www.kinamariz.com -Image Source : c.mi.com |
“Astaga.. ” Kikha
terkesiap, 07.00 WIB. Gadis manja itu hanya punya 30 menit lagi sebelum gerbang
sekolah digembok Pak Satpam. Mama yang dinas keluar kota, alpa membangunkan Kikha,
Kikha panik, menukar piyamanya dengan seragam, kejar-kejaran dengan mobil
angkutan umum. Kalau sudah jam segini,
biasanya angkot-angkot akan sarat dijejali anak sekolah yang bernasib seperti
Kikha. Keringat bercucuran di dahi dan kerah baju seragamnya. Jogging pagi
rutinitas baru Kikha, semenjak Mama dinas keluar kota.
Nafasnya masih
tersengal, saat gerbang sekolah tinggal setengah meter lagi. Kikha sukses
melewati gerbang, melesat kabur ke kelasnya. Tiba-tiba, seorang siswa berseragam
olahraga melintas tepat dipintu kelas Kikha dengan membawa sekardus bola kasti.
Ups, Kikha terlalu kencang untuk mengerem larinya.
“Braaakkk….” Kikha
menubruk anak laki-laki itu sempoyongan. Bola-bola berserakan dan melambung di koridor seperti euforia piala dunia. Warga kelas riuh, menyoraki aksi Kikha si cerdas
jagoan SMU Citra Bangsa yang ceroboh. Kikha meringkuk layu dipapah ke ruang
UKS. Lututnya terluka, darah segar mengalir di kulitnya yang mengelupas. Kikha
mengaduh kuat-kuat. Ketika siswa berbaju olahraga itu mengusapkan antiseptik di
lutut Kikha. Tak ada omelan ataupun ceramah panjang dari anak keren ini. Sikapnya
sigap dan bertanggung jawab. Dibalutnya luka Kikha hati-hati. Cemas menghantui
Kikha, kesalahan yang dibuatnya terlalu meriah.
“Kamu baik-baik aja kan?” tanya anak itu lembut, penuh
senyum. Memamerkan barisan gigi putihnya yang rapi. Kikha mengangguk takjub.
Baru kali ini rasanya ia mengenal siswa Citra Bangsa bertampang Nicholas
Saputra. Kikha diantar ke kelasnya. Siswi-siswi salah tingkah
cari perhatian Si cakep yang mirip
Nicholas Saputra. Ines, sahabat karib Kikha menepuk perban yang membalut kakinya.
“Nih luka bawa hoki!” Ines berkomentar gembira. Kikha cuma senyum-senyum sendiri,
membayangkan kemurahan hati pangeran tadi.
“Tapi..eh, siapa
nama anak baru tadi ya?” Kikha dan semua penduduk kelas bergender wanita
bertanya-tanya.
Bel sekolah berbunyi
tanda pelajaran telah selesai. Para siswa berlomba menyandang ranselnya. Kikha
dipapah Ines dan Sashi berjalan terseok-seok menuju gerbang sekolah.
“Yakin bisa jalan sendiri Kha?” tanya Ines iba.
“Lutut kamu kan masih luka. Bahaya, jalan
kemana-mana. Kamu pulang sama kami, ya Ki?” pinta Sashi.
“Aku harus cari bahan
Mading ke Pasar Loak, Sashi. Derin udah kasih tugas itu seminggu lalu. Kalian gak mau kan nama baik kelas kita tercemar gara-gara aku. Aku bisa jalan
sendiri kok. Tenang aja kelen. Ok!
Aku pergi dulu. Dah Ines, dah Sashi.” Kikha melangkah mendahului dua sahabat
terbaiknya. Ines bungkam, Kikha memang keras kepala. Sama seperti mereka berdua.
Diseretnya Sashi untuk mengikuti Kikha dari belakang.
