Cerpen : Masih Ada Jalan

www.kinamariz.com -Image Source : Quotefancy.com-
#SakinahMenulis-“Bangun Le’, mau jadi apa kau hah? Hari siang begini, tahumu cuma tidur! Bangun kau! Bangun!” Omak mengomel sejadi-jadinya, setelah sebelumnya menyiram Leman dengan seember air cucian.

Leman, lelaki berusia tiga puluh tahunan itu gelagapan. Mengelap wajahnya dengan lengan kausnya yang basah kuyup. Air bilasan cucian menggenangi rusbang tempat tidurnya yang dilapisi tikar pandan tipis. Dia membuka matanya cepat, lalu bangkit dengan wajah kusut. Omak masih berkacak pinggang dihadapannya. Leman sadar, tidak ada yang bisa menghentikan omelan Omak kecuali uang.

“Heh, mau kemana kau?” teriak Omak dari pintu belakang. Leman hanya menoleh sebentar, membalas teriakan Omak dan menjentikkan ibu jari dan telunjuknya bersamaan. Tahulah Omak, kemana anak semata wayangnya itu pergi. Wanita tua berambut hitam putih itu hanya mengurut dadanya, agar lebih leluasa bernafas.

Di sebuah warung nasi yang ramai, Leman singgah. Dia duduk dan memesan segelas teh Tong. Perutnya lapar sekali, dari kemarin dia belum makan apa-apa. Uang sisa penjualan radio bekas kemarin, sudah disita Omak. Di saku celana pendeknya hanya tersisa selembar uang duaribuan. Uang itu segera berpindah ke tangan Marsinah, pemilik warung yang sering dihutangi Leman.



“Ini terakhir kalinya, Wak” protes Leman, saat Wak Khoja, suami Marsinah, menagih hutang makannya selama ini.



“Tiga puluh ribu, kau pikir sedikit itu? Sekarang semua harga mahal, kau tahunya cuma berhutang! Bukannya cari kerja kau!” Wak Khoja mulai ikut-ikutan memarahi Leman. Hatinya perih memang, tapi dia tidak punya apa-apa untuk membela dirinya. Jangankan uang, harga diri saja sudah terlalu murah untuk digadaikan. Leman menatap wajah Wak Khoja dengan ekspressi minta dikasihani. Malangnya, bukan iba hati Wak Khoja, malah kemarahannya semakin meledak. Orang-orang yang lewat dan pengunjung warung Marsinah ikut-ikutan mengadili dan menghina Leman. Leman, S.P. julukannya, Leman, Sarjana Pengangguran.


Setelah berjanji akan melunasi hutangnya besok dan meletakkan sepatu kulit satu-satunya sebagai barang jaminan, Leman pergi dari warung itu. Hatinya rusuh dan perutnya lapar. Segelas teh tanpa gula hanya membuat organ digestinya diam untuk beberapa jam. Leman berkeliling, mengitari sawah-sawah di kampungnya yang kering kerontang. Hanya ada ilalang dan semak di sana. Musim paceklik ini membuat orang-orang jadi sensitif dan cepat marah. Kata-kata kasar dan perlakuan yang tidak menyenangkan kerap menghampiri Leman. Dia marah dan tersinggung. Marah pada orang yang memperlakukannya seperti keledai yang bodoh. Marah kepada Omak yang tak mau tahu tentang perasaannya. Terlebih lagi, dia marah pada dirinya sendiri, yang lemah dan tak berdaya.

www.kinamariz.com -Image Source : Dreamstime.com-
Di balik pohon Kueni besar, di belakang Mushalla, Leman meratapi nasibnya. Dia menangis, meski hanya beberapa butir air mata yang menetes, itu membuatnya sedikit lega. Leman mengambil air wudhu’ dan shalat dzuhur sendirian. Beberapa orang petani yang kebetulan melintas dari sawah, mencibir Leman.

