirawat di rumah sakit ini, dia mendapat perawatan cukup baik. Dokter menyarankan Dika untuk tidak banyak bicara, mereka semua khawatir benturan di kepala Dika akan  mengganggu ingatannya.
***
Peristiwa naas itu terjadi ketika Dika dan sepuluh orang temannya kembali dari pengajian rutin yang biasa mereka laksanakan di hari Sabtu. Biasanya, sepulang dari pengajian, mereka berkumpul kembali ke rumah kost salah satu dari mereka untuk mendiskusikan materi perkuliahan. Mereka semua adalah mahasiswa, yang kebetulan berada di jurusan dan program studi yang sama. Meski tingkatan semesternya berbeda-beda, namun mereka sangat dekat satu sama lain, seperti saudara sekandung. Dengan sebutan Akhi, mereka merasa dihargai dan sangat dekat. Kedekatan mereka antar anak ngaji membuat Dika yang merantau dan teman-temannya merasa memiliki keluarga baru di kota ini.

Dika adalah anggota tertua dari mereka. Dia telah menamatkan studinya sebulan yang lalu. Beasiswa Strata 2 menyambutnya di bangunan baru yang juga berada di lokasi kampusnya. Kegigihan dan kecerdasannya membuat namanya disegani mahasiswa-mahasiswa dan aktivis dakwah yang lain. Diskusi dan mengerjakan tugas bersama-sama sering mereka lakukan untuk membangun solidaritas antar aktivis dakwah kampus.

Sabtu itu, sengaja mereka menghabiskan sore dengan berjalan kaki keliling kota. Rencananya, mereka akan sholat maghrib di masjid bersejarah di tengah kota. Sengaja mereka mengambil jalan memotong untuk memperpendek rute perjalanan. Tak disangka, ketika mereka melintasi jalan kecil itu, kerusuhan sedang memanas. Sebuah lapak judi sedang digrebek masyarakat dengan garang. Meja-meja judi dibakar, kartu-kartu dan uang bertabur dengan kepingan botol bir dan pekik wanita-wanita dengan baju yang super mini. Lelaki-lelaki paruh baya yang tadinya asyik bermain judi di dalam, diringkus warga yang sedang mengamuk.

Dika dan teman-temannya kebetulan melintas disana melihat iring-iringan warga dengan membawa pentungan dari balok yang dirambati paku-paku runcing dan senapan angin. Beberapa pria bertubuh jangkung juga membawa pentungan dari besi padu dan parang. Linggis dan batu-batu besar tergenggam di tangan pemuda-pemudanya. Bulu kuduk mereka meremang saat iring-iringan dan tawanannya melintas di jalanan. Dua belas pejudi dan tiga wanita dari warung itu sedang diarak untuk dipukuli dengan alat-alat yang mereka bawa. Sebagian dari orang-orang itu sedang mencoba meruntuhkan bangunan yang sering dipakai untuk berjudi dan minum-minuman keras bersama wanita-wanita itu. Ada juga yang menyuruk-nyuruk mengumpulkan uang kertas yang berhamburan.

“Bakar! Bakar! Bakar!” teriak seseorang dengan lantang. Suara gemuruh warga menimpali dengan gegap gempita.

“Ya… ya… bakar saja.” Suara yang lain menyahut ganas. Suara-suara seperti memaki  dan mencaci ikut-ikutan pula menimpali suara laki-laki pejudi itu yang menangis dan meratap seperti kehilangan akal. Wanita-wanita itu menjerit-jerit saat tendangan-tendangan bertubi-tubi melayang di kepala, perut, dan punggungnya.

“Hajar sampai mampus, lalu bakar!!! ” tiba-tiba sebuah ide keji meluncur dari kerumunan warga. Orang-orang yang membawa besi padu, batu, linggis, balok kayu dan parang tajam menyeringai kesetanan. Teriakan dan serapah muncul begitu saja tanpa ada perintah dari siapapun. Masing-masing bermain dengan hasrat dan pikirannya sendiri untuk segera menghabisi nyawa dua belas pejudi dan tiga wanita itu.