***
Terik
matahari memanggang ganas. Sudah dua botol air mineral kutenggak. Panas masih
bercokol di tenggorokan. Berjam-jam aku mengitari Pasar Tradisional ini. Foto
dan wawancara sudah rampung. Ngilu menusuk-nusuk lututku, keringat membanjir
lagi. Mataku mencari-cari tempat berteduh. Di sebuah bangku panjang, aku duduk
merehatkan lututku barang semenit. Rasa aneh ini muncul lagi. Aku merasa dibayang-bayangi
Ines dan Sashi. Kubalikkan badan spontan ke belakang. Sepasang dara jelita
terkekeh di sana. Yang satu centil bergaya modis. Yang satu imut berdandan ala
balita dengan kepang dua.
Kusodori mereka
sebungkus rujak pedas yang kubeli di simpang jalan tadi. Wajah ayu nya berubah
beringas. Rakus melahap kedondong dan mangga asem yang tak jadi kucicipi.
Hehe.. itulah kami, perempuan.
“Ehm, sejak kapan
kalian belajar jadi mata-mata?” aku bertanya sambil menyodorkan sebotol soft drink dingin ke Ines yang meradang
terkunyah cabe rawit.
“Bukan begitu.. kalo sampai kamu kenapa-napa, kan kami juga
yang repot. Betul gak Sashi??” Ines nyerocos cari dukungan Sashi. Sashi cuma
“angguk-angguk, geleng-geleng” menjawab runtutan pembelaan Ines.
“Ayo pulang!” ajakku
menengahi Ines dan Sashi yang nyaris nekat menjilati plastik bekas rujak. Matahari
masih terik memanggang jalan. Sashi dan Ines bersikeras mengelilingi Pasar Loak
sekali lagi. Sekedar melirik pernak-pernik
bekas yang mungkin bisa dibeli dengan harga miring. Sashi berlari
kesana-kemari. Persis anak kecil berbelanja dengan Ibunya. Kikha selaku tetua
yang dituakan, heboh mengawasi kelakuan Sashi. Ines asyik menawar gelang etnik
yang tinggal tiga biji.
Seorang wanita tua
memperhatikan kami dari seberang. Entah hanya perasaanku saja atau memang
sungguhan. Teman-teman kuberitahu dengan suara tercekat, setengah berbisik. Namun
mereka malah bilang aku paranoid. Sungguh, kurasakan mata wanita itu memanggil
namaku.
www.kinamariz.com -Image Source : Liveanddare.com |
“Kikha..” teriaknya. Aku berjalan seperti tersihir
kekuatan magis yang sangat kuat. Sashi mengejar langkahku di seberang. Begitu
pula Ines yang mulai mempercayai ceritaku.
“Mencari sesuatu?”
wanita berambut tergulung itu menatap mata Kikha dalam-dalam. Kikha menggeleng pelan. Sashi, dengan lugunya
membuka-buka kartu tarot yang disusun di atas meja.
“Hushh..” Kikha
menepis tangan Sashi yang usil. Wanita itu tertawa. Penuh pesona mistis.
Buru-buru Kikha menyeret kedua temannya pulang. Tiba-tiba Ines melontarkan
pertanyaan aneh.
”Kami mau
diramal..” sahutnya. Wanita itu tersenyum penuh arti. Dipandangnya wajah kami
satu persatu. Kartu diaduk. Masing-masing punya makna dan jawaban tersendiri.
Wanita berkerudung hitam itu mengatakan bahwa Kikha dan teman-temannya bukan
jodoh yang tepat. Diantara mereka terdapat tabir yang akan saling menutupi
jodoh satu sama lain. Tabir ini bisa membuat mereka jomblo selama-lamanya, jika tetap bertiga. Sashi dan Ines terpana
mendengar jawaban si peramal. Kikha diam saja, tak berniat percaya ataupun
membantah.
“Sebenarnya ada
satu mantera yang bisa membuka tabir kalian.” Setengah berbisik Wanita bermata
cokelat itu memandang kami.
“Apa..?” tanya
Sashi penasaran. Wanita itu diam sambil membuka kantung kain abu-abu tua. Dari dalam
kantung kecil itu diambilnya tiga butir batu biru, dan membaginya satu-satu ditangan
mereka.