“Leman... Leman! Kau pikir Tuhan akan menurunkan hujan emas dan perak untuk pemalas sepertimu!” ejek petani-petani itu. Leman tidak menggubris, dia melanjutkan shalatnya dengan khusyuk. Dia memohon, meratap, dan meminta pada Tuhan, semoga dia diberi pekerjaan.
***
Arika memperlihatkan hasil temuannya pada teman-teman sekelasnya dengan bangga. Biji dari buah Jarak terbukti menghambat kehamilan pada tikus mencit. Dia menimang paper penelitiannya dengan raut wajah gembira. Berharap piala Olimpiade Sains tahun ini akan segera berpindah ke tangannya. Siswa SMP yang lain berdecak kagum atas kecerdasan Arika, sebagian anak mencapnya sombong. Arika bergegas menuju ruang Kepala Sekolah, melaporkan hasil penelitiannya dan mendaftarkan namanya sebagai calon peserta Olimpiade Sains Nasional wakil provinsinya tahun ini.


Dengan jantung berdegup Arika membuka amplop kiriman panitia Olimpiade Sains Nasional. Di surat itu dituliskan berulang-ulang namanya sebagai siswa SMP yang cerdas dan berbakat. Arika tersenyum dan buru-buru menuntaskan paragraf demi paragraf yang tertera di surat keputusan. Sayang sekali, sebuah kata ‘TIDAK’ tercetak dengan font tebal di sana. Arika tidak bisa menjadi peserta karena penelitiannya sudah pernah dilakuan oleh siswi SMA dari pulau Jawa, beberapa tahun silam.


Arika sangat kecewa dengan keputusan itu. Mengapa tim Olimpiade, tidak memberinya kesempatan. Sekiranya mereka melakukan Tes Potensi Akademik sekali lagi dan mengizinkan Arika melakukan penelitian ulang, pasti dia akan melakukan yang terbaik. Dia meremas amplop surat itu dengan kesal. Air matanya meleleh dan hatinya terasa sakit. Kecewa. “Bagaimana mungkin aku tidak layak ikut”, jeritnya putus asa.
***
Leman merenung lagi di balik pohon Kueni. Kali ini, semakin banyak saja orang yang mencibirnya. Dia sudah bertekad, akan kembali merantau ke kota. Seperti dulu, ketika dia masih pongah dengan status mahasiswanya. Berbekal sedikit uang pemberian sahabat-sahabat yang masih simpatik terhadapnya, Leman berangkat. Bus melaju kencang meninggalkan Omak, kampung dan orang-orang yang sepele terhadapnya. Dalam hati Leman sudah terpatri keinginan kuat untuk sukses, tetapi dengan apa? batinnya. Entahlah! Dalam bungkusan pakaiannya, terselip beberapa lembar ijazah dan fotocopy transkrip nilai terakhir yang sudah dilegalisir. Leman berencana melamar pekerjaan dengan itu.

Malam sudah merambat, namum tenggelam dalam hingar bingar kendaraan yang berlalu lalang. Lampu-lampu benderang, menghiasi pertokoan, gedung-gedung bertingkat, dan mewarnai jalan raya. Ini bukan pertama kalinya Leman menginjakkan kakinya di ibukota provinsi. Sembilan tahun silam dia menempuh pendidikannya hingga sarjana di kota ini. Tak disangka, terlalu banyak yang berubah.

Di sebuah warung yang sudah ditutup pemiliknya, Leman beristirahat. Dia lapar dan letih. Sisa uang di kantungnya hanya cukup membeli sepotong roti. Leman merapatkan tubuhnya ke bagian yang gelap, khawatir petugas ketertiban menangkapnya dalam razia gelandangan dan pengemis. Angin dingin membelai wajahnya yang kusam dan mulai ditumbuhi janggut dan kumis liar. Sesekali, terlihat kilatan cahaya berpendar di langit. Hari akan hujan. Leman meringkuk di sudut yang kotor dan gelap, sambil memejamkan matanya. Dia berharap titik-titik air itu tidak membasahi ijazah yang dibawanya.

Suara perempuan yang menangis tersedu-sedu, membangunkan Leman. Sekiranya ini masih di kampung, pastilah bulu kuduknya akan meremang, tapi ini Medan Bung! Segala sesuatunya dapat terjadi dan berubah lebih cepat dari yang kau pikirkan. Leman memasang telinganya lebih tajam. Dia melongokkan kepalanya, mencari-cari sosok tubuh yang menangis itu. Nihil!

