Cerpen : Sebuah Pertemuan

#SakinahMenulis-Peduli terhadap bahayanya penularan virus AIDS dan HIV yang tertular melalui banyak cara, diantaranya seks bebas, hingga diturunkan melalui kehamilan dari penderita HIV, saya menuliskan cerpen ini. Semoga semakin banyak masyarakat yang tergerak dan sadar bahwa AIDS/HIV itu harus segera ditangani dan disembuhkan. Rangkul penderitanya, jangan kucilkan namun berikan solusi yang tepat. Selamat membaca!
www.kinamariz.com
Save Mom HIV -Image Source by Google.com-
“Bagaimana?”

“Ya begitulah, bidan tua itu memang keras kepala.”


“Tidak kau beri pandangan?”


“Mereka tidak mau mendengarkan aku.”

“Hah? Aku segera kesana.”

“Coba saja, kalau kamu bisa.”

“Tentu. Dia tentu menurut padaku.” Lelaki yang satunya menyambar kunci sepeda motornya dan bergegas mencari mantel dan sandal jepitnya di balik pintu yang setengah terbuka. Hujan deras. Sesekali kilatan petir menyambar-nyambar di langit gelap. Angin kencang berhembus bersama tempias hujan dan cipratan becek, tak menghalau laju sepeda motornya. Dia berhenti di depan sebuah rumah yang halamannya luas. Rumah itu terlihat sibuk. Orang-orang sudah ramai berkumpul di teras. Lantainya terbuat dari semen hitam yang halus dan mengkilap, terlihat lembab. Lampu neon tergantung di dinding beranda rumah itu, berpendar terang.

“Tini!” dia berteriak memanggil remaja perempuan yang sedang berdiri di bibir pintu. Tini mengambilkan segayung air dan membantu lelaki itu menjemurkan mantelnya di samping rumah. Orang-orang tidak terlalu memperdulikan kehadirannya, mereka terlalu heboh memikirkan wanita muda yang sedang mengerang-erang kesakitan di kamar. Cairan bening meleleh hingga ke betisnya yang ditutupi kain panjang. Perutnya semakin terlihat membusung. Sesuatu bergerak-gerak dan menggelupur dari dalam tubuhnya, seperti akan mengoyak-ngoyak dinding perut dan menembusnya untuk keluar. Lelaki itu bersimpuh dihadapannya dan mengelus kepalanya dengan do’a-do’a, seperti orang-orang lainnya. Dia menekankan jempolnya pelan, sembari mengurut pelipis wanita itu,

“Sudah waktunya, Nu.” Dara berbisik pelan.

“Tidak. Kamu tidak boleh melahirkan normal. Anak itu akan ikut terinfeksi HIV. Bertahanlah. Tunggu sedikit lagi.” Lelaki itu terus berbicara sambil memijit-mijit selulernya, mengetik pesan singkat pada ambulance yang sebentar lagi tiba.

“Aku sungguh tidak kuat…” Dara mengelus perutnya sambil mengatupkan matanya.

“Tidak. Kau pasti kuat,” Wisnu memijit tombol-tombol selulernya lebih cepat. Terdengar suaranya gugup saat melihat Dara kembali meliuk-liuk di tempat tidur. Tiga orang ibu-ibu dan seorang bidan telah menyiapkan air hangat dan peralatan persalinan. Mereka sudah sedia, jauh sebelum Wisnu datang.

“Tidak bisa, operasi sectio caesaria jalan yang paling aman untuk mencegah bayinya terinfeksi HIV.”

“Tapi Dara sudah tidak bisa bertahan lagi, nak Wisnu. Dara harus melahirkan sekarang atau bayinya tidak terselamatkan.” seorang ibu menyela.

“Bu, mohon pertimbangannya lagi. Kita semua tentu mau yang terbaik untuk Dara dan bayinya. Selama ini, kita telah bersusah payah untuk melakukan cek dan perawatan intensif juga terus minum obat ARV dibawah pengawasan ketat Dokter Sherly. Kelahiran ini adalah finalnya. Dara tidak boleh melahirkan normal juga menyusui bayinya supaya tidak ikut terinfeksi HIV.” Wisnu menatap wajah ibu-ibu dan bidan yang memperhatikannya dengan tatapan geram.