“Ini adalah lambang
mantera. Mantera ini yang akan membuat kalian dipuja-puja pria. Ingat, mantera
ini akan hilang jika kalian memiliki laki-laki yang mencintai kalian setulus
hati.” Anak-anak itu berlari sekencang-kencangnya meninggalkan wanita peramal
yang terkekeh-kekeh di atas kartu tarotnya. Sashi memeluk bahu Kikha kuat-kuat.
Rasa ngeri masih menghantui mereka.
Ines santai saja, penasarannya terjawab sudah. Pastilah mereka bertiga jadi
Diva bulan ini. Hanya riang yang bersarang di matanya. Kikha terkejut meraba
batu biru yang terselip di saku seragamnya.
“Oh tidak Ines,
Peramal tadi memberikan ini pada kita.” Kikha panik seperti Sashi. Buru-buru Ines
menentramkan hati teman-temannya.
“Udah, gak usah dibahas, zaman modern kayak gini. Gak ada salahnya cari jalan praktis cari cowok. Ingat woi kita
semua kan jomblo. Apa kelen berdua
mau jadi gadis tua gak laku seumur
hidup??” Ines mengancam teman-teman
lugunya.
“Begini prend, kita pake aja dulu batu ini. Lagian belum tentu juga nih batu bawa hoki. Ntar kalo udah bosan, baru kita
buang. Beres!” tutur Ines enteng mencoba menentramkan kegalauan yang melanda
mereka.
“Oke deh, just enjoy it!!” seru Sashi sembari
mengedipkan sebelah matanya ke arah Kikha. Tak disangka, seorang siswa
berseragam SMA melintas derngan Ninja Thundernya
di depan mereka.
“Keren juga.” Bisik
Sashi di telinga Kikha. Tiba-tiba anak tadi berbalik ke arah mereka. Senyum
manis terkembang di wajahnya. Sashi membalas senyumannya. Spontan anak laki-laki
itu menjulurkan tangannya untuk berkenalan. Bercerita akrab hingga sampai
saling tukar nomor ponsel. Ines dan Kikha semakin percaya, kalau wanita peramal
tadi tidak main-main. Anak laki-laki tadi berlalu sembari melambaikan tangannya
pada mereka bertiga. Sashi melompat-lompat bahagia. Masing-masing dari mereka mulai
menyusun strategi.
www.kinamariz.com -Image Source : Gypsylakedesigns.com- |
Selalu ada lelaki yang usil dimana-mana, seperti semut bereaksi
pada gula. Perpustakaan jadi ramai, membantu Kikha sekedar mencari literatur
pelajaran Biologi. Sashi yang hobi internetan di warnet sekolah pun terganggu
aktivitasnya. Dijahili user-user yang
juga surfing di sana. Beda lagi
dengan Ines si centil yang butuh dipuja. Kehadirnya hanya untuk menebar pesona.
Tak terasa sudah
empat minggu ketenaran mereka mencuat seantero sekolah dan komplek perumahan.
Kikha dan Sashi mulai gerah dari rayuan gombal
cowok-cowok fans pribadi mereka. Ines
santai saja menikmati banjir hadiah dari penggemarnya. Ines makin sulit ditemui.
Hari-harinya dihabiskan bersama para penggemar yang tak kunjung surut. Pacarnya
tak terhitung lagi. Hampir semua fansnya
dijadikan pacar. Tidak dengan Kikha dan Sashi yang belum berani menjalin
komitmen. Bagi mereka cinta itu murni, tak bisa dipaksa ataupun dijampi dengan
mantera.
Sepulang
sekolah, Kikha dan Sashi berniat mencegat Ines. Kutukan ini harus segera dimusnahkan.
Mereka sudah tidak tahan lagi. Dari kejauhan terlihat Ines asyik mengobrol
dengan Farel, kapten futsal sekolah luar. Tak perduli, Farel ingin mengantar
Ines pulang. Mereka menarik paksa Ines ke belakang kantin yang sepi.
“Nes, kita perlu
bicara..” Kikha mencengkram kerah Ines kuat-kuat. Sashi memegangi tangan Ines agar
tak ada celah untuk kabur.