Di luar hujan mulai merintik. Langit suram, gelap tanpa cahaya bintang. Bulan hanya berupa bola pijar yang samar. Sesekali gemuruh terdengar. Leman keluar dari warung itu, menyisir kondisi di sekitar dengan mata yang awas. Sekelebat sinar lampu Toyota silver memantulkan sosok remaja perempuan yang bersimpuh di tengah jalan raya. Leman tersentak, menyongsong anak perempuan itu dengan langkah sigap. Hampir saja! Pengemudi Toyota itu memaki-maki Leman dan anak perempuan yang diselamatkannya dengan kata-kata pedas. Leman tak acuh, buru-buru dibimbingnya anak itu menuju warung tempatnya berteduh.

“Kenapa tidak abang biarkan saja aku mati?” bentak anak itu sambil memukul Leman.

“Astaghfirullah! Jadi kamu niat bunuh diri, Dik?” tanya Leman dengan wajah terkejut.

“Ya, aku mau mati saja! Hidupku sudah tidak berguna lagi! Aku tidak bisa mendapatkan apa yang aku inginkan!” remaja berambut sebahu itu menangis tersedu-sedu.
“Kau tinggal dimana?” tanya Leman sembari menyodorkan botol air minumnya. Anak itu tidak menggubrisnya sama sekali. Matanya menatap Leman dengan tatapan sendu.

“Helvetia.” jawabnya datar. “Abang?” tanyanya tanpa ekspressi. Dia sama sekali tidak tertarik meminum air dalam botol itu. Kandungan isoflavon dari botol plastik bekas pakai, yang bereaksi dengan air, akan membuat tubuhnya menghisap zat-zat karsinogenik yang berpotensi kanker.

“Abang dari kampung, Dik. Tadi jam sepuluh baru nyampe’ Medan.” Leman bercerita panjang lebar mengenai alasan keberangkatannya ke Medan. Sesekali, dia juga menyelipkan lelucon lucu untuk menghibur remaja yang bernama Arika itu.

“Jadi abang enggak marah dibilang Sarjana Pengangguran?” tanya Arika sambil tergelak.
“Ya enggak bisa marah, Dik. Namanya kenyataan. Padahal aslinya, abang lulusan Agronomi USU, sarjana pertanian, Dik” terang Leman.

“Lulusan USU kok bisa menganggur, Bang?’ tanya Arika heran. Seingatnya Universitas negeri kebanggaan provinsi itu diminati karena lulusan-lulusannya yang berkapabilitas tinggi.

“Nasib Dik. Nasib abang kurang mujur. Kawan-kawan sudah pada kerja di PTPN, perkebunan. Abang malah disuruh balik ke kampung, ngerjain ladang orangtua yang cuma sepetak. Mana bisa maju!”

“Jangan menyalahkan nasib, Bang. Mungkin kita saja yang kurang berusaha” protes Arika. Leman terdiam, begitu juga Arika. Tiba-tiba Arika merasa seperti sedang bercermin. Menguliahi kesalahan orang lain yang belum tentu lebih buruk dari dirinya. Bukankah Arika hampir bunuh diri karena kegagalannya mengikuti Olimpiade Sains. Dia menatap Leman dalam-dalam dan menyesal.

“Bang, Arika mau pulang!” ujarnya setelah keadaan menjadi hening selama beberapa menit.

“Abang enggak punya ongkos untuk mengantar kau pulang. Jalan kaki mau?” Leman menawarkan jasanya pada Arika. Remaja yang masih sangat labil itu mengeluarkan selembar uang limapuluh ribuan dari saku piyamanya.

“Nih Bang. Kita pulang naik Becak Mesin* saja.” usulnya. Mata Leman berbinar melihat uang yang dikeluarkan Arika. Seketika, laparnya terasa semakin melilit-lilit.