“Ayo, bunuh! Bunuh! Hajar sampai mapus, dasar pejudi jahannam! Pulang kalian ke neraka! Mati! Mati! Pulang sana! Pulang!” teriakan bercampur pukulan dan tikaman bertubi-tubi melayang ke arah pejudi dan tiga wanita itu. Pekik dan bunyi gemeretak tulang yang berpatahan bukan membuat ngeri, malah membuat warga semakin kesetanan. Darah muncrat kesana-kemari dan beberapa potongan jari terpental keras berhambur diantara bunyi pukulan yang memekakkan telinga.

“Allahu akbar! Allahu Akbar!” suara Dika menggema keras. Hatinya seolah telah disembelih melihat perilaku Bar-bar warga yang mirip zaman jahiliyah. Sungguh, tidak ada satupun dari mereka yang berani untuk menghentikan kekejaman itu. Perilaku mereka sungguh telah merobek-robek simpatik pemuda-pemuda dari pengajian kampus.

“Tolong, dengarkan saya sebentar!” lagi-lagi suara Dika membelah riuh suara warga yang tengah dilanda nafsu membunuh. Tidak ada yang menghiraukan. Sepuluh orang adik kelasnya yang juga menonton kejadian itu berdiri dengan tangan gemetar dan wajah pucat. Dika tidak akan membiarkan adik-adiknya ini melihat kekerasan dengan wajah tak berdaya. Mereka adalah pemuda yang masih baru dan kuat. Dika menepuk bahu mereka satu persatu untuk memantapkan hatinya. “Ini salah. Ayo akhi, kita luruskan yang salah. Allah tidak pernah membenarkan kita untuk bertindak melampaui batas seperti ini. Islam menyuruh kita berdamai, bukan berperang dan membunuh. Maju Akhi.” serunya kuat-kuat. Dika menggenggam tangan mereka yang pucat dan dingin. Otot wajahnya menegang dan bahunya serasa akan lepas dari tubuhnya. Keringat membanjir dari pelipis dan dahi. Akan tetapi, lobe putih yang mereka kenakan seolah menyalakan semangat mereka kembali.

“Allahu Akbar!” spontan mereka berteriak bersama-sama. Suara sebelas pemuda yang bertekad untuk menghentikan kekejian terdengar lantang dan menantang.  Lelaki-lelaki yang sedang berpesta darah itu terpaksa menghentikan ayunan parangnya.

“Hai, anak-anak! Mau apa kalian. Mereka ini pejudi dan pezina, buat apa kalian jadi pahlawan kesiangan!” ejek salah satu dari pria jangkung itu.

“Tapi mereka manusia juga Pak, sama seperti kita. Hanya Allah yang berhak menghukum mereka.” Jawab Dika dengan suara lantang. Orang-orang menghentikan geraknya. Dua onggok tubuh yang hancur terlihat menggelepar. Seorang wanita dan pria pejudi itu menyelesaikan umurnya dengan cepat.

“Jangan bodoh kamu! Mereka ini makhluk kotor! Pendosa! Halal darahnya dibunuh! Bukankan Nabi juga memerangi orang-orang fasik dan munkar! Bodoh kamu! Buang saja lobemu itu!” hardik mereka dengan suara kasar.

“Membunuh juga perbuatan munkar Pak. Mengadili orang yang berbuat keji dengan cara yang keji, tidak membuat derajat kita lebih tinggi!” suara Aldi, salah satu junior Dika memekik. Tubuhnya yang kurus bergoyang-goyang menahan amarah. Sungguh dia tidak terima mereka mengatasnamakan Nabi sebagai alat untuk meluruskan perlakuan mereka.

“Nabi kami tidak pernah mengajarkan kami membunuh. Nabi mengajarkan kita untuk damai, bukan berperang. Nabi tidak pernah mengawali perang sebelum orang-orang fasik dan munkar itu memintanya.” bantah Risyad, salah seorang dari sahabat Dika yang juga faham akan sejarah peradaban Islam.

“Ooh, jadi itu yang kalian pelajari! Menghardik orang yang lebih tua dan merasa lebih pintar karena kalian anak pengajian, heh!” lelaki itu mengacungkan parangnya.

“Bukan Pak. Kami ingin damai. Biar polisi yang menghukum mereka.” Suara Dika menyahut.