“Kami udah bosan
hidup gak normal kaya’ gini Nes. Kikha dan
Sashi menatap mata Ines dalam-dalam.
“Kita harus keluar
dari kutukan ini Nes, harus!” Kikha menimpali.
“Whats?? Apa? Kutukan? Buka kacamatamu
Kha! Bukannya ini yang kamu inginkan? Heeh, kemarin aku dengar kamu jalan sama Rangga, cowok pujaanmu itukan?
Malahan aku dengar, kamu udah pacaran sama dia.” Ines menyerang balik. Kikha
gelagapan.
“Lho Kikha, jadi
benar gosip yang aku dengar dari orang-orang?” pekik Sashi.
“Kamu kenapa gak bilang sama aku. Pantesan aja
kamu gak sempat lagi dengar curhat
aku tentang Rangga, bantu aku cari kado buat dia. Kamu jahat Ki, kamu egois, kamu
pengkhianat!!” suara Sashi berat membendung tangis yang siap meledak.
“Bukan begitu
maksudku Sashi...” Kikha panik meredam hatinya yang tercabik.
“Eh, Ines.. jangan ributlah!.
Kamu biang keladi masalah ini. Kalau bukan gara-gara batu mantera sialan itu,
mungkin kita gak akan saling
menyakiti seperti ini!!. Benarkan Sashi??” Kikha mencari dukungan.
“Udah cukup Ki,
kamu gak usah menyalahkan siapa-siapa
lagi. Yang jelas kalian berdua udah mengkhianati aku, mengkhianati cinta tulus
aku, mengkhianati persahabatan kita. Aku benci..kalian!!” Sashi tersedu sedan berlari
meninggalkan Ines dan Kikha. Kikha menggepal tinjunya kuat-kuat. Tak tahu akan
di layangkan kemana.
“Liat tuh,
gara-gara kamu Sashi kecewa, tahu!!” Ines menunjuk Kikha yang juga hampir
meledak tangisnya.
“Nes, kamu harus sadar
sekarang. Kamu lihat, persahabatan kita kacau balau gara-gara keegoisan kamu!!
Kalau aja kamu mau sedikit lebih
peduli, kita pasti tidak begini..” balas Kikha sambil melepas cengkramannya.
“Oh, jadi menurut
kamu, aku egois. It’s Ok! Tapi asal kamu
tahu, aku gak pernah tertarik merebut
cowok yang disukai teman aku!! Enggak seperti
kamu yang udah mengkhianati Sashi dan merebut Rangga..”
“Plakkk!!!“ Kikha
menampar mulut Ines. Ines menangis. Darah segar menetes dari bibirnya yang
pecah.
“Ini Kha? Ini arti
persahabatan yang kamu elu-elukan
itu?? Oke, terserah kamu. Tapi aku sama Sashi, gak akan pernah memaafkan pengkhianatanmu, Kha!! kita bubaaarr.!!”
Ines teriak histeris. Lalu pergi meninggalkan Kikha begitu saja. Kikha diam dalam
tangisnya yang terdalam, untuk semua kekacauan yang mengobrak-abrik persahabatan
mereka.
“Kikha..” seseorang
memanggil namanya lembut. Suara itu, tangis Kikha meledak hebat. Bahunya
berguncang-guncang, menahankan luapan perasaan yang menjadi-jadi. Limpahan air
mata mengucur deras di balik kacamatanya. Rangga mengusap bahu Kikha dengan hangat.
Tangis Kikha semakin nyaring terdengar. Rangga menuntun Kikha ke dalam
mobilnya. Saat ini, Kikha tak bisa berfikir jernih. Isak senik mewarnai suara
Kikha. Rangga tetap setia menunggui Kikha meluapkan emosinya.
“Rangga, aku harus
menjelaskan ini padamu.” Kikha menatap mata Rangga yang teduh. Pandangan mereka
bertemu. Mendeburkan ombak dahsyat di jantung Kikha. Kikha jatuh cinta. Ya, dia
benar-benar jatuh cinta pada Rangga. Rasa yang sama saat Rangga pertama kali
mengoles antiseptik di lututnya yang terluka.