***
“Di sini rumahmu, Dik?” tanya Leman setengah percaya, ketika mereka tiba. Mereka memasuki kompleks perumahan mewah dengan jejeran bangunan yang mentereng.


“Nomor berapa rumahmu?” tanyanya lagi. Matanya masih tersihir dengan arsitektur bangunan bergaya Italy yang berdiri kokoh dihadapannya.


“Yang inilah, Bang!” jawab Arika sekenanya, lalu memijit bel di pintu. Dengan rikuh, Leman membersihkan kakinya yang kotor. Takut kalau-kalau jejak lumpur mengotori keramik rumahnya yang bersih dan mengilap. Arika hanya tersenyum kecil. Tak lama kemudian, pintu dibuka. Seorang wanita paruh baya, dengan daster lusuh memeluk Arika. Air matanya berlinangan.


“Alhamdulillah, Nak. Kamu pulang juga, bibi khawatir sekali” seru wanita itu berulang-ulang.

“Eh, jadi ternyata kamu anak pembantu ya?” bisik Leman kecewa. Harapannya mendapat makanan enak, hancur seketika.

“Mama dan Papaku bekerja di Singapura,” jawab Arika dengan wajah sedih. Arika menyuruh pembantu lainnya menyiapkan makan malam dan kamar buat Leman. Kali ini dia benar-benar merasa bersyukur.

Sebulan lebih Leman tinggal di rumah Arika sebagai tukang kebunnya. Kehidupannya berubah drastis semenjak kejadian malam itu. Berkat pertolongan ikhlas yang diberikannya, sekarang dia bisa hidup dengan layak. Arika meminta kepada Omnya agar Leman dipekerjakan di kantor. Leman bekerja sebagai Akuntan. Disebabkan latar belakang pendidikan Leman yang ridak sesuai dan lamanya masa menganggur, Leman harus belajar mati-matian sepulang dari pekerjaannya. Dia tidak menyesal bekerja keras, malah ada rasa bangga di hatinya.


Suatu sore, ketika Leman baru saja selesai dari tugas kantornya, dilihatnya Arika sedang asyik membaca majalah pertanian. Penasaran, dipinjamnya majalah itu dan dibacanya. Arika ternyata sangat menyukai dunia Plantae. Beberapa jenis anggrek yang tumbuh di pekarangan rumahnya adalah hasil karya kawin silang buatannya sendiri. Leman berdecak kagum dengan kecerdasan Arika. Dia sering mengajak remaja usia limabelas tahun itu berdiskusi tentang holtikultura. Hasilnya sangat memuaskan.


Arika adalah anak yang mau belajar. Leman semakin sering membelikan Arika buku-buku yang lengkap dijadikan referensi bacaan apabila Arika kesulitan pada satu masalah. Lebih dari itu, Arika juga berbakat dalam menulis. Berkali-kali dia mengirimkan tulisan-tulisannya di majalah pertanian. Tulisannya dimuat!

Arika  semakin bersemangat menulis dan terus membaca. Leman yang menjadi pembimbingnya. Baginya, Arika sudah seperti adik kandungnya sendiri. Hari-hari dilalui Arika dengan membaca, berdiskusi, dan menulis. Leman mengenalkan Arika pada temen-temannya yang bekerja sebagai pemerhati lingkungan. Arika sangat bahagia. Referensi bacaan Arika semakin meluas. Dia tidak hanya berbicara tentang berapa persen campuran Confentrazon dalam memberantas hama tanaman, tetapi juga melahap habis buku-uku tentang bioteknologi dan  geologi. Dalam artikelnya, Arika mulai berani mengupas tentang pemanfaatan limbah dan peningkatan bilangan oktan akibat emisi gas rumah kaca. Ternyata artikel-artikel Arika mulai disoroti oleh berbagai lembaga pemerhati lingkungan hidup dan instansi pendidikan.