“Polisi? Enak saja kamu bicara. Tidak. Ini urusan kampung kami. Sudah lama mereka mengotori kampung ini dengan tingkah kotornya. Pergi kalian sebelum kami juga menghajar kalian”

“Pak, kita bisa berunding sebentar?” Basri, salah seorang dari teman Dika mengacungkan jari. Lelaki-lelaki yang mendebat itu menyambut dengan senyum pongah. Mereka berunding sejenak dan berbantah-bantahan. Tawanan yang bersimbah darah itu menunggu dengan wajah pias. Gemetaran mereka memegang luka di tubuhnya masing-masing. Suara rintihan dan tangis mendesis pelan. Semuanya tampak tegang menunggu perundingan itu. Wanita dan lelaki-lelaki yang masih sadar, tiba-tiba merasa bersyukur masih ada jeda untuk bernafas.

Perundingan itu membuat pukulan-pukulan berhenti dan darah mengalir bebas. Sebuah rompalan beton dari bangunan judi yang berhasil dirubuhkan, meluncur ke tengah-tengah arena perundingan. Massa mengamuk lagi dan bangunan yang telah dirusak, runtuh seketika. Saat itu pula mereka mendengar sirine polisi meraung-raung menuju mereka. Massa berhambur pergi sementara Basri yang sedang berunding, dikhianati. Mereka berlarian seperti anai-anai yang tercerabut ketika mencangkul tanah.

“Kabur. Polisi datang! Seru mereka. Balok kayu, linggis, batu, parang, dan besi padu berhambur di langit. Reruntuhan bangunan menimpa mereka yang berdesak-desakan kabur. Jalanan kecil itu semakin ramai dengan darah dan tubuh manusia yang tak bernyawa lagi. Dika mencoba menyelamatkan adik-adiknya, namun tiba-tiba sebuah batu besar menubruk bahunya dan membuatnya terpental keras. Sebuah parang menyabet betisnya yang terbujur dan sekeping batu hampir meremukkan kepalanya. Adik-adiknya terjepit dalam situasi yang buruk. Semua orang bergegas kabur di jalanan yang sudah dikepung polisi. Beberapa kali tembakan ke udara dilepaskan polisi, tetapi massa terus saja kabur. Dika tak sadarkan diri, sementara adik-adiknya dibawa ke kantor polisi.
***
“Siapa yang menelpon?” tanya Femmi, perawat berlesung pipi itu sambil mengelap kaki Dika dengan lembut.

“Teman.” balasnya sambil tersenyum.

“Tadi pagi, juga ada yang menjenguk kemari. Semuanya laki-laki.” tuturnya. Mereka bercerita sebentar lalu perawat itu membantunya makan malam. “Ibu dan bapakmu akan datang dari kampung besok,” katanya sebelum pergi dari ruangan tempat Dika dirawat. Perawat lelaki datang dan membantu Dika menyucikan diri. Dika bersegera sholat isya dengan kondisi seadanya.

Seluler Dika berdering lagi. Kali ini, akh Reza yang mengabarkan bahwa kesepuluh temannya telah dikumpulkan untuk menjadi saksi dipersidangan, besok. Kondisi mereka tidak lebih parah dibandingkan Dika, sehingga polisi belum memproses Dika hingga hari ini. Selesai berbicara di telepon, pintu kamarnya diketuk cepat.

Tiga lelaki jangkung masuk diikuti Femmi dengan wajah pucat. “Me… mereka… ingin… “ suaranya yang bening itu terdengar gugup dan gemetar. Femmi, perawat Dika memasang bola matanya untuk tetap waspada. Dika menggenggam selulernya erat-erat di balik selimut. Lelaki-lelaki jangkung itu memutar sedikit kepalanya seolah mengusir perawat berambut sebahu itu untuk pergi. Femmi bergegas kabur sambil menatap Dika dalam-dalam. Dika memberinya isyarat, menaikkan sedikit alisnya pada Femmi. Mata ketiga lelaki itu tampak semakin menyala.

“Bisa kita berunding sebentar?” Kali ini lelaki-lelaki dari kampung seberang itu pula yang mengajaknya 'damai'.
www.kinamariz.com
Petang -Image Source by Google.com-

Gerimis Subuh, November 2010

1 comment

  1. Silahkan untuk berkomentar, namun ingat ya link hidup tidak diperkenankan diletak sembarangan di sini. Insya Allah saya siap kok blog walking tanpa harus nempel-nempel backlink. Ok. Thanks

    ReplyDelete

Mohon tidak meninggalkan link hidup di kolom komentar. Terima kasih.

Literasi Digital