“Tuhan..apa yang telah
kulakukan?” otak Kikha segera menolak rasa ini, tapi hatinya tak bisa
dibohongi. Rangga membuka kacamata Kikha. Menatap wajah polosnya dibanjiri air
mata perih.
“Kikha, tolong. Jangan
siksa diri kamu seperti ini. Cerita sama aku. Aku akan bantu kamu sekuat
tenagaku.” Rangga mengusap pipi Kikha yang basah.
“Tolong Rangga
jauhi aku!” Kikha menjawab pelan dibalik tunduknya. Suara Kikha semakin samar
terdengar.
“Aku udah tahu
semuanya Kikha. Maaf aku dengar pertengkaran kalian tadi. Kamu gak perlu takut. Kutukan itu akan
berakhir, aku akan bantu kamu sebisaku.” Rangga menggenggam erat jemari Kikha.
“Tidak bisa Rangga.
Kamu gak tahu apa-apa tentang semua
ini. Persahabatan aku udah hancur berkeping-keping. Ines dan Sashi udah benci
sama aku. Aku mengkhianati cinta Sashi ke kamu. Kamu itu cuma terpedaya mantera
jodoh yang kami dapat dari seorang peramal sebulan lalu.” Kikha membongkar
semua rahasia mereka di hadapan Rangga. Aneh, mata Rangga tetap teduh dengan
seulas senyum tulus menatap Kikha.
“Kenapa kamu gak berusaha kembalikan keadaan jadi normal lagi??.” Rangga menatapnya
tajam.
“Aku benar-benar
cinta sama kamu, Kha. Murni gak pake’
jampi apapun.” Sebuah pengakuan tulus meluncur dari bibir Rangga. Menghentakkan
jantung Kikha 7,9 skala richter.
“Kamu serius, Ngga?
Gimana dengan Sashi??” tanya Kikha panic.
“Sashi belum tahu,
selama ini yang dia suka itu bukan aku tapi Eza, saudara kembar aku”, jawab
Rangga.
“Eza?? Kenapa kamu baru bilang sekarang, Ngga?”
“Karena Eza itu
temen Facebook Sashi. Dia belum mau
Sashi tahu siapa dia. Sashi kan banyak
penggemarnya.” Rangga tersenyum lagi. Kikha menangis. Kali ini bukan sedih,
tapi air mata haru. Rasa hangat terselip di dadanya.
“Jadi, kamu mau kan terima cinta aku??”, Rangga
menangkap mata Kikha jenaka. Kikha mengangguk pasti.
“Cihuuyy!!”, Rangga
bersorak girang. Kikha tersenyum.
“Oh, tunggu. Batu
biru itu, Rangga”. Kikha merogoh kantung tasnya yang kosong.
“Tadi aku
menyimpannya disini..”, serunya. Rangga membantu Kikha mencari batu di sekitar
mobil dan belakang kantin, batu biru itu hilang. Lenyap bersama mantera jodoh
yang membelenggu rantai persahabatan Kikha, Ines, dan Sashi.
Kikha dan Rangga
tertawa bersama. Mobilnya melaju menuju rumah Kikha. Terlihat Ines, Eza ,dan
Sashi sedang duduk-duduk di beranda depan penuh canda. Aneh, bibir Ines tak
terlihat luka. Seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Kikha memeluk erat kedua sahabatnya
bahagia, berharap tak ada lagi dari mereka yang terperdaya mantera. Mantera
jodoh.
KSI Medan, 29/05/2010
(Ditulis oleh : Sakinah Annisa Mariz)
www.kinamariz.com -Image Source : Organicauthority.com- |
(Ditulis oleh : Sakinah Annisa Mariz)
Silahkan untuk berkomentar, namun ingat ya link hidup tidak diperkenankan diletak sembarangan di sini. Insya Allah saya siap kok blog walking tanpa harus nempel-nempel backlink. Ok. Thanks
ReplyDelete