Pada suatu kesempatan, wartawan dan kameraman dari sebuah koran berskala nasional menghubungi Arika. Mereka ingin mengangkat profilnya sebagai sosok remaja putri berprestasi. Kepala Dinas Pendidikan dan Kepala Sekolah Arika diundang untuk menjadi saksi keberhasilannya. Arika semakin sibuk dengan jadwal penelitiannya yang padat. Dia tidak punya waktu untuk bermain lagi. Dalam waktu kurang dari satu tahun, Arika yang cerdas semakin terlihat brillian dan mengagumkan.


Leman masih menetap di rumah Arika. Mama dan Papa Arika melarangnya pindah, sebab Arika membutuhkannya sebagai pembimbing diskusi. Sejak keberhasilan-keberhasilan karya  Arika mencuat, teman-temannya tidak pernah mengejeknya lagi sebagai ‘ilmuwan gagal’. Mama dan Papanya pun lebih sering menetap di Indonesia.

“Dik, abang mau pamit” ucap Leman suatu pagi. Saat itu Arika sedang sibuk menyiapkan tugas sekolahnya, meski hari itu hari libur.

“Kemana Bang?” tanyanya datar. Tangannya masih lincah mengetik di atas keyboard laptopnya.

“Ke kampung” jawab Leman.

“Berapa hari?” tanyanya lagi, kali ini lebih antusias.

“Belum tahu, mungkin abang akan membuka usaha di kampung atau melanjutkan cita-cita abang...”

“Cita-cita apa Bang?”

“Cita-cita untuk membangun kampung abang yang gersang itu.” Leman menceritakan angan-angannya yang bertahun-tahun tidak terealisasikan. Dia ingin menjadi petani berdasi yang sukses, seperti yang dituliskan Arika pada artikel-artikelnya. Bukan lagi sebagai petani yang mencangkul sepetak tanah, lalu menunggu batang-batang padi menguning yang hanya menghasilkan beberapa karung beras. Leman ingin menjadi petani yang mampu memajukan desanya dengan meningkatkan produksi beras dan menggunakan bibit penemuan terbaru yang dapat dipanen tiga kali setahun. Leman bertekad untuk bangkit, karena inspirasi dan semangat juang yang ditularkan oleh gadis kecil yang bernama Arika. Arika, telah menginspirasi seorang sarjana.

www.kinamariz.com -Image Source Steemit.com-
“RUMAH ANGGREK ARIKA” terpampang sebuah baliho besar berwarna pink dan ungu muda di depan sebuah toko bunga berstandar internasional. Di dalamnya, seorang gadis berseragam putih abu-abu sedang sibuk memantau kinerja sebelas karyawatinya. Dia punya catatan tersendiri tentang perkembangan anggrek-anggreknya. Semenjak kepergian Leman, Arika terus menjalin hubungan dengan para peneliti, pemerhati lingkungan, dan pakar tanaman hias. Arika bersiap-siap pulang bersama supir pribadinya yang digajinya dari hasil usaha anggreknya sendiri. Ketika mobil akan berjalan, seorang lelaki dengan dasi cokelat mengetuk jendela mobilnya. Arika menoleh dan membuka kaca mobil perlahan.

“Bang Leman?” Dengan wajah takjub dia menatap laki-laki itu. Terlalu banyak perubahan! Bang Leman yang dulunya pendiam, kurus, dan urakan telah berubah menjadi seorang pengusaha muda yang cerdas dan rapi.

“Wah, kamu sudah besar ya!” sahut Leman dengan senyum khasnya. Hanya senyumnya yang tak pernah berubah, selalu ceria.

“Abang sudah sukses sekarang!” pekik Arika gembira.


“Ini berkat kamu!” balasnya sambil mengacak rambut Arika.




Medan, KSI 2010
*Becak Mesin. istilah moda transportasi darat jenis Becak yang digandengakan bersama Sepeda Motor (Biasa digunakan di Medan)
(Ditulis oleh : Sakinah Annisa Mariz)

1 comment

  1. Silahkan untuk berkomentar, namun ingat ya link hidup tidak diperkenankan diletak sembarangan di sini. Insya Allah saya siap kok blog walking tanpa harus nempel-nempel backlink. Ok. Thanks

    ReplyDelete

Mohon tidak meninggalkan link hidup di kolom komentar. Terima kasih.

Literasi Digital