Cerpen : Trafficking

www.kinamariz.com
Trafficking -Image Source by Google.com-
#SakinahMenulis-Di kamar yang gelap dan sempit, seorang anak perempuan menangis di sudut ranjang. Tubuh rapuhnya dibalut selimut yang tebal. Seorang lelaki berbadan tegap dan tinggi masuk ke dalam kamar, menyingkapkan selimut yang membalut tubuh perempuan itu sehingga tubuhnya yang kecil terpelanting di atas ranjang.

“Hei anak sialan! Kenapa kau tak mau melayani tamu-tamuku! Dasar tak tahu diri! Kau pikir bisa gratis hidup di sini ya! Sial! Sial! Sial!” Lelaki itu terus-terusan memukuli tubuh perempuan kecil itu dengan jari-jari dan kepalan tangannya yang kokoh. Darah kental kehitam-hitaman muncrat dari bibir mungilnya yang kering dan pucat. Anak perempuan kecil yang dipukuli itu hanya bisa bernafas lemah, tanpa berusaha membuka matanya. Sedari pagi, sudah 9 kali dia dimandikan dan dijumpakan dengan iblis baru. Sungguh dia tersiksa. Hingga malam, tak sebutir nasi pun sanggup dikunyah mulutnya.

Sejak terbangun dari tidurnya yang sebentar-sebentar terjaga, dia hanya diberikan segelas air dingin dan sebutir pil kecil, pil anti hamil. Hari ini sudah tiga kali dia pingsan ketika sedang melayani tamu-tamunya. Namun, bukan iba yang terpancar di mata lelaki-lelaki berwajah setan itu, malah perlakuan yang semakin bringas dan bernafsu yang didapatinya. Sejenak terdengar suara rintihan yang menyayat dari kamar itu, serupa rintihan seorang tahanan yang menanti detik-detik eksekusinya. Anak kecil itu, seperti sudah kehilangan seperempat jiwanya! Salah! Bukan seperempat, malah seluruhnya! Dia sudah tak bernyawa lagi sejak lelaki besar dan hitam itu menghantamkan tinjunya tepat ke ulu hatinya.

Tanpa rasa bersalah, kemudian lelaki itu membopong tubuhnya yang ringkih menuju halaman balakang. Halaman terlarang yang hanya bisa bisa ditemukan setelah melalui lorong-lorong sempit dan lembab. Pada ujung lorong, terdapat sebuah ruangan kecil beratap terbuka yang hanya boleh dimasuki oleh orang-orang kepercayaan Tuan Besar Fredo. Tidak ada yang menarik dari ruangan gelap itu kecuali kloset kotor yang berada persis di tengah-tengah ruangan dan beberapa lampu pijar yang sudah putus bola lampunya.

Pintu ruang kecil itu dibukanya dan dibantingkannya keras hingga dinding-dindingnya yang kehijau-hijauan bergetar. Dia menekan sakelar lampu dengan tangan kiri, sedangkan tangan lainnya mendekap sebuah gulungan besar yang tersampir di bahu kanannya. Dia sedikit membungkuk ketika berusaha menyurukkan gulungan manusia itu ke dalam sebuah lubang raksasa yang berada persis di sudut timur ruangan.

Lubang raksasa dengan kedalaman 8 meter yang sarat oleh mayat-mayat perempuan yang dulunya bekerja di rumah terkutuk itu. Ketika dia menggeser penutup lubang, yaitu berupa lempengan besi padu dengan garis tengah lingkarannya sekitar 2 meter, tiba-tiba selulernya berdering. Nama Tuan Besar Fredo muncul berkedip-kedip di layar selulernya, cahayanya menerangi kulit wajahnya yang hitam dan mulai dibubuhi bintik-bintik keringat. Dengan gugup disahutnya telepon Tuan Besar Fredo dan diletakkannya gulungan itu tepat di bawah kakinya.
***
Dari atap ruangan yang terbuka, angin berhembus begitu kencangnya. Mungkin malam ini akan turun hujan deras, seperti malam-malam sebelumnya. Biasanya jika malam hujan, pelanggan yang mendatangi rumah terkutuk itu akan bertambah banyak. Tak jarang Boris mendapat keuntungan yang berlipat ganda dari hasil pelayanan gadis-gadis yang memuaskan pelanggan. Walaupun setiap harinya ada saja gadis yang harus dilenyapkan karena penyakit kelamin akut atau meninggal secara tiba-tiba, itu tidak jadi masalah. Ada banyak stok daur-ulang yang selalu diganti tiap minggunya dengan tingkat usia yang berbeda-beda. Stok itu sebenarnya bukan 'barang baru' lagi, namun perempuan-perempuan yang berasal dari rumah terkutuk lain yang disubtitusikan ke rumah terkutuk lain yang berbeda wilayahnya. Misalnya saja dari wilayah X, ditukar ke wilayah Y, begitu seterusnya.

Boris yang bertanggung jawab untuk memetakan wilayah daur-ulang itu agar tidak terjadi persinggahan rumah yang sama dalam dua kali. 'Barang baru' diselipkan dalam rute perjalanan sebagai 'pengganti' dari yang sudah lenyap ataupun dilenyapkan sehingga bisnis Boris tidak pernah mengalami pasang-surut. Selayaknya hukum demand dan suply dalam teori ekonomi, keberadaan suply (penyediaan) 'barang-barang' itu akan terus eksis selama masih ada demand (permintaan) dari konsumennya. Boris paham sekali akan teori ekonomi itu dan selalu berupaya untuk melaksanakan tugasnya dengan cermat dan hati-hati. Sedikit saja gerak-geriknya tercium oleh pihak berwajib, maka hancur binasalah karir dan seluruh jaringannya.

Angin dingin berhembus lagi, mengelus-elus pipi dan tengkuknya yang pias. Kali ini deru angin semakin kencang sementara percakapannya dengan Tuan Besar Fredo di telepon semakin memanas. Tanpa sengaja, angin meniup gulungan selimut diletakkannya di lantai itu dengan kerasnya hingga menyibakkannya. Sebagian atas gulungan itu mulai merekah. Sebuah kepala anak perempuan berumur 13 tahun menyeruak dari dalamnya. Lampu neon berdaya 15 watt itu cukup membantu untuk mengenali wajah kecilnya.

Wajah itu membeku tengadah ke langit hitam pekat. Angin dingin semakin terasa dingin menusuk tulang-tulang dan persendian, terlebih darah yang mengental kehitam-hitaman di sepanjang bibir mungil itu! Aih! Wajah itu terlihat begitu tegang dan kaku, seolah ingin menunjukkan dendam yang selama ini menggumpal di dada, bibir dan kemaluannya. Sekejap, anyir darah mulai merebak di ruangan. Angin menolong wajah kecil kaku menyiratkan kematian yang tak wajar. Bola matanya masih bening terbuka, menceritakan kesakitan dan kepedihan yang mendera-dera jiwa dan raganya selama dua bulan ini. Dari hidungnya yang bangir, menyembul noda biru kehitam-hitaman yang tak sempat tertangkap cahaya remang-remang di kamar pengap itu. Pada wajahnya yang tirus, melekat garis-garis kelabu meninggalkan jejak, serupa coretan yang mewarnai pipi putih mulusnya. Jejak-jejak yang bersumber dari lidah-lidah kotor para iblis.

Malam ini, semua terasa lain. Aroma kretek yang sengaja disulut Boris saat Tuan Besar Fredo memulai pembicaraan di selulernya tak dapat menghangatkan dadanya dari degup angin dan tatapan dingin anak perempuan yang terbungkus selimut itu. Tiba-tiba saja rasa gugup menggerilya jantungnya, menyulitkan bibirnya menghisap kretek itu lebih dalam. Dia hanya mencicipi sedikit asap dari filternya lalu buru-buru menghembuskannya keluar.

Tatapan mata anak kecil itu lagi-lagi menyurutkan semangatnya untuk berbicara dengan Tuan Besar Fredo. Wajah anak perempuan yang pasi dengan ekspressinya dinginnya, seolah-olah mencekik semua nafas Boris yang tersisa. Boris terengah-engah dalam kepulan kreteknya sendiri. Dia hanya mengatakan “ya” pada setiap pertanyaan yang dilontarkan Tuan Besar Fredo tanpa sedikitpun memikirkannya. Matanya tak bisa lepas dari wajah mungil yang membujur di balik selimut itu. Anyir darah merebak lagi, membaur dengan desau angin yang kadang-kadang berbunyi seperti tangisan anak kecil yang menyedihkan.


Jalanan memerah, langkah menyerah
Nafas dan nyawa mengepul seperti asap rokok lelaki dewasa
Hari-hari memekat di ruangan pengap, terali kematian
Simpang jalan merah tempatku berteduh
Dari  malam yang selalu berujung pada kesakitan panjang

Boris tersentak dari lamunannya, sekilas dia melihat anak perempuan itu seperti menari dan berbisik padanya. Boris, lelaki bertubuh tegap dan berpostur tinggi dengan kulit hitam berkilat menghirup kreteknya dengan jantung yang berdegup tak karuan. Sekali lagi terdengar makian Tuan Besar Fredo membentak.

“Bagaimana? Sudah kau cari ke tiap rumah-rumah bordil brengsek itu!! Bodoh! Bodoh! Kenapa kalian bisa kecolongan!” Tuan Besar Fredo memaki Boris, tak sabar dengan jawabannya yang lamban.

“Sudah Tuan, tapi memang aku kesulitan menemukan jejaknya, mungkin sudah dibawa ke negeri M.” Boris menjawab sekenanya, meski pandangan matanya tak luput dari tubuh halus anak perempuan yang mencuat dari rekahan selimut tebal itu. Tubuh yang tegang dan kaku. Lekuk tubuhnya ringkih, dibalut luka dan lebam yang tak akan hilang meski tulang-tulangnya memutih. Tahi lalat kecil membulat jelas di bawah kantung mata kiri dan satu lagi berada tepat di atas pusarnya.

“BODOH!!! Kenapa kau tak bisa mencarinya! Aku sudah menyuruhmu dua bulan lalu! Aku juga sudah mengirimkan fotonya! Memberi wewenang seluas-luasnya untuk mencari anak perempuanku! BODOH KAU BORIS! Aku tak mau tahu, pokoknya kau harus temukan Dhisty! Sekalipun mayatnya, aku bersedia membayarnya! Persetan dengan harga! Beritahu aku segera, siapa orang yang bertugas menculiknya dan kepala mucikari mana yang menahannya, SECEPATNYA BODOH!”

“Baik Tuan, besok saya kabari” Tuuut, tuuut, Boris menekan tombol merah di selulernya. Amarah Tuan Besar Fredo dan tatapan dingin wajah di balik selimut itu membuat nyalinya semakin ciut dan kerdil. Berkali-kali dia menghisap kreteknya dengan gugup. Selembar foto yang tak pernah disentuhnya sejak mandat dari Tuan Besar Fredo dikeluarkan 2 bulan lalu, akhirnya tersembul juga dari balik amplop cokelatnya yang lembab. Foto anak perempuan kecil, berusia 13 tahun yang memiliki tahi lalat di bawah kantung mata sebelah kirinya.

Medan, (17/10/2010)
*Pernah dimuat di Koran Analisa Minggu, Rubrik Rebana
*Diterbitkan ulang di rubric Oase/ Kompas.com
*Diposting di Blog Pribadi LusianusTusalak

(Ditulis oleh : Sakinah Annisa Mariz)

1 comment

  1. Silahkan untuk berkomentar, namun ingat ya link hidup tidak diperkenankan diletak sembarangan di sini. Insya Allah saya siap kok blog walking tanpa harus nempel-nempel backlink. Ok. Thanks

    ReplyDelete

Mohon tidak meninggalkan link hidup di kolom komentar. Terima kasih.

Literasi Digital