“Dia tidak kuat lagi! Haruskah kita mengorbankan Dara demi jabang bayi yang tidak jelas bapaknya itu? Apa kamu bisa jamin bayi itu murni tidak HIV?” bidan yang menunggui Dara menuding Wisnu dengan telunjuknya yang runcing. Wajahnya memerah padam.

“Kita butuh waktu sedikit lagi. Ambulance sudah hampir sampai.” Ujar Wisnu sambil mengecek selulernya.

“Aku takut, aku enggak kuat, Nu.”

“Tahan Dara! Tahan! Ini demi masa depan anakmu juga!” Wisnu berbisik di telinga Dara. Dara, wanita yang tengah menyabung nyawa itu mengiyakan dengan suara yang teramat pilu. Dia mencoba menikmati rasa sakit yang seolah ingin memberangus jiwanya yang terus melemah. Dara tak sanggup bicara lagi. Wisnu duduk disampingnya dan membacakan do’a-do’a serta nubuwat buat Dara.

“Bagaimana ini? Duillah, mari kita tolong Bu’...”

“Jangan! Demi Tuhan, tunggulah sebentar lagi!”

“Nak Wisnu, kami menghargai usaha kamu selama ini, tapi apa kamu tega melihat Dara sekarat begini?” Seorang ibu mencoba meyakinkan Wisnu dengan suaranya yang lembut, sementara Dara semakin beringas dan menjerit-jerit liar. Bayi itu benar-benar ingin melihat dunia luar. Wisnu bergeming dan tetap duduk di sisi Dara.

“Ahh… Aduhh… Aduhh…”

“Dasar lelaki, makhluk bejat yang tak bermoral!”

“Memang lelaki itu egois!”

“Tahan, sedikit lagi Dara, tahan!”

“Ah, diam kamu!!”

“Argghh… arghhh… arghhh…”

“Jangan! Jangan! Bahaya Bu’! Tunggulah sebentar lagi!”

“Awas kamu! Awas!”

“Aaaa…”

“Sial. Dasar lelaki sial. Kalian hanya bisa menyusahkan wanita! Kalian cuma tahu enaknya saja. Kalau sudah begini, wanita juga yang direpotkan! Awas kamu, kami hajar kamu nanti!”
“Silahkan! Silahkan pukul saja saya! Tapi tolong sabarlah sedikit lagi.”

“Gila kamu. Senget!”
Plakk… Bukk… Brakk… “Aihh… Ahhh... Aduhh… Arghh…”

“Geser kamu! Awas kamu dari situ!”

“Tidak! Kita tunggu ambulance!”

Plak… Plakk…“Arghhh… arghh… Aaaaaa!!!!”

“Tidak! Jangan!”

“Aaaaa….!!!!”

“Oeee’… Ooee’… Oeee’…”

“Wah, anaknya lahir…”

“Ahh!!!”

“Hah???”


***
Selang infus menempel di kedua tangannya, kiri dan kanan. Satu untuk transfusi darah, satu lagi untuk membantu menambah cairan dan kekebalan tubuhnya yang menurun tajam. Di kamar yang lain, bayi laki-laki yang baru saja dilahirkan sedang tertidur pulas di gendongan seorang perawat. Bibirnya masih basah dengan susu formula yang dimasukkan ke dalam dot kecil. Matanya yang mungil terlihat sembab dan kotorannya hitam pekat. Bayi itu tidur dengan tenang di pelukan si perawat, seolah perawat itulah ibu kandungnya.

“Bayinya imut ya?” bisik perawat itu pada teman-temannya yang sedang menyiapkan tempat tidur bayi.

“Namanya juga bayi, kalau dokter Wisnu baru pantas dibilang cakep.” Tukas seorang temannya sambil mengedipkan mata. Ratna, perawat yang menggendong bayi Dara itu, memang sejak lama menyukai Wisnu. Dokter muda yang sedang praktek di bagian penyakit mata.

“Hussh… asal tahu saja, bayi itu anaknya pasien HIV dokter Sherly. Ih, anak haram tuh! Ibunya kotor penyakitan, bapaknya enggak jelas…” perawat yang lain mencibir.

“Hei, kamu enggak boleh menghakimi orang begitu. Bayinya kan tidak tahu apa-apa.” balas temannya yang sedang melap tempat tidur bayi. Ratna tampak tidak peduli dengan ocehan teman-temannya. Dia sibuk menatap wajah mungil bayi laki-laki yang sedang menguap pelan di gendongannya. Tangannya tiba-tiba terasa basah. Bayi itu pipis lagi.

“Aduh Nak, tantenya kok dipipisin…” suara dokter Wisnu terdengar merdu di bahu kiri Ratna. Perawat itu terkejut dan hampir melompat karena kaget. Wajahnya bersemu saat mata dokter Wisnu yang hangat menatapnya.

“Dia imut ya, mirip mamanya...” sahut Ratna pada Wisnu. Sindirannya semata-mata untuk melihat reaksi dokter muda itu. Teman-temannya pernah mengatakan jika dokter Wisnu sangat dekat dengan Dara, pasien HIV. Mereka bilang, Wisnu yang menolong Dara dari dunia gelapnya dan membiayai segala kebutuhan administrasinya di rumah sakit. Dokter itu digosipkan jatuh cinta pada Dara dan siap menerima Dara apa adanya, termasuk bayinya.

“Ya. Mirip mamanya.” sahut Wisnu sambil berdehem kecil dan pergi melangkah ke luar, setelah sebelumnya mencium pipi bayi itu di kanan dan kiri.

“Ciee… tantenya enggak sekalian dicium…” ledek teman-teman Ratna. Tiba-tiba dia merasa wajahnya merona lagi dan sesuatu yang hangat menggores dalam dadanya.
***
Dara belum dapat sadar, kondisinya terus memburuk. Meski suntikan dan obat tatep diberikan secara berkala, namun sel-sel leukositnya tak mampu membendung virus mematikan yang ganas menggerogoti sistem kekebalan tubuhnya. Selang-selang infus yang bening merambat di tubuh Dara, juga alat pernafasan yang menyemburkan oksigen buatan ke paru-parunya.

Dari celah pintu yang terbuka, Wisnu mengintip wajah Dara yang pucat. Dihampirinya Dara, gadis 19 tahun yang tak sengaja dikenalnya via facebook. Saat itu, Wisnu sama sekali tak menyangka jika Dara serius mengungkap jati dirinya bahwa dia adalah ODHA, Orang Dengan HIV/AIDS. Sejak itu, mereka jadi rajin berkomunikasi dan curhat via chatting di room chat dan saling bertukar nomor ponsel. Meski belum pernah bertemu langsung, tetapi Wisnu selalu berusaha membuat Dara nyaman bersamanya. Dia mendengarkan keluhan Dara dan memberinya harapan untuk kembali kehidupan normal, meski dia tahu itu pasti sangat sulit.

“Aku hamil, Wisnu…” isak Dara suatu kali melalui handphone yang menempel di telinga Wisnu. Lelaki itu hanya mendehem dan mendengarkan tangisan Dara dengan nafas tertahan.

“Tadi pagi aku telepon Aldy, tapi handphonenya enggak aktif. Aku datang ke rumahnya, malah Mama dan Papanya marahin aku. Kata mereka, Aldy bukan anak mereka lagi. Dia udah diusir dari rumah tiga bulan lalu. Aku enggak tahu harus ngapain lagi, Nu. Hidup aku udah hancur.” Dara meracau dan menangis sekeras-kerasnya.

“Kamu dimana? Bisa kita ketemu sebentar?” tanya Wisnu hati-hati. Mulanya Dara menolak, tapi akhirnya mereka berjanji untuk bertemu di sebuah restaurant cepat saji. Wisnu sempat terkejut bahwa gadis cantik berambut sebahu itu adalah Dara.

Meskipun matanya sembab dan rambutnya terlihat acak, Dara tampak cantik dengan babydoll warna pink pucat dengan tas cangklong berbentuk pita yang tersampit di bahu kanannya. Dia memakai hotpants hitam berbahan jins ketat sebagai bawahannya. Sandal tali bermotif kupu-kupu polkadot putih membungkus tumit kakinya yang merona kemerahan. Tubuh langsingnya melangkah santai dan dari kulit halusnya yang putih bersih menonjol butir-butir keringat yang berkilauan di terpa sinar matahari. Wajahnya yang tirus terlihat segar dengan sapuan blush on warna peach, menonjolkan tulang pipinya yang indah. Hidungnya mancung dan tulang hidungnya tinggi berada diantara kedua mata yang besar dan berbulu mata lentik. Mata yang kosong dan dingin. Dagu yang lancip mengakhiri bingkai wajahnya. Bibirnya yang tak terlalu tipis dan juga tidak tebal diusap dengan lip gloss bening.

Dari jauh, Wisnu sama sekali tak menduga jika Dara seorang pemakai narkoba. Dia lebih mirip anak kuliahan yang keletihan sehabis shopping. Lama Wisnu memperhatikan Dara, dia sama sekali tak menyangka jika gadis itu lebih fresh, cantik dan muda dari foto profil facebooknya.

“Wisnu…” ujarnya sambil berdiri dan mengulurkan tangan dengan sopan. Bagaimanapun ini pertemuan pertama mereka. Dia ingin membuat Dara terkesan, tapi gadis itu sepertinya tampak tak acuh dan langsung duduk tanpa menggubris uluran tangannya.

“Jadi, kita mulai dari mana?” tanya Wisnu hati-hati. Dara menatapnya seksama, memperhatikan setiap detil wajah tampannya. Wisnu mulai gugup dan kikuk ditatap gadis secantik Dara. Tatapan itu terlalu dalam dan menantang. Membuat darahnya berdenyut hingga ke puncak kepalanya. Wisnu pernah jatuh cinta, tapi belum pernah merasakan perasaan yang sangat aneh seperti ini. Dara tidak menangis lagi. Mereka bercerita dengan santai dan akrab seolah tidak terjadi apa-apa dengan Dara. Hingga akhirnya Wisnu memberanikan diri bertanya fokus ke inti permasalahan. Dara menjelaskan tanpa menangis lagi, dia sudah cukup kuat sekarang. Laki-laki berengsek itu pasti takut bertanggungjawab, Wisnu menggeram dalam hati.

Aldy, pacar Dara, adalah seorang IDU (Injection Drugs User) atau pengguna narkoba suntik. Mereka berpacaran lebih dari tiga tahun, dimulai saat mereka masih menginjak bangku SMA. Wisnu tahu banyak tentang masa lalu Dara, tapi yang terpenting baginya saat ini adalah menyelamatkan sisa harapan yang masih dimiliki Dara.

Tuuut… elektrokardiograf yang selang-selangnya menempel di dada Dara, tiba-tiba berbunyi lebih nyaring dan panjang. Wisnu tersadar dari lamunannya dan terkejut. Dia melihat tubuh Dara yang lemah sedikit berguncang dan matanya menutup lebih rapat. Wisnu segera menyadari apa yang terjadi. Dia mendekati tubuh Dara yang mulai mendingin dan kaku.

“Ra!!!” jerit histeris Wisnu menarik perhatian perawat-perawat yang berlalu lalang. Mereka menjauhkan Wisnu dan melepas infus serta selang oksigen dari tubuh Dara.

“Kamar 103.” teriak perawat yang menjaga meja informasi. Ratna buru-buru berlari menuju ke ruangan itu ketika dilihatnya keramaian disana. Ada Wisnu. Lelaki itu belum bisa menguasai dirinya. Ratna masuk dan mengusap punggung Wisnu. Mereka duduk dan menjauh dari kerumunan perawat lainnya. Pandangan mereka beradu lagi. Ratna tahu, kali ini wajahnya pasti merona di depan dokter Wisnu, walau di moment yang selalu salah.

Jendela-Dingin 00.06.39 (25/07/2011)

Ditulis oleh Sakinah Annisa Mariz
www.kinamariz.com
Doa terbaik untuk para korban AIDS/HIV di seluruh dunia. -Image Source by Google.com-

2 comments

  1. Silahkan untuk berkomentar, namun ingat ya link hidup tidak diperkenankan diletak sembarangan di sini. Insya Allah saya siap kok blog walking tanpa harus nempel-nempel backlink. Ok. Thanks

    ReplyDelete
  2. Dialogmu bagus. Namun, perhatikan transisinya.

    Eh mampir balik, jangan lupa klik itunya

    ReplyDelete

Mohon tidak meninggalkan link hidup di kolom komentar. Terima kasih.

Literasi